"Sudah merasa puas dengan yang kau lakukan?"
"Ya, aku sudah merasa lebih baik sekarang"
Makhluk itu tersenyum padaku melihat wajahku yang penuh dengan senyum kemenangan. Terbayang olehnya bahwa aku akan segera melunasi janjiku padanya. Tatapanku semakin tajam kearah Beretta 92 digenggaman tangan kananku, sementara disekelilingku hanya ada gelimpangan mayat disana-sini dengan satu kondisi yang sama, kepala dengan satu lubang. Hanya aku dan makhluk itu satu-satunya makhluk bernyawa disini
*** Setahun sebelumnya ***
Aku muak dengan kehidupanku disini. Di kehidupan nyata semua orang tak lebih dari omong kosong belaka, sementara di dunia maya juga sama saja. Yang terpuruk mengacau di lingkungannya sedangkan yang diatas angin semakin menyombong pada sesamanya. Begitu juga para bajingan busuk yang dulu pernah kusebut 'teman', disaat mereka butuh bantuanku mereka meminta padaku dengan membentak bahkan tak sering pula mengancam. Sementara saat aku butuh bantuan mereka? menolongku? jangankan menolong, memperhatikan saja tidak pernah. Yang ada wajahku hanya jadi sasaran ludah mulut mereka yang busuk.
Di dunia maya pun begitu. Kulihat disana mereka-mereka yang memegang jabatan yang cukup kuat menurutku malah bersikap cuek dan memandang rendah siapapun yang dianggapnya berderajat lebih rendah darinya. Artis-artis yang mulai sombong pada fansnya sendiri, para pekerja seni yang mulai melanggar aturan buatannya sendiri dan malah bertindak tidak sesuai dengan norma yang sudah ditetapkan. Para kacung-kacung yang mereka sebut 'pemerintah' juga begitu, lebih suka merampas uang negara demi memuaskan nafsu mereka akan mahalnya biaya untuk hidup serba berlebihan dan sering pula menerapkan kebijakan-kebijakan omong kosong yang seringkali membelenggu rakyat kecil tapi malah memberikan keleluasaan bagi mereka para monyet-monyet berkantung tebal. Maaf jika kalimatku mungkin kurang sopan bagi kalian, tapi bagiku yang kuucapkan itu bukanlah umpatan melainkan memang sebuah realita.
Didalam kamar ini aku berbaring lemah diatas kasurku. Semua ingatanku tentang tindakan mereka yang sudah kelewatan berloncatan riang diatas keningku, dan setiap kali kupejamkan mata ini selalu saja terbayang dibenakku wajah jelek mereka yang tertawa terbahak-bahak atas tindakan-tindakan menyedihkan yang sudah mereka perbuat, terlebih lagi padaku. Kepala ini semakin mendidih dan dalam keadaan emosi yang memuncak secara tidak sadar aku berteriak cukup nyaring.
"APAPUN AKAN KUBERIKAN ASAL ADA CARA BAGIKU UNTUK MEMBUNUH MEREKA SEMUA, APAPUN ... !!!"
tepat tiga belas detik setelah aku berteriak tiba-tiba aku terbangun dan dikejutkan dengan sosok menyeramkan yang muncul dihadapan wajahku. Tubuh bercahaya, kulit serba merah, kepala botak, mata kuning menyala, sepasang taring memanjang dimulutnya dan yang paling kuingat saat itu ialah sepasang tanduk diatas keningnya. Makhluk itu menatap wajahku dengan posisi berjongkok, bisa kurasakan saat itu nafasnya yang amat sangat panas menyentuh ujung hidungku.
"Apapun?" makhluk itu membuka obrolan, sejujurnya rasa takutku akan sosok hantu yang saat ini muncul dihadapanku dikalahkan oleh emosi yang meledak-ledak didalam otakku.
"Ya, apapun" aku menjawabnya dengan wajah membesi.
"Tentu ada cara untuk keinginanmu itu, namun tetap saja ada tarifnya"
"Sebutkan harganya"
"Soal harga nanti saja, yang penting saat ini adalah tekadmu itu" makhluk itu meletakkan sebuah senjata api diatas pahaku. Aku memandangnya dengan tatapan mengejek.
"Kau mau aku membunuh puluhan orang dengan beretta jelek ini, bahkan isi magazinnya saja cuma ada lima belas butir padahal aku butuh lebih dari satu magazin yang terisi penuh"
"Kita sepakat atau tidak?" makhluk itu mendekatkan wajahnya kearah wajahku, mungkin karena aku terlalu menganggapnya remeh.
"Ya, asal ada banyak diluar sana yang mati ditanganku"
"Soal keselamatan dan keperluan akan kuurus, yang penting kau harus mau bayar tarifnya dan keinginanmu harus kuat" makhluk itu semakin tersenyum mengerikan melihat kepalaku yang mengangguk.
"Eh si kunyuk ternyata, ngapain lu kerumah gua"
cekrek, Dhar ... !
korban pertamaku ialah orang yang dulu pernah menyiksaku. Lega rasanya setelah dia mati ditanganku, belum puas sampai disitu kusantroni seisi rumahnya dan kutembaki seluruh keluarganya. Para tetangga dan kaki tangan bajingan ini berdatangan dengan pisau, golok, linggis, apapun untuk membunuhku untuk menghukum atas apa yang baru kulakukan namun sia-sia, jumlah dan kekuatan mereka bukan ancaman dihadapan pistolku. Puas membunuh mereka yang membuatku sakit hati, berikutnya kusantroni mereka yang sombong dan tidak pernah bersyukur atas apa yang mereka kira itu milik mereka. Ratusan orang mati seketika, perlawanan mereka tidak ada gunanya. Artis, kacung di pemerintah, para kuasawan yang tak tahu terima kasih, tidak ada yang selamat dari hujanan peluruku. Dan tiap kali magazinku habis, makhluk ini selalu mengiringiku dan memberiku satu magazin yang terisi penuh. Tusukan, sayatan, luka bakar, peluru tajam, pecahan peledak, semua rasa sakit ini akibat balasan mereka masih tidak cukup ampuh untuk memperlambat apalagi menghentikanku. Aku dan makhluk ini semakin tersenyum merekah karena sejauh mata memandang, tak ada yang luput dari maut yang kukirim sendiri untuk mereka. Setidaknya makhluk ini sudah menepati janjinya untuk terus memperkuat dan mempersenjatai diriku dalam aksi sinting ini.
*** Kembali ke hari ini ***
Setahun berlalu setelah kukelilingi setiap sudut gelap di segala permukaan tanah bundar ini. Semua manusia kini hanya menyisakan tubuh kaku tanpa roh yang bergelimpangan disegala sisi. Kembali kutatap makhluk itu yang berdiri tegak dihadapanku dengan senyum yang cukup untuk membuat anak kecil menjerit melihatnya. Tubuhku gemetaran, rasa perih ini mulai meningkat menjadi ... ah bayangkan saja lapisan demi lapisan kulitmu yang terdalam disayat dan dikelupas secara paksa seperti kambing yang tengah dikuliti hidup-hidup. Ya, itulah yang kurasakan saat ini mengingat segala jenis luka yang bersarang disekujur tubuhku. Darah kental mengalir diantara jaket hitam dan celana jeansku, membendung diatas aspal yang kuinjak menjadi kubangan kecil berwarna merah yang mengelilingi kaki-ku dengan radius setengah meter, bukankah itu darah yang banyak?
''Aku sudah puas sekarang" senyum sinis ini kulemparkan kepada makhluk merah itu.
"Ya, aku juga sudah puas membantumu jadi sekarang mari kita berbisnis"
"Berapa yang kau mau"
"Kuberi kau sedikit petunjuk" jari telunjuk dengan kuku panjang hitam itu menunjuk kearah magazin didalam kantong jaketku, satu peluru. Aku tertawa kecil saat kupasang magazin itu, dengan sisa tenaga di tanganku yang berlumuran darah ku-kokang pistol ini dan kuarahkan moncong barrel itu kearah pelipis kananku. Satu peluru terakhir untuk satu target terakhir. Kudengar makhluk itu tertawa membahana dengan suara yang menakutkan sebelum akhirnya kutarik trigger-ku. Satu suara letusan membuat kelopak mataku tertutup dengan sendirinya.