Broken Home.
Dua kata paling menyebalkan yang pernah dialami siapapun, termasuk pula aku. Tidak hanya saat di rumah ketika mama dan papa tengah bertengkar, disekolah pun begitu. Hampir tiap hari aku jadi bahan bulan-bulanan para guru dan murid yang memang semuanya bajingan. Di sekolah atau di rumah selalu saja mereka mengacaukan hariku, bahkan anak-anak lainnya yang mungkin tidak lebih baik dariku tidak pernah sampai semenderita diriku.
Tiap pulang sekolah aku hanya bisa mengurung diri dalam kamar dan mengunci rapat-rapat pintu dan jendela, bahkan sampai kusumpal juga celah-celahnya dengan kain, tisu, kapuk isi bantal, apa saja. Tidak lain ialah agar suara jeritan mama dan papa yang sedang bertengkar tidak terdengar hingga kedalam kamar.
Pukul enam pagi seperti biasa sehabis sarapan sepotong roti selai, aku mencoba minta antar ke sekolah pada mama, dan seperti biasa pula karena mama juga sedang bekerja dan harus berangkat tepat waktu di tempat kerjanya yang arahnya berlawanan, mama kemudian minta bantuan pada papa. Hah, perasaanku tidak enak soal apa yang akan terjadi berikutnya.
Benar saja, lagi-lagi mama dan papa bertengkar tidak lain adalah karena papa bangun kesiangan setelah begadang di pos ronda semalaman sambil menonton Barclays Premier League musim ke-17. Selain dikenal suka mabuk-mabukan, papa juga dikenal sebagai pria bertempramen buruk, sering marah-marah tanpa alasan jelas.
Pertengkaran mereka didalam sana semakin hebat saja. Ya Tuhan, ini sama sekali tidak membantu. Tidak ada pilihan lain, terpaksa aku naik bis lagi dengan uang jajanku karena tidak diberi ongkos untuk naik bis, sepeserpun. Alhasil lagi-lagi hari ini aku harus siap menahan lapar sepanjang hari ini.
Walaupun bis bis disini terkenal sangat cepat dan gesit, tetap saja jangan harap aku bisa datang tepat waktu. Apalagi satpam disekolah memang terkenal suka menutup gerbang seenaknya sebelum bel masuk berbunyi, dan jika ada yang masih diluar, jangan kira bisa masuk dengan mudah. Yap, aku terlambat lagi.
"Heh, ngapain kamu kesini?"
"Pak tolonglah, mama tadi sibuk kerja jadi nggak bisa anter kesini. Ini aja naik bis tanpa bawa ...."
"Halah alesan aja kamu, pergi !!!"
Tiga kata menghina, ditambah satu kata bentakan. Cukup untuk membuat telingaku memanas mendengarnya. Entah kerasukan setan apa, aku secara refleks mengambil bongkahan batu ukuran sedang dan melemparnya tepat kearah pos satpam itu.
Suara kaca pecah yang nyaring itu membuat dua satpam lainnya disana terlonjak. Merasa kepalaku masih mendidih dan karena si satpam tadi langsung berang melihat tindakanku, aku mengambil lagi bongkahan batu bata yang lebih besar. Bermaksud untuk melempari lagi kaca jendela pos itu. Namun lemparanku meleset dan ..., Astaga, lemparan kedua-ku langsung menghantam kepala si satpam tepat sebelum dia mengayunkan pentungannya kearah kepalaku. Karena sudah terlanjur kepergok oleh dua satpam lain, buru-buru aku ambil langkah seribu.
Sadar atas apa yang kulakukan, kuputuskan untuk pulang saja walaupun sebenarnya pikiranku masih diliputi rasa bimbang. Jika aku kembali, aku akan dapat surat peringatan yang mana artinya orang tuaku harus datang ke sekolah untuk membuat surat perjanjian. Tapi jika aku pulang kerumah, artinya aku akan jadi bulan-bulanan papa karena dianggap kabur dari sekolah, sedangkan jika aku masih belum jauh berlari, para satpam bangsat itu pasti akan menemukanku.
Masa bodoh, sebaiknya aku pulang saja dengan menumpang ...? aku lupa, aku tidak tahu harus menumpang kendaraan mana lagi, bahkan uang jajanku ini tidak mungkin cukup untuk membawaku pulang. Tidak ada pilihan lain, aku naik bis seperti tadi, namun aku hanya menempuh setengah perjalanan, selebihnya aku akan berjalan kaki sendiri karena memang aku sudah hapal area perumahan ini.
Setelah tiba di perumahan, aku putuskan untuk berjalan sambil agak menunduk agar tidak ada tetangga yang tahu kalau aku pulang lebih awal. Tak lupa aku memasang topi dan mengganti seragam SMP-ku dengan pakaian kaos biasa.
Tiba dirumah aku memanjat langsung keatas kamarku diam-diam agar papa tidak tahu kedatanganku. Begitu masuk, kukunci kamarku dari dalam dan langsung menyembunyikan tubuhku dibalik selimut tebal. Merasa kesal atas apa yang selama ini kudapat, aku mulai menangis. Bagiku Tuhan sudah meninggalkan keluargaku, sendiri ditengah kutukan berat tanpa akhir. Kenapa aku harus terlahir dengan kehidupan seperti ini? Setengah jam larut dalam kesedihan, aku mulai tertidur.
"Kau yakin kau tidak pernah melakukan kejahatan sedikitpun? Kau yakin ini hari pertama kau melakukan kesalahan besar?"
"Ya, sudah sering kulakukan kebaikan namun apa yang kudapat?"
"Selama ini kau hidup dalam keluarga yang tak harmonis."
"ya, aku tahu itu."
"Dan sebenarnya kau memang tidak pernah ditakdirkan untuk tinggal bersama mereka."
"Lalu aku harus bagaimana, dimana aku harus tinggal?"
"Ada satu dunia diluar sana yang dipenuhi kebebasan yang bisa diraih dengan mudah."
"Benarkah?"
"Tentu saja, walaupun mungkin kau butuh lebih dari sekedar nyali untuk bisa menguasai dunia itu?"
"Dunia itu ... aku tidak yakin aku pantas untuk kesana."
"Kenapa kau tidak mencobanya kalau begitu?"
"Kenapa aku harus kesana?"
"Kenapa pula kau masih mau bertahan disini?"
Astaga, sudah satu jam aku tertidur, dan tiba-tiba aku mulai berpikir untuk melarikan diri ke dunia luar. Dalam keadaan gelap mata dan masih berselimut duka dalam hati, aku melangkah mengitari rumahku. Hanya ada papa di ruang tengah sedang tertidur didekat botol-botol mirasnya. Saat akan kembali ke kamar atas, kulihat adikku yang masih balita tengah menatapku. Tiba-tiba dia menangis melihatku menatapnya dengan berurai air mata. Kudekatkan wajahku ke telinganya dengan penuh haru dan kubisikkan sebuah kalimat yang akan menjadi kalimat terakhirku yang akan didengarnya.
"Dek, kamu harus janji ya sama kakak. Kamu harus lebih baik dari kakak. Walaupun nasib kita seperti ini, tapi kakak percaya kamu bisa lebih beruntung dari kakak. Di manapun kakak berada nanti, inget aja selalu bahwa kakak selalu di sini di hati adek."
Puas menangis sembari memeluk adikku, aku mengecupnya penuh kasih sayang sebelum pergi. Kutinggalkan dia di sana, menangis sendirian diujung tangga. Setelah mengepak isi tasku, aku melangkah melompati jendela berusaha menjambangi dunia luar sendirian. Aku bersumpah aku akan pergi dan tidak akan pernah kembali lagi kesini.