Jasmine POV
Pagi nan kelam.
Puluhan atau mungkin ratusan peti mati berisi mahasiswa-mahasiswa Santa Evangelina yang tewas setelah bertempur melawan iblis tengah diturunkan ke dalam liang lahat. Cuaca mendung seolah ikut meratapi hari paling kelam sepanjang sejarah Santa Evangelina. Suasana duka masih menyelimuti keramaian yang sesak di aula besar di belakang Kathedral Saint Nathaniela. Sunyi senyap, semua larut dalam kesedihannya masing-masing menyaksikan begitu banyak peti mati yang berjejer rapi.
Ada begitu banyak para keluarga yang menangisi kepergian putra putri mereka yang gugur dalam pertempuran. Memang, mereka mati demi sebuah tugas mulia. Namun tetap saja, mereka itu keluarga kami, saudara-saudari kami, orang-orang terdekat kami. Tak terhitung lagi berapa banyak ibu dan ayah yang menangisi kepergian putra putrinya, paman bibi yang kehilangan keponakannya, ataupun saudara saudari yang harus merekalan kepergian adik kakaknya.
Begitu pula aku dan kakek nenek angkatku. Mata kami memerah karena sudah berjam-jam menangisi satu peti bertuliskan Deryck Henderson, terlebih lagi aku. Seolah tak percaya kalau Gilbert, Felicia, Grey, serta semua yang belum lama ini mengadakan acara tahun baru di rumahku akan pergi secepat ini. Bahkan dengan cara yang tragis.
Kakek dan nenek sudah lebih dulu pulang bersama para keluarga yang selesai memberikan penghormatan terakhir. Tidak denganku, aku masih disini ..., menatap kosong peti mati berbalut bendera dengan lambang Santa Evangelina.
Deryck ..., begitu cepat kau pergi meninggalkanku. Setelah kukira baru kemarin kau menemaniku bermain di taman ataupun berlayar di lautan bersama kakekmu.
Tidak langsung ke rumah. Aku malah mendatangi Santa Evangelina untuk menemui Rachel yang terbaring kritis bersama mereka yang masih koma di bagian kesehatan. Pilu batin ini melihat begitu banyak luka robek di tubuh dan sayap mereka. Tubuh-tubuh yang terbaring lemah tak sadarkan diri ini menerima begitu banyak luka demi menahan gempuran dari penduduk-penduduk neraka yang datang. Tak terbayangkan dalam benakku, berapa lama lagi mereka akan bertahan?
Kulangkahkan kakiku menyusuri tiap koridor, melintasi begitu banyak orang-orang yang lalu lalang mengurus mahasiswa dan dosen yang terluka. Ataupun mendata mereka yang masih hilang sejak sebagian dari mereka diperintahkan untuk mundur. Tangga demi tangga kunaiki hingga aku tiba di lantai atas salah satu gedung asrama. Pintu kamar itu seolah mengundangku untuk mendekatinya.
Pria itu masih meringkuk di pojokan sana. Membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya, menutup wajahnya yang sekusut hatinya saat ini menyadari nasib na'as yang dialami semua temannya.
"Gabe ...," begitu pelan dan lembut suaraku menyapanya dari pintu.
Tak ada respon sedikitpun. Kucoba melangkah lebih dekat, memastikan seperti apa raut wajah dari pria yang kucintai ini.
"Ini semua salahku," begitu parau dan serak suara itu mengalir dari kerongkongannya.
"Kau tidak perlu menyesali semua ini," hiburku untuknya.
"Sejak awal seharusnya aku tidak menerima tawaran keluargaku untuk kuliah disini. Dengan begitu semua ini tidak perlu terjadi. Mereka semua percaya padaku, dan seperti yang kulakukan pada Istriku dulu, aku mengecewakan mereka. Seharusnya kau tidak datang kesini hanya untuk menemui orang yang sudah membiarkan keluargamu mati." Matanya merah menatapku dengan perasaan bersalah.
"Aku tidak menyalahkanmu atas apa yang terjadi dengan keluargaku. Ini adalah konsekuensi dari takdir yang harus kita terima sejak sepasang sayap ini tumbuh di punggung kita."
"Seharusnya aku bisa mencegah ini tapi aku terlalu pengecut untuk melawan larangan mereka. Jika memang aku ini semacam mesiah atau sejenisnya, seharusnya aku bisa mengatasi ini," ratapnya lagi.
"Dia sudah berkehendak dan semua ini sudah terjadi. Tidak ada yang bisa kau lakukan," seharusnya aku tidak mengatakan ini. Karena sekarang dia berdiri menatap jendela dengan tatapan mata penuh kebencian.
"Masih ada satu hal yang bisa kulakukan, aku harus ikut bersama pasukan gelombang berikutnya. Si Sammael ini harus dihentikan."
"Tidak, jangan kesana!" Kedua tanganku menggenggam lengan kirinya.
"Aku harus kesana."
"Tidak Gabe, tetap disini! kau bisa terbunuh!" tangisanku mulai pecah.
"Aku tidak peduli walau harus mati! Dia telah membunuh saudara saudari kita dan harus dihentikan sebelum ada lebih banyak manusia dan nephilim yang mati di tangannya!"
"Terlalu berbahaya menghadapinya sendirian saat hatimu sedang kacau. Kumohon jangan kesana, Gabe. Sudah cukup aku kehilangan teman-temanku, dan kakakku, aku tidak mau sampai harus kehilangan kau juga!" kusandarkan kepalaku ke dadanya. Air mataku membanjiri kaos abu-abu itu.
Kuangkat kepalaku dan kutatap wajahnya. Begitu pucat bola mata biruku menatap mata hitamnya yang kini berubah warna menjadi cokelat menyala. Gabe sedang dikendalikan oleh emosinya.
"Aku pernah kehilangan wanita paling istimewa dalam hidupku. Jika ini dibiarkan, hal yang sama akan terjadi padamu dan aku tidak akan membiarkannya. Kalaupun aku akan mati, aku harus membawanya bersamaku untuk menjauhkannya darimu." Suaranya begitu dalam bagai monster, wajahnya terlihat membesi.
Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mecegahnya lagi. Dia sudah bulat untuk mendatangi medan perang itu. Jantungku seolah berhenti berdetak menyadari kemungkinan terburuk yang akan dialaminya.
Perlahan ia melangkah mendekati jendela bermaksud untuk terbang ke medan perang di pusat kota itu. Aku masih sempat memegang tangannya sembari melepaskan kalung di leherku.
"Bawa ini bersamamu, kau lebih membutuhkan ini daripada aku," tegasku sembari mengalungkannya kalung perakku berbentuk salib. Ia hanya menatapku datar.
"Berjanjilah kau akan kembali dengan selamat," tegasku lagi. Ia pun memelukku begitu erat. Seolah ada perasaan tak enak yang kurasakan melalui dingin yang merambat dari kulit tubuhnya. Ternyata dia benar-benar mengatakannya.
"Selamat tinggal, Jasmine Henderson."
***
Seorang pria berperut tambun masuk ke dalam kamar, terheran-heran ia ketika hanya melihatku sendirian di dalam kamar ini.
"Dimana Gabriel?"
Aku hanya menatapnya datar. Dia sudah pergi.
Gabriel POV
Secepatnya aku terbang meninggalkan Santa Evangelina. Dari kejauhan aku melihat armada Santa Evangelina gelombang keempat. Beberapa pasukan pendukung dari kampus nephilim lain turut bergabung bersama mereka. Langit di sana benar-benar di kerubungi tentara-tentara bersayap bak ribuan burung yang sedang bermigrasi.
Belasan menit kemudian, mereka mendarat di pusat kota yang ramai oleh pertempuran sengit mereka melawan orang-orang terkutuk itu. Suasana benar-benar mengerikan, gelimpangan mayat, sisa-sisa senjata yang tergeletak, potongan-potongan sayap yang termutilasi, suara bilah-bilah pedang, tameng, tombak dan panah yang beradu. Gambaran ini benar-benar mirip seperi mimpiku waktu itu.
Pasukan neraka itu berusaha mati-matian menembus barisan besar gabungan prajurit militer manusia dan tentara-tentara nephilim. Jumlah mereka sama banyaknya, dan kekuatan mereka sama besarnya.
Dari puncak gedung yang hancur, aku menebar pandangan ke seluruh penjuru. Hingga pandanganku menangkap satu orang.
"SAMMAEL... !!!"
Begitu lantang teriakanku hingga membuat medan pertempuran ini hening sesaat. Semua mata mereka kini tertuju pada sepasang sayap hitam besar yang kurentangkan selebar-lebarnya.
"Apa itu Gabriel dari Santa Evangelina?"
"Mungkinkah ini? dia si Gabriel yang itu?"
Aku bisa mendengar bisikan-bisikan mereka dari kejauhan. Kukepakkan sayapku dan terbang mendekatinya. Saat mendarat, kususutkan lagi ukuran sayapku, kembali mengecil di belakang punggung. Dengan tatapan marah, aku berjalan mendekatinya. Mataku yang berubah cokelat keemasan nyalang menatapnya.
"Wohohohoho, jika kau tahu siapa dirimu aku yakin kau juga tahu kalau menghadapiku adalah mustahil, bahkan dengan emosi yang tak terkendali kau jauh lebih mudah untuk dikalahkan," seru Sammael dengan sombongnya.
"Kau datang untuk menghadapiku, sekarang aku datang untukmu!"
"Begitu aku selesai denganmu, manusia-manusia yang bersembunyi di depan gerbang Santa Evangelina tidak akan punya kesempatan lagi. Datang kesini artinya kau tidak akan bisa kesana lagi."
"Ya benar, aku tidak akan bisa kesana untuk mereka. Begitu juga kau."
Aku melesat cepat menyambarnya. Namun dengan cepat, ia lebih dulu mengepakkan sayapnya dan terbang menyeretku, menjauh dari medan pertempuran yang kembali ramai. Beberapa lama ia terbang sembari menyeretku, melintasi begitu luasnya hutan-hutan dan melemparku ke arah sebuah bangunan besar di tengah hutan. Aku mulai khawatir karena aku tidak tahu dimana ini dan bagaimana aku akan kembali ke Santa Evangelina.
Brak, Brak, Brak!
Tubuhku menembus bangunan itu dan terbaring di sebuah altar sederhana. Ternyata bangunan ini adalah bekas gereja tua yang sudah ditinggalkan. Bangku-bangku jemaatnya sudah lapuk dan tidak ada lagi hiasan lilin dan bunga-bunga di altarnya. Hanya ada patung Yesus di tengah altar yang berdebu.
Sammael mendobrak pintu depan gereja dan membuang pedangnya. Terlihat dari gayanya, dia ingin bertarung tangan kosong. Secepat kilat aku memburunya, namun satu hantaman keras di rahangku membuatku tersungkur jauh.
"Berapa umurmu, Gabe? delapan belas? sembilan belas? dua puluh?"
Sammael menjambak rambutku dan mendekatkan wajahnya ke dekat wajahku yang mulai berlumuran darah. Teriakan kerasnya mengaung di gereja tua ini.
"Aku seribu tahun lebih tua darimu!"
Kuayunkan kepalan tanganku ke arah wajahnya, membuatnya terpental dan melepaskan jambakkannya dari rambutku.
"Jangan remehkan seorang pemuda, tua bangka," ejekku padanya. Ia mengelap darah di ujung bibirnya.
"Dan jangan remehkan orang tua, bocah!" bentaknya. Ia mengibaskan pedangnya, da dari ujung pedang itu keluar banyak bola cahaya yang melesat cepat ke arahku secara beruntun.
Bola cahaya kembali menyelimuti tubuhku. Melindungiku dari hantaman serangannya. Namun, bisa kurasakan pula betapa kuat dan mematikannya serangan Sammael. Hingga beberapa saat kemudian, bola pelindungku pecah.
Darah segar mengalir dari lubang hidungku. Aku berlutut kelelahan menerima serangan gila itu, dan saat kukira semua telah berakhir, kulihat Sammael mengarahkan ujung pedangnya kepadaku. Pedang itu mengeluarkan sinar merah kekuningan.
ZRRRRAAAAAAATTTTTTTT
Terpaan lahar panas menyemprot ke tubuhku, sebagian pakaianku terbakar meski tubuhku kulindungi dengan sayap yang menyelubungiku. Aku terdorong akibat kuatnya terpaan serangannya. Hingga saat kurasakan tubuhku mulai melemah, aku terkapar. Lantai dan kursi di sekelilingku mengeluarkan api karena lahar itu.
Sammael melangkah mendekatiku. Pedangnya berwarna kuning menyala dan mengeluarkan asap, seperti pedang yang sedang ditempa. Besi panas membara. Tangannya mencengkeram rambutku, diseretnya tubuhku mendekati bagian altar gereja. Tubuhku diposisikannya menghadap patung Yesus itu sembari berlutut. Ditariknya rambutku hingga kepalaku menatap langsung patung itu. Mataku sayu berdarah, penglihatanku mulai kabur.
"Bapa-Mu sudah kami ingatkan bahwa manusia tidak lebih dari sampah yang akan mengotori Taman Eden-Nya dengan dosa-dosa mereka. Tetapi ia malah mengusir kami dari Istana-Nya, setelah semua lagu-lagu pujian yang kunyanyikan demi memperlihatkan Kuasa-Nya atas seluruh dunia." Sammael bicara pada patung Yesus yang sedang kutatap saat ini.
"Engkau begitu menyayangi manusia. Engkau bahkan rela mati disalib demi menebus dosa-dosa Anak-AnakMu yang jelas-jelas lebih memilih mengotori dunia dan diri mereka sendiri untuk bersenang-senang. Akan kubuktikan bahwa yang Engkau dan Bapa-Mu lakukan sia-sia belaka, dan akan kubuktikan betapa aku masih peduli terhadap Kuasa-Nya. Sekarang saksikanlah kematian dari Panglima-Mu!"
Sammael menempelkan bilah tajam pedangnya ke leherku. Tubuhku masih terasa lemah tak berdaya ketika ia menggerakkan pedangnya dengan sekali sayatan kuat.
ZZRRRTT
Darah segar berwarna putih dengan sedikit berpendar mengalir dari leherku yang robek. Terasa sakit dan perih, mengiringi tubuhku yang lemah dan lunglai terkapar di depan altar.
Sammael merentangkan sayapnya. Terbang melintasi atap gereja yang berlubang, meninggalkan tubuhku yang perlahan mengkaku ditengah gereja yang berseliut kobaran api yang menyala-nyala.
Seketika, penglihatanku menghitam.