Blog Pribadi San-San

  • home
  • About Me
  • Facebook
  • Sitemap
  • Twitter
  • Kemudian
  • Wattpad
  • Word Counter
Tampilkan postingan dengan label urban. Tampilkan semua postingan

Disappear (The Journey when I Runaway) [part : 16]


"Selamat datang di mimpi terburuk dalam hidupmu" salah satu dari mereka yang berambut gondrong menyambutku dengan kalimat ancaman. Dibelakangnya sudah berdiri lima orang anggotanya yang sudah mengepungku sementara aku sendiri terpojok disini disudut ruangan. Senjata tidak ada sementara jumlah mereka terlalu banyak."Jangan kira lu bisa parkour-an disini, penjara ini terlalu sempit kalo lu ngerasa lu bisa kabur" si pendek botak juga ikut mengancamku, aku hanya berpaling dan tidak mau melihat mereka. Tiba-tiba si gondrong tadi mulai menjambak rambutku dan berteriak didekat telingaku.
"Lu nggak usah sok disini, mulai hari ini lu adalah anjing, dan tali kekang lu gua yang pegang, ngerti!!!?"
Bosan terhadap makian itu, aku mendorongnya hingga tersungkur. Aku mencoba sebisaku menghajarnya namun lima orang lainnya menyeretku dan menginjak-injak tubuhku sementara si gondrong mulai mendekatiku dan menghajar wajahku habis-habisan. Selama empat jam mereka menghajarku tanpa henti, dan kini aku sadar apa yang dikatakan Ama, aku harus bertahan hidup setidaknya sampai besok sore, ya sampai Ama datang untuk menemuiku. Aku mencoba untuk kuat sebisaku walaupun harus kuakui mungkin lebih baik mati saja daripada tersiksa begini. Sepanjang malam aku kesulitan tidur, mereka berenam tidur mengapar dengan seenaknya hingga menutupi seisi lantai sementara aku harus berdiri dan tidak diperbolehkan berbaring, kecuali jika aku sanggup untuk menerima hantaman tangan mereka lagi.

Tidak hanya di malam hari, siang hari pun mereka asik melempariku dengan benda-benda yang bisa mereka lempar kearahku. Bahkan di kantin pun mereka sengaja muntah kearah piring makan siangku. Aku tidak bisa berbuat banyak karena jumlah mereka ada puluhan, bahkan belum termasuk para sipir yang tidak suka dengan kehadiran napi baru sepertiku. Sepanjang sore aku harap harap cemas, berharap agar Ama datang untuk menemuiku namun hingga jam malam dia tidak kunjung muncul juga, terus seperti itu selama dua hari. Dan selama dua hari itu pula, seperti malam pertama aku mendekam, orang-orang di selku sibuk mengeroyokku. Ibarat kata samsak untuk tinju, mereka seolah tidak bosan-bosannya menghajarku. Bisa dipastikan sudah seperti apa wajahku sekarang.
Hari ketiga seorang sipir menemuiku, dia bilang ada tamu yang ingin mengunjungiku. Akh, paling-paling hanya orang tuaku yang datang cuma untuk mengocehiku. Ternyata benar, mereka berdua datang dan sudah menungguku di meja kunjungan. Aku menyambut mereka dengan wajah masam sementara mereka agak terkejut melihat wajahku yang penuh memar menghitam.
"Kamu nggak pa pa nak, muka kamu kenapa?" mama memulai obrolan ini, dengan sangat sia-sia tentu saja.
"Ngapain kalian dateng kesini, Indra kira Indra udah bukan anak kalian lagi"
"Kamu nggak boleh ngomong gitu, mama sama papa masih sayang sama kamu. Seharusnya kamu nggak boleh pergi jauh-jauh dari rumah apalagi sampai ke Jakarta terus nggak pulang-pulang"
"Masih sayang? setelah kalian lebih sibuk berantem tanpa peduli sama anak kalian sendiri?"
"Tentu aja mama peduli, malah Vika tiap malem nangis terus gara-gara kamu pergi lama" ya ampun, mama bahkan masih sempat membicarakan adikku yang masih kecil.
"Halah, palingan kalian pesta pora disana karena satu beban udah berkurang dari hidup kalian"
"Eh anak sialan, masih untung kita mau kesini buat ngunjungin kamu!" papa yang sejak tadi diam mulai menghardikku, namun karena meja ini diberi pembatas berupa kaca tebal antara sisi untuk pengunjung dan sisi untuk tahanan papa tidak bisa memukul wajahku. Membuatku semakin leluasa menghujat-hujat mereka dengan berlinang air mata.
"Tapi Indra nggak pernah ngarepin kehadiran kalian disini, Indra bahkan jauh lebih suka tinggal di bantaran kali ciliwung yang kumuh ketimbang harus tinggal ditempat yang bahkan tidak suka dengan kehadiran Indra!!!" seisi ruangan kunjungan menatap kearahku yang tadi sempat teriak-teriak. Membuat salah satu sipir menepak kepalaku dan menyuruhku untuk tidak berisik.
"Kamu masih marah sama temen-temen kamu yang udah nge-bully kamu disekolah ya?" mendengar kalimat itu, kedua tanganku memukul meja dengan keras.
"JANGAN SEBUT-SEBUT MEREKA LAGI !!!" mama terdiam mendengar wajah marahku kearah mereka untuk pertama kalinya. Selebihnya aku hanya diam dan menutup wajahku tanpa peduli sudah berapa lama mereka mengoceh dan ocehan apa saja yang keluar dari mulut mama.
"Oke waktu kunjungan sudah habis, semua tahanan kembali ke sel masing-masing. Lu juga, daritadi teriak-teriak melulu. Balik lagi ke sel lu sono!" seorang sipir menyeretku kembali ke sel. Kulihat disana mama dan papa berusaha memohon pada kepala sipir untuk membebaskanku lebih awal dan bersedia membayar denda berapa banyak pun jumlahnya termasuk menyodorkan uang ekstra sebagai sogokan. Namun kepala sipir itu malah mengusir mereka dengan sombong dan kasar. Ya, tidak lain adalah karena si sipir sudah disogok oleh Orang Tua Dimas. Setidaknya itulah satu-satunya spekulasi yang muncul di pikiranku.

Aku kembali ke sel ku dan kudapati sel ku dalam keadaan sepi. Enam orang bajingan itu sedang di lapangan dan sel ini sendiri dibiarkan terbuka. Aku masih ingat saat semalam si gondrong sempat menusuk mataku dengan seutas kawat panjang yang tipis namun sangat kuat. Kawat itu disimpannya di dalam kasur, buru-buru aku mengambil kawat itu dan menyembunyikannya kedalam bajuku.
"Heeh ngapain didalam sel, cepet keluar! ini jam bermain diluar bukan ngendep didalam sel!" seorang sipir menyeretku keluar dengan kasar. Berang menerima perlakuan itu aku menghajar sipir itu. Alhasil, belasan sipil lainnya datang untuk mengeroyokku habis-habisan. Tak lama kemudian Ama datang dan menyeretku setelah sebelumnya Ama ikut menghajarku.
"Heh Ma, mau lu bawa kemana tuh tahanan?" salah satu sipir heran melihat Ama menyeretku.
"Bacot lu, mau gua kebirin dia sendirian!"
"Yaudah jangan lama-lama. Bawa dia ke lapangan pas lu udah puas ngentotin dia hahahahahaha" sipir itu tertawa yang juga diikuti gelak tawa dari sipir lainnya. Saat sebelum jauh, salah satu sipir melempariku dengan pentungannya, tepat mengenai selangkanganku.

"Indra, gila lu. Apa apaan itu barusan pake nantangin sipir segala. Gua nyuruh lu buat bertahan bukan buat cari gara-gara" Ama berbisik padaku ketika kami sudah berada diatas loteng dekat atap.
"Lu sendiri janjinya mau nemuin gua pas jam sore dua hari lalu, tapi baru sekarang lu nemuin gua. Lu sadar nggak emak sama bapak gua tadi ngunjungin gua. Mana lu tadi pake ikutan mukul gua lagi"
"Oke, maaf udah kelamaan. Sebelumnya gua jelasin dulu aktifitas di penjara ini dan siapa aja orang-orang yang harus lu hapalin" Ama mengeluarkan sebuah map berisi arsip dari beberapa tahanan yang akan dijelaskannya padaku. Sepuluh menit Ama menungguku selesai membaca dan setelah selesai aku menyerahkan arsip itu pada Ama.
"Oke udah gua baca semuanya, nama-namanya, asal usulnya, reputasinya, lokasi selnya, semua udah gua baca. Sekarang apa?"
"Ya, mereka semua punya satu persamaan yaitu sama-sama musuh besar Gagak Hitam. Walaupun sebenarnya mereka tidak pernah saling menyukai satu sama lain. Mereka adalah daftar yang harus lu waspadain karena mereka orangnya ngawas banget sama napi baru. Udah belasan napi mati disini ditangan mereka, "
"Oke apa lagi?"
"Jadwal pagi adalah baris-berbaris dan kegiatan harian setelah sarapan pagi, terus siang harinya makan siang lalu jam santai di lapangan sampai sore. Menjelang magrib semua tahanan bakal didata sebelum dimasukin lagi ke sel nya masing-masing. Tiap seminggu sekali dihari sabtu bakal ada kapal besar pengangkut pasokan untuk sipir dan tahanan. Sebagian kecil sipirnya sendiri sebenarnya juga orang dalam dari masing-masing kelompok mafia sama kayak gua. Makanya gua nggak boleh sampe terlalu deket sama napi biar nggak ketahuan. Banyak yang bilang kalo disini sipirnya ramah-ramah dan aktifitas pembinaannya sangat ramah. Tolong jangan percayain itu semua, sipir disini bengis semua dan satu-satunya saat-saat aman adalah saat sesi pembinaan dan pembimbingan. Selebihnya lu harus bertahan hidup lagi. Kalo ketahuan bertindak anarkis lu bakal dikurung di sel baja dengan tangan dan kaki terikat selama empat hari."
"Gimana struktur bangunannya?"
"Temboknya ada tiga lapis yang masing-masing dilapisin beton, bagian atasnya kawat berduri. Tiap menara disini enam orang sniper. Kamera CCTV dipasang sembunyi-sembunyi dan diawasi oleh satu operator di ruang teknisi. Akses keluar masuk yang aman cuma di wilayah sekitar pelabuhan karena selain wilayah itu, semua area pinggir pulau dipasangin detektor. Di pinggir pulau juga ada lapangan beton kecil sebagai helipad rahasia untuk kunjungan istimewa."
"Oke, nanti gua pikirin gimana caranya bisa kabur dari sini, terus si Aldo sendiri gimana? gua udah liat dia sebelumnya di ruangan Pak Torro jadi kasih tau aja dia di sel mana"
"Biasain aja bertahan atau kalau bisa berhasil hajar orang-orang di lapangan tiap jam sore. Lu nggak akan ngedapetin Aldo, Aldo yang bakal ngedapetin lu"

Disappear (The Journey when I Runaway) [part : 15]

Tidak ada lagi pilihan lain, aku mengangkat tanganku karena terlalu banyak polisi yang mengepungku jika aku harus lari lagi. Lagipula sejak pagi tadi memang ini yang kuinginkan. Masuk ke penjara dan membebaskan satu orang target didalamnya, ini semua harus selesai dengan cepat karena aku tidak bisa meninggalkan Bayu dan Nindy terlalu lama. Kulihat disana-sini ada banyak orang yang melihat termasuk beberapa wartawan yang meliput kejadian ini. Aku tidak terkejut jika nanti mungkin mama dan papa akan datang ke kantor polisi untuk menemuiku. Aku hanya berharap aku tidak perlu pulang bersama mereka. Bayu sedang sakit sementara Nindy sendirian dirumah, terlalu lama meninggalkan mereka maka aku akan terlibat masalah yang jauh lebih buruk. Sepanjang perjalanan ke kantor polisi hingga saat aku selesai diinterogasi, aku hanya memasang tampang datar dan tidak banyak berujar. Sekalipun banyak polisi disini yang memaki-makiku karena tidak banyak bicara, aku tetap tidak peduli karena aku berusaha menjaga jangan sampai mereka tahu tujuan utama aku melakukan semua ini. Karena bosan denganku mereka kini mengurungku kedalam sel dan mengatakan padaku bahwa sidang akan dimulai tiga hari lagi. Ini pertama kalinya aku mendekam dibalik jeruji besi sehingga aku sendiri tidak tahu kalau menunggu di sel selama tiga hari itu tergolong lama atau singkat.

Hari yang dimaksud telah tiba. Orang tuaku, para guru di SMP, anak-anak KC keparat itu, lengkap dengan Orang Tua Dimas datang ke pengadilan untuk menyaksikan vonis yang akan aku terima. Aku sendiri datang dengan mengenakan pakaian tahanan dan dalam keadaan diborgol. Semua agenda persidangan telah kulalui dan membuatku sedikit terkejut adalah dugaanku yang ternyata benar. Ya, Dimas benar-benar mati ditanganku waktu itu saat dia menghajarku. Selain itu satpam yang sebelumnya pernah kuhantam waktu itu juga dimasukkan kedalam daftar korbanku walaupun si satpam masih hidup dan sudah sembuh. Lalu polisi juga menyebutkan tuduhan kejahatan lain berupa pengedaran narkoba bersama Imam yang sampai saat ini masih buron serta penganiayaan terhadap sejumlah orang yang semuanya adalah preman. Atas semua yang telah kulakukan akhirnya aku dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara dan tidak akan dikirim ke penjara bawah umur mengingat jumlah kejahatan yang kulakukan. Pengadilan telah selesai dan aku sudah siap dibawa ke mobil pengangkut tahanan ketika beberapa bajingan KC itu melempariku dengan botol minuman.
"Jangan lu kira ini semua udah selesai, cong!!!"
"KC nggak akan tinggal diem, inget itu!"
"Lu nggak bakal tenang sampe leher lu dipenggal didepan makam Dimas!"
Dan masih banyak umpatan caci maki yang keluar dari mulut mereka yang masih bau kencur tapi sudah sok hebat itu. Aku tidak menunjukkan reaksi apa-apa dan hanya berjalan dengan tenang berharap agar aku tidak dikirim ke penjara selain Nusakambangan. Benar saja, aku sempat melirik sebuah arsip bertuliskan namaku ketika aku sudah masuk mobil tahanan, dan ada tulisan 'Nusakambangan' disana. Baiklan, setelah tiba disana aku harus pikirkan rencana lainnya.

Perjalanan telah berlalu selama ... entahlah mungkin sudah lebih dari puluhan jam, aku tidak ingat. Aku juga bahkan lupa saat kami tiba di Dermaga Wijaya Pura, yang jelas satu-satunya yang kusadari saat ini adalah aku bersama tahanan lainnya sedang berbaris untuk didata sebelum kami dimasukkan ke sel masing-masing. Bau amis dimana-mana, beberapa tahanan dihajar dan disiksa, disuruh telanjang dan dipotong tindikannya, huh ternyata bantaran Kali Ciliwing bahkan suasananya masih lebih baik ketimbang disini. Giliranku telah tiba, setelah ditelanjangi aku dikelilingi beberapa sipir dan salah satu sipir itu membacakan data-data tentang kasusku.
"Indra Alamsyah, kabur dari rumah setelah membunuh teman SMP-nya dan menganiaya satpam-nya sendiri. Begitu tiba di Jakarta malah jadi pengedar narkoba dan biang rusuh" sipir itu mendekat kearahku.
"Lu dendam sama keluarga lu atau lu udah bosen jadi anak baik-baik? lu sekarang punya masalah sama Jakarta, tau!?" aku hanya melirik kearah lain berusaha berpaling sementara sipir lainnya mulai menekan pentungan mereka ke setiap bagian tubuhku.
"Lu liat mata dia saat dia lagi ngomong ama lu!!!" sipir lainnya ikut memaki lalu si sipir yang bicara denganku tadi kembali mengancamku.
"Diluar sana mungkin lu adalah jagoan, tapi disini bukan Jakarta. Ini neraka dan gua iblisnya. Lu cuma penghuni tetap jadi jangan coba-coba jadi jagoan disini" muak mendengar ucapannya aku menghantam keningku ke hidungnya. Darah segar bercururan sementara sipir lainnya mengeroyokku habis-habisan. Aku bisa mendengar kalimat terakhir dari si sipir yang tadi kuhajar.
"Bawa anjing ini ke sangkarnya sebelum dia menggigit lebih banyak orang"

Salah satu sipir memakaikanku pakaian napi dan membawaku ke sebuah sel, sesaat aku terdiam saat si sipir mulai bicara padaku dengan berbisik.
"Kamu kerja untuk Pak Torro ya?"
"Kamu ngomong apa?"
"Jangan persulit diri kamu sendiri, jawab aja apa benar kamu kerja untuk Pak Torro?"
"Apa hubungannya sama kamu?"
"Kamu nggak ngerti, aku juga kerja untuk Pak Torro sebagai orang dalam disini. Untuk saat ini kita akan jadi mitra jadi turutin aja apa kata aku kalau kamu nggak mau kutembak"
"Kenapa kamu nggak bebasin aja sendiri si Aldo, kenapa harus ngelibatin aku?"
"Bukan cuma keselamatan Aldo dan Pak Torro yang dipertaruhkan disini, tapi juga nyawa aku sendiri dan keselamatan kelompok Gagak Hitam apalagi ada banyak napi disini yang termasuk kedalam daftar musuh besar Pak Torro. Kalo mereka tau siapa aku, aku bisa dibunuh"
"Nama kamu siapa?"
"Aku Ama, dan aku udah tau siapa kamu Ndra"
"Oke apa aja yang perlu aku tau soal penjara ini"
"Besok sore aku jelasin semuanya, untuk hari ini kamu cuma perlu bertahan sampai kita bertemu nanti. Dan aku nggak perlu lagi jelasin ke kamu kalau kamu cuma punya waktu tiga puluh hari untuk nyelametin Aldo atau kamu akan dikurung disini selamanya"
Ama sekarang membawaku ke sebuah sel ukuran enam kali empat yang diisi oleh enam orang napi.
"Semoga berhasil" hanya itu dua kata yang diucapkan Ama sebelum dia meninggalkanku. Kini aku dikelilingi oleh enam orang yang ternyata adalah anggota kelompok KC yang sudah tidak sabar ingin menghajarku beramai-ramai disini.

Disappear (The Journey when I Runaway) [part : 14]

Seminggu sebelum aku menghilang ...
Sejak pertama kali masuk SMP, aku memang sering terlibat masalah dengan Dimas. Dimas adalah salah satu anggota geng 'KC', geng di SMP kami yang terkenal sebagai satu dari lima geng paling meresahkan di wilayah tempat tinggalku. Secara teknis menurutku Dimas tergolong anak yang pengecut karena hanya berani menggangguku ketika dia sedang bersama dengan anggota geng lainnya. Setiap hari dia selalu menodongku dengan sebilah pisau lipat kecil dan tak segan-segan dia akan menyayat tanganku jika aku tidak memberikan uang setoran padanya. Tak terhitung sudah berapa banyak sayatan di tanganku karena tidak memberinya uang setoran. Mau bagaimana lagi, uang yang kupunya hanya cukup untuk ongkos pulang pergi bahkan jajan saja tidak pernah. Semakin hari aku semakin tidak tahan dengan perlakuannya hingga suatu hari saat aku sedang berjalan bersama dengan sahabat baikku Jun, Dimas datang lagi bersama komplotannya bermaksud untuk merampas semua uang dan isi tas yang aku punya. Tapi kali ini aku tidak akan tinggal diam maksudku ayolah, aku tidak sudi dipermalukan dihadapan sahabatku. Dimas semakin mendekat bersama tiga orang komplotannya dan aku sudah siap atas apa yang akan terjadi.

"Woy Indra, sini setoran lu!"
"Gua nggak bawa apa apa hari ini"
"Halah banyak alesan lu. Dimas, seperti biasa bro" Ilham mulai mengeluarkan pisaunya. Ilham yang merupakan salah satu komplotan Dimas juga merupakan salah satu dari mereka yang paling kubenci karena sifat sok-nya dan merasa harga dirinya paling baik. Padahal bagiku dia sama pengecutnya dengan Dimas.
"Yoi, Ham" Dimas mengambil pisau lipat dari tangan Ilham. Bersamaan dengan itu aku melepaskan dasiku dan dengan cepat kugunakan untuk mencekik Dimas. Ilham dan dua orang lainnya sudah siap pasang kuda-kuda sementara aku sudah siap untuk menggertak mereka.
"Mundur, atau Dimas gua cekek sampe mati" mendengar ucapanku mereka malah tertawa.
"Hahahahahaha mana lu berani cong" umpat mereka padaku. Kutendang Dimas kearah mereka dan kurampas pisau lipat itu dan aku melemparnya jauh-jauh.
"Ndra, lu yakin mau ngelakuin ini?" Jun terlihat panik saat aku mulai mendekati mereka.
"Jun lu mundur sekarang dan biarin gua selesaiin ini semua untuk selamanya"
Perkelahian sudah terlanjur dimulai. Sepuluh menit berkelahi di koridor ini dan mereka kewalahan menghadapiku karena secara fisik tubuhku lebih tinggi dari mereka. Namun karena memang dasar merekanya yang anak geng, satu per satu anggota mereka yang lain mulai berdatangan lengkap dengan sabuk besi mereka yang berukuran besar-besar. Aku tidak sempat kabur karena Ilham memegang kakiku. Aku terpeleset dan dengan liar mereka mengerubungiku dan mengeroyokku. Karena kalah jumlah aku terkapar dan jadi bulan-bulanan mereka. Tubuhku terasa berat, wajahku baik-baik saja namun tubuhku penuh memar dan luka. Tanpa perlu waktu lama petugas BK datang dan meringkus kami semua. Orang tua kami pun dihubungi dan tak lebih dari sepuluh menit para orang tua datang, termasuk mama.

Para guru dan para orang tua termasuk mama mulai berdebat disana, aku hanya bisa cemberut sambil berusaha menutup telinga karena bosan mendengar argumen omong kosong mereka semua. Walaupun sebenarnya aku masih bisa mendengar hal macam apa yang mereka bicarakan sampai para guru mulai membuat keputusan. 'Aku dinyatakan bersalah?' tapi justru aku yang teraniaya disini, apa mereka sudah gila? kulihat Dimas memberi isyarat padaku dengan gerakan telunjuk di lehernya. Isyarat yang berarti dia akan mengulangi lagi perbuatannya padaku.
Aku dipulangkan lebih awal hari ini dan mama sudah diingatkan jika aku kembali terlibat masalah maka aku akan disuruh membuat surat perjanjian, sepanjang jalan mama sibuk mengocehiku dan mengatakan kalau aku selalu membuat masalah. Tanpa memperdulikan ocehan mama dari kejauhan kulihat orang tua Dimas memberikan sebuah bungkusan berwarna cokelat berisi uang dalam jumlah banyak pada kepala sekolah. Sial, mereka pakai cara licik rupanya, pantas saja malah aku yang disalahkan. Ingin kukatakan ini pada mama tapi mama sendiri tidak mau mendengarku.

Dua hari kemudian saat pulang sekolah, lagi-lagi Dimas mencegatku ditengah jalan. Merasa kebal hukum, dia datang sendirian dengan sebilah stik baseball bermaksud untuk menghajarku lagi."Tumben sendirian, kompotan lu mana atau lu pengen coba bonyok sendirian disini?"
"Banyak bacot lu!" secepat kilat Dimas mengayunkan stiknya ke rahangku hingga tersungkur, dalam keadaan terkapar lagi-lagi aku jadi bulan-bulanan Dimas. Didekat wajahku ada sebongkah batu besar. Tanpa ambil pusing aku menendang kaki Dimas hingga dia tersungkur, sebelum Dimas berdiri aku menghantam kepalanya dengan batu tadi. Darah hitam bercucuran dan Dimas sendiri tak sadarkan diri. Aku mulai panik melihatnya, kutendang jauh stik itu dan aku mengguncang-guncangkan tubuh Dimas.
"Dimas, woy cong bangun napa? Dimas !?"
Oh Tuhan, apa yang sudah kulakukan? bagaimana kalau Dimas benar-benar mati ditanganku? karena panik kuseret tubuh Dimas dan kubiarkan terkapar ditengah jalan sepi ini agar orang berpikir kalau Dimas ditabrak mobil. Aku pulang kerumah dengan penuh ketakutan, hal mengerikan ini menghantuiku selama seminggu penuh, aku sendiri masih ingat kejadian ini setidaknya sampai aku melupakannya ketika aku sudah pergi dari rumah.

***

"Bos, ada orang yang udah hajar kita pas tadi kita malakin orang-orang yang punya toko"
"Njing, cari mati tuh orang. Emang dia siapa"
"Dia pake jaket tebel trus pake topi item, itu dia orangnya"
Para berandalan yang sedang asik dilantai dua menatap kearahku yang sudah ada digerbang mall ini. Buru-buru mereka turun ke lantai dasar dan mengepungku, lalu beberapa lama kemudian si pemimpin mereka datang menghampiriku. Ternyata benar, dia orang yang sama yang selama ini sering terlibat masalah denganku.
"Halah elu lagi, lu emang nggak pernah bosen ya cari perkara ama gua. Udah sok nolongin Imam, belagu buat belain temen pengamen lu itu, sekarang pake nantangin gua. Jangan harap bisa kabur hari ini"
"Gua nggak akan kabur kali ini, karena semuanya bakal selesai hari ini"
Perkelahian pun dimulai, satu orang melawan belasan begundal jalan raya. Seisi mall ini berhamburan keluar melalui pintu darurat. Para satpam pun dibuat babak belur oleh mereka para preman pasar yang tidak ingin diganggu. Aku benar benar sendirian saat ini, terhuyung-hunyung melepaskan serangan kearah mereka akibat sekujur tubuh yang sudah hancur lebur akibat hantaman benda tumpul yang mereka bawa. Satu jam telah berlalu dan berkat sepasang linggis yang kubawa, aku berhasil menjatuhkan mereka satu per satu termasuk bos mereka. Sekuat tenaga aku berusaha berdiri menghampiri bos mereka, tangan kiriku menjambak kerah baju pimpinan preman ini dan tangan kananku mengangkat linggis bersiap untuk menghantamkannya ke wajah preman ini. Tiba-tiba aku terkejut bukan kepalang, saat aku melihat wajah preman ini dalam keadaan pasrah dan berlumuran darah, yang terlihat dimataku justru wajah Dimas yang pucat dan terlihat seperti akan mati. Astaga, lagi-lagi mimpi buruk ini kembali. Dalam keadaan panik tanganku melemah membuat linggis yang kupegang terjatuh.

Kurasakan preman ini seperti masih punya harapan untuk hidup. Kuseret preman ini ke pojokan dan aku berlari keluar meninggalkan preman ini bersama para anak buahnya sendirian didalam mall yang sudah kosong ini. Betapa paniknya aku saat kulihat keadaan diluar. Polisi, POL PP, hingga beberapa orang dengan pakaian tentara tengah menodongkan sinar laser dari senjata mereka, langsung mengarah tepat ke keningku.

Disappear (The Journey when I Runaway) [part : 13]

Jaket tebal sudah dipakai, topi hitam ini sudah menutupi kepalaku, dua batang linggis yang kupakai selama ini sudah siap, sepatu boot sudah terpasang di kedua kakiku, slayer untuk menutup wajah sudah siap di saku celana. Begitu aku melangkah keluar dari rumah ini, tidak ada jaminan berapa lama aku bisa bertahan diluar sana, atau apakah aku akan menetap disana selamanya sebagai orang paling hina? Setelah kukunci pintu rumah ini dan menyerahkan anak kuncinya pada Nindy, gadis kecil ini memeluk erat tubuhku dengan sedikit terisak.
"Kakak harus janji kalau kakak nggak bakalan pergi lama"
"Kakak bukan sekedar janji, Kakak bersumpah kalau kakak akan kembali untuk Nindy setelah ini selesai bagaimanapun caranya" kuusap kepala Nindy, aroma wangi rambut hitam itu menelusuk masuk kedalam hidungku. Puas memeluknya dengan erat, aku berangkat menuju Stasiun Manggarai. Nindy terlihat tertegun melihatku berjalan dengan kepala tertunduk.

"Eh Indra, ada perlu apa nih dateng kesini. Hayo kita minum-minum dulu" salah satu gelandangan temannya Bayu yang bernama Edi menyapaku ketika aku datang menghampiri mereka yang sedang memojok di pinggir stasiun ini.
"Maaf Ed aku lagi ada kerjaan penting, boleh aku tahu siapa yang nyakitin Bayu waktu itu?"
"Kamu mau apa emangnya Ndra? Kamu nggak bakal macam-macam kan?"
"Ed nggak ada waktu buat aku berlama-lama disini. Kasih tau aja biar aku bisa langsung pergi"
"Ndra aku tahu perasaan kamu, tapi Nindy ..." belum sempat Edi melanjutkan ucapannya aku sudah lebih dulu menjambak leher bajunya dan mendorongnya ke tiang. Sebagian teman-teman Edi menodongkan masing-masing satu belati kearah leherku.
"Aku udah bilang aku nggak punya banyak waktu"
"Aku nggak tahu siapa mereka, kita cuma sering ketemuan terus berantem nggak jelas di beberapa gerbong kereta" mendengar ucapan itu aku mulai mencekiknya.
"STASIUN MANA !!!???"
"Nggak tau, yang aku inget waktu itu mereka pernah bilang ke Bayu untuk selalu nyetor ke mereka tiap kali Bayu melintas ke wilayah Cilacap dan Pegangsaan Barat apalagi sampai masuk ke area Universitas Bung Karno. Cuma itu yang aku inget, sumpah" mendengar ucapan itu aku tertegun karena aku merasakan kalau aku juga pernah bermasalah dengan para penguasa wilayah itu, aku yakin orang-orang ini adalah orang yang sama yang pernah mengejarku waktu itu.
"Stasiun Cikini" ujarku pendek, aku melepaskan tanganku dari leher Edi dan berjalan menjauh dari stasiun ini ketika ada satu kereta yang datang. Aku masuk kedalam kereta iu dan menghilang diantara kerumunan penumpang.
"Indra tunggu, aku belum kasih tau sesuatu ke kamu, Ndra !!" aku tidak memperdulikan suara Edi saat kereta yang kunaiki sudah mulai berjalan.

Jarak antara Stasiun Manggarai dengan Stasiun Cikini tidak begitu jauh. Baru sesaat aku mempersiapkan diri, kereta tersebut sudah sampai di stasiun ini. Sesaat setelah aku keluar dari kereta aku melihat sebuah koran disebuah tempat yang menjual majalah. Dibagian pojok koran itu ada sebuah opini yang mengarah ke halaman belakang di koran itu. Judul opininya 'Pulanglah Indra, kami merindukanmu' ada beberapa isi dari artikel itu yang masih kuingat.

"Indra, sudah berhari-hari kamu menghilang dari rumah. Bukan hanya orang tuamu yang merindukanmu, tapi juga seluruh teman-temanmu bahkan kami para guru-guru disini juga sangat mengkhawatirkanmu. Jika kamu membaca pesan ini dimanapun kamu berada, kami berharap kamu bersedia untuk pulang kerumah agar kita bisa berkumpul kembali dan berbagi canda tawa bersama seperti dulu. Salam rindu dari kepala sekolahmu, Rida Nurhayati"

Cih! Canda Tawa!? omong kosong menyedihkan macam apa itu!? satu-satunya yang kalian bagikan bagiku hanyalah penderitaan dan rasa sakit hati. Ya, kalian memang merindukanku. Merindukanku untuk bisa menyakitiku lagi seperti dulu, iya kan!? Jangan harap kalian bisa mendekatiku untuk menyakitiku lagi setelah kutemukan satu dunia yang masih lebih menghargaiku ketimbang kalian, ingat itu !! Tapi menurutku ini lumayan. Lumayan untuk memacu amarah dalam hatiku untuk menghabisi para bajingan yang telah menyakiti Bayu. Sekarang tinggal mencari mereka, namun sepertinya aku tidak perlu repot-repot karena mereka semua sudah ada disini ketika kulihat mereka sedang asyik memalak beberapa pemilik toko. Aku sudah siap untuk aksiku saat salah satu dari mereka berteriak sambil menunjukku.
"Woy, itu dia si anjing yang waktu itu !!"
Dengan gaya perlahan, mereka berjalan mendekatiku sambil menyiapkan celurit.
"Masih berani lu dateng kesini, gua kira lu udah mampus, cuih!!"
"Gua denger dua hari lalu kalian ngeroyok anak-anak pengamen dari wilayah Pluit"
"Oh jadi selain partner si goblok Imam, lu juga anak wilayah pluit?ada hubungan apa lu ama si pengamen pendek keriting yang suka nyeker itu"
Ternyata mereka juga tahu kalau Imam adalah yang waktu itu kuselamatkan dari mereka, eh tunggu. Pendek, keriting, nyeker alias tanpa pakai alas kaki. Cuma Bayu satu-satunya yang punya ciri-ciri itu.
"Jawab pertanyaan gua, siapa yang udah nyakitin pengamen itu!?" mendengar ancamanku mereka malah tertawa terbahak-bahak.
"Eh kunyuk, apa urusan lu kalo salah satu anak-anak ngeroyok temen cebol lu itu"
Panas mendengar ucapan itu, dengan cepat linggis di tangan kananku mendarat di rahang preman ini. Terkejut melihat tindakanku, mereka semua mulai menghajarku dan memanggil rekan-rekan mereka. Jumlah mereka yang berdatangan semakin banyak.
"Eh bocah, cari mati lu di wilayah macan hitam, hah !!?"
Jadi mereka menamai diri mereka 'geng macan hitam'? tidak berarti apa-apa bagiku sejauh ini. Dengan asiknya aku kembali menghajar mereka semua tanpa mempedulikan para pengguna jalan yang asik menyaksikan 'tontonan gratis' ini. Seperempat jam berlalu dan mereka semua terkapar dalam keadaan kepala penuh darah, termasuk pula aku. Namun amarah di hatiku mengalahkan rasa sakit di kepalaku yang mengalami pendarahan hebat. Kudekati salah-satu dari mereka, ya dia yang tadi mengejekku. Kudekatkan ujung linggisku ke mata kanannya.
"Jadi gimana? udah keluar kunci jawabannya?"
"Mereka disana" mereka menunjuk ke Cikini Gold Center. Cih! memangnya mereka mau beli emas?
"Sebaiknya kau benar, keparat" aku memukulnya satu kali sebelum kutinggalkan preman ini.
Bermodal informasi tadi, aku melanjutkan langkah kakiku. Para warga yang melihat kami semakin riuh dan cemas, salah satu dari mereka mencoba mengingatkanku tapi aku tidak peduli karena aku sudah mulai terbiasa dengan tindakan bodoh yang menyenangkan ini.

Disappear (The Journey when I Runaway) [part : 12]

Sepanjang perjalanan aku diliputi kebimbangan, disatu sisi aku harus menolak tawaran itu karena takut Bayu dan Nindy akan mengkhawatirkanku sedangkan disisi lain harus menerima tawaran itu karena upahnya yang lumayan. Dua puluh juta lebih dari cukup untuk semua rencana yang sudah kami catat untuk dikemudian hari. Sampai aku tiba dirumah aku masih memikirkan tawaran itu, bahkan sekarang ada hal lain yang membuatku bingung. Kenapa rumah ini dikunci, apa Bayu dan Nindy belum pulang dari aktifitas mereka masing-masing atau memang mereka sedang pergi tanpa mengajakku?
"Nak Indra!!" salah satu tetangga Bayu menghampiriku, itu Bi Iyah tukang jual makanan disebelah pintu masuk gang.
"Kenapa Bik?"
"Nganu nak, Bayu tadi dibawa temen-temennya ke Rumah Sakit Husada"
Mendengar ucapan itu aku tersentak, tanpa memperdulikan Bi Iyah aku berlari menyambar kendaraan umum yang lewat berharap bisa secepatnya tiba di Rumah Sakit Husada.

Tiba disana aku melihat Nindy dan beberapa teman Bayu duduk menunggu di kursi untuk pengunjung. Kulihat disana Nindy menutup wajahnya dengan kedua tangannya sementara teman-teman Bayu sibuk menenangkannya. Aku berlari mendekati mereka mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada Bayu.
"Nindy, Bayu kenapa?" yang ditanya malah diam saja dan masih menutup wajahnya. Salah seorang dari mereka mulai menjelaskannya padaku.
"Tadi kita bareng Bayu lagi istirahat sambil makan bareng, taunya ada beberapa anak preman wilayah situ yang dateng malakin kita-kita. Karena cuma Bayu yang ngasih duit setoran yang jumlahnya paling dikit jadinya dia yang dikeroyok. Kita udah berusaha nolongin tapi jumlah mereka terlalu banyak dan kita semua diiket tadi. Kita berhasil kabur pas ada POL PP yang dateng tapi Bayu pingsan pas kita udah jauh dari POL PP dan luka-lukanya makin parah"
"Bayu-nya sendiri gimana, udah ada kabar dari dokter atau belum?"
Ada seorang dokter yang keluar dari ruangan tempat Bayu terbaring. Terlihat dokter itu sudah bisa menyimpulkan kondisi Bayu saat ini ketika kami mendekatinya, aku hanya berharap kami tidak menerima kabar buruk.
"Teman kalian kondisinya parah tapi jangan khawatir, kami akan berusaha semaksimal mungkin jadi sebaiknya begitu dia sudah keluar dari Rumah Sakit jangan suruh dia melakukan pekerjaan berat dulu sampai kondisinya benar-benar pulih"
Kami semua tertegun mengetahui kalau Bayu dalam keadaan koma. Untuk sesaat aku merasa lebih baik saat kuketahui kalau Bayu masih punya harapan untuk sembuh hingga seorang dokter mengajakku menjauh untuk bicara empat mata sementara teman-teman Bayu sudah pulang satu per satu.

Selesai bicara dengan dokter itu, aku berjalan mendekat kearah Nindy dengan langkah gontai. Nindy sudah tahu kalau wajahku secemberut ini artinya memang ada yang tidak beres.
"Apa masalahnya kak?"
"Nggak pa pa, kakak cuma mau tau siapa yang udah nyakitin abang kamu, kakak cuma mau mastiin kalo mereka nggak akan dateng kesini untuk nyakitin kamu"
"Nindy bisa jaga diri kok kak, Nindy cuma nggak tau mau cari duit dimana buat bayar biaya rumah sakit?"
"Makanya kakak harus tau siapa yang udah ngelakuin ini semua, kakak udah dapet cara buat bayar biaya rumah sakit, tapi masalahnya kakak harus pergi untuk waktu yang agak lama. Itu sebabnya kakak harus pastiin dulu kalo Nindy bakalan baik baik aja selama kakak pergi nanti"
"Emang kakak mau kemana dan berapa lama?"
"Maksimal dua bulan tapi kalo kakak bilang ke kamu kemana kakak pergi, kakak yakin kamu nggak bakalan mau maafin kakak"
"Cerita aja kak, Nindy bisa tutup mulut kok"
"Yang penting kakak harus tau siapa yang udah lakuin ini semua, kakak janji setelah ini selesai kakak bakalan jelasin semuanya asal Nindy nggak marah sama kakak"
"Yang tau siapa mereka cuma temen-temen Bang Bayu yang tadi kesini dan mereka biasanya ngumpul di stasiun Manggarai, ya udah nggak pa pa Nindy nggak bakalan marah kok tapi Nindy harap Kak Indra nggak bakal mencoba ngelakuin sesuatu yang buruk"
Aku langsung melangkah keluar dari rumah sakit setelah kukecup kening Nindy. Akan lebih baik jika Nindy tidak tahu banyak tentang apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi padaku. Aku menyayangi mereka berdua lebih dari aku menyayangi adik kecilku yang sekarang sudah kutinggalkan. Kali ini tekadku sudah mantap, aku sudah tidak lagi merasakan keraguan di batinku.

"Jadi kamu sudah yakin nak Indra, yakin untuk terima tugas ini?" Pak Torro mencoba menguji keyakinanku saat aku berada diruangannya menyatakan diri bahwa aku sudah siap.
"Iya pak, keputusan saya sudah mantap untuk ambil tugas ini"
"Baiklah saya akan persiapkan segala yang kamu butuhkan untuk bisa masuk kesana dan keluar dengan mudah bersama Aldo"
"Baik pak, tapi sebelumnya ada dua hal yang saya mau"
"Apa itu?"
"Pertama, saya harus tahu seluk beluk seputar wilayah Nusakambangan, mulai dari bentuk bangunannya, seberapa ketat penjagaannya, aktifitas rutin para sipir dan tahanannya, semuanya"
"Akan saya cari tahu itu, dan apa keinginan keduamu?"
"Yang saya tahu Nusakambangan itu adalah penjara yang dikhususkan untuk para bandar narkoba, dan nantinya akan ada satu hal berbeda yang akan saya lakukan, bapak harus pastikan saya benar-benar masuk ke Nusakambangan dan jangan sampai saya malah dimasukkan ke penjara lain"
"Soal itu sudah diatur, akan diurus oleh anak buah saya. Saya beri kamu waktu dua hari untuk persiapan"
"Terima kasih banyak pak"
Aku meninggalkan ruangan Pak Torro dengan wajah membesi. Keputusanku sudah mantap dan aku harus pastikan agar semuanya berjalan lancar. Sebelum aku pergi dari tempat ini aku menemui Imam dan dua orang jaket kulit kepercayaannya itu karena ada satu hal lagi yang kuinginkan yang tidak boleh diketahui siapapun.
"Jadi kamu benar-benar ambil tugas mustahil ini?" Imam terlihat heran dengan keputusan konyolku.
"Iya, ada waktu satu bulan penuh saat aku udah sampai disana untuk cari Aldo sampai dapat atau aku akan tetap mendekam dipenjara itu untuk waktu yang lama. Karena itu ada satu hal yang aku ingin kamu mau ngelakuinnya untukku"
"Apa aja sobat, tinggal bilang apa tugasnya"
"Ada seorang gadis kecil di wilayah Pluit, namanya Nindy. Kakaknya sekarat di Rumah Sakit Husada karena diserang preman diwilayah tempat kita diserang dulu. Kalau aku nggak kembali dalam waktu sebulan, aku ingin kamu jaga dia untukku" aku menyerahkan foto Nindy ke Imam. Melihat foto itu Imam memelukku dengan erat.
"Kamu juga harus janji untuk jaga nyawa kamu selama disana"
Setelah selesai dengan semua ini, aku pulang untuk mengambil dua batang linggisku. Dua hari lagi ada beberapa gelandangan yang akan muncul di halaman depan surat kabar sebagai korban pembunuhan.

Disappear (The Journey when I Runaway) [part : 11]

Hari kedua bekerja untuk Imam dan Pak Torro telah tiba. Setelah berpamitan pada Bayu dan Nindy aku kembali berangkat setelah subuh tadi aku menerima sms dari Imam yang menyuruhku untuk menemuinya di Jalan Cilincing Landak. Dekat dengan wilayah Sungai Tiram dimana wilayah tersebut merupakan pemukiman padat yang dipenuhi oleh air. Setelah berkendara beberapa jam kini aku tiba diwilayah ini dan bertemu dengan Imam yang sedari tadi sudah menungguku bersama dua orang berjaket kulit kemarin.
"Hari ini kita jualan" Imam menyerahkan sebuah ransel
"Jual apa"
"Pokoknya kamu bawa aja ransel ini dan biar aku yang jual ke pembeli"
"Yaudah hayo".
Kami pun bergerak menuju pemukiman pemukiman padat dan sempit yang memang biasanya ditempati oleh beberapa preman dan penjahat yang sedang beristirahat sembari berjudi dan minum-minum. Ini membuat kami lebih mudah untuk menjual isi ransel ini pada mereka, karena mereka dalam keadaan tidak sadar. Dalam hati ini sebenarnya aku ingin protes setelah melihat Imam menjual beberapa bungkusan berisi serbuk putih, namun karena aku tergiur dengan bayarannya dan memang aku tidak berniat untuk memakainya dan hanya membantu menjualnya saja maka aku tidak banyak protes pada Imam. Selesai disini kami berkeliling di satu titik di tiap-tiap wilayah Jakarta dengan barang jualan yang sama. Setelah selesai saat sore seperti biasa kami melapor pada Pak Torro untuk meminta imbalan sebelum pulang. Seperti biasa sebelum pulang kerumah aku membeli segala keperluan untuk makan sehari-hari, setidaknya untuk bisa sedikit membantu Bayu dan Nindy.

Selama tiga hari terakhir aku, Imam dan dua orang berjaket kulit ini berjualan di tiga tempat berbeda diseluruh Jakarta ini. Hingga dihari keempat saat kami mencoba menjualnya diwilayah Cawang, tiba-tiba kami dihadang oleh beberapa preman-preman kecil yang menguasai wilayah sana. Mereka datang untuk merampok uang dan isi koper kami dan mengusir kami dari sini. Karena kami tidak mau menyerahkan sedikitpun uang kami pada mereka, maka kami besiap untuk menghajar mereka. Apalagi mereka hanya sekumpulan bocah-bocah yang tidak lebih tua dari kami, memangnya bisa apa mereka. Karena persenjataan kami lengkap maka kurang dari sepuluh menit kami berhasil mengalahkan mereka hingga tiba-tiba mereka mendapat bantuan yang tak lain adalah preman-preman yang lebih tua dan besar. Sial, ternyata lagi-lagi itu preman yang sama yang pernah kuhadapi bersama Imam. Karena aku langsung buru-buru memakai masker, para preman ini tidak tahu kalau aku adalah orang yang pernah menghadapi mereka sebelumnya. Aku hanya tidak mau berurusan pada orang-orang yang sama lebih dari dua kali.
"Mam, sebaiknya kita pergi dari sini dan jangan hadapi mereka"
"Lho kenapa padahal masih dua bungkus nih, tanggung"
"Percaya sama aku, ini bukan ide bagus. Lagian masih ada hari esok untuk ngelanjutin ini"
Secara tiba-tiba si botak mengeluarkan pistolnya dan menembak salah satu preman itu. Mendengar suara letusan pistol itu aku terperanjat dibuatnya.
"Gila, apa-apaan itu barusan?"
"Nggak usah banyak protes, kalian berdua pergi duluan. Kami berdua nyusul nanti"

Aku bersama Imam lari meninggalkan tempat ini kembali ke kediaman Pak Torro untuk menyerahkan laporan hasil. Aksi lari-larian dan lompat-lompat ala parkour kembali terjadi namun yang mengejar kami kali ini lebih banyak ditambah lagi perkelahian tadi telah mengundang beberapa polisi kemari, kulihat beberapa preman itu berhasil diringkus sementara yang lainnya masih tetap mengejar kami. Seperti biasa pula kami berhasil menghilangkan jejak diantara kolong selokan kotor dibawah jembatan jalan raya. Hari ini terpaksa kami mengakhirinya lebih awal dua jam dan langsung menyerahkan laporan kami. Setelah selesai diserahkan sesaat sebelum aku meninggalkan ruangan Pak Torro, beliau memanggilku.
"Indra, boleh saya bicara sebentar nak sebelum kamu pulang?"
"Ada apa ya pak?" aku mendekat dan duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Ada sesuatu yang sebenarnya ingin saya beritahu ke kamu mengingat keahlianmu melarikan diri ... ya bisa dibilang dua langkah lebih maju dibanding Imam"
"Sesuatu? apa itu pak?"
"Sepertinya kamu belum saya beritahu sesuatu tentang Aldo"
"Aldo? siapa itu pak?" mendengar pertanyaanku Pak Torro memperlihatkan sebuah foto dari laci mejanya.
"Ini Aldo, anak semata wayang saya. Tiga bulan lalu seseorang menjebaknya dan membuatnya terpaksa harus mendekam dipenjara. Sejak dia dipenjara, bisnis saya sering mengalami masalah, ingin sekali saya bisa membawanya kembali lagi kesini. Imam sudah banyak membantu saya bersama Si Botak dan Si Gondrong tapi saya merasa tidak enak jika harus menyerahkan tugas ini pada mereka karena mereka sudah terlalu banyak saya bebankan dengan pekerjaan-pekerjaan bisnis saya"
"Kenapa bapak tidak suruh saja anggota bapak yang lain untuk membawanya kabur"
"Sudah saya suruh tiga kali kepada tiga orang bawahan saya dan ketiganya gagal, yang terakhir saya kirim kesana dia meninggal karena kepalanya ditembak saat mencoba kabur. Saya ingin nak Indra mau membawa Aldo pulang kesini dengan selamat. Sebagai gantinya saya sudah menyiapkan dua puluh juta untuk nak Indra"
"Memang dia dipenjara dimana pak?"
"Penjara Nusakambangan, saya berharap nak Indra mau menerima misi ini. Atau mungkin sebaiknya saya kasih nak Indra waktu selama satu hari untuk berpikir"
Deg, jantungku serasa berdenyut kuat sekali. Aku tahu persis penjara itu, aku dengar bahwa memang pengawasan disana sangat ketat bahkan setara Pulau Alcatraz. Sekali masuk tidak bisa keluar dan kabur dari sana artinya bunuh diri. Ini pertama kalinya aku disuruh melakukan sesuatu yang membutuhkan lebih dari seratus persen kemampuanku saat ini.
"Baiklah pak, izinkan saya untuk berpikir selama satu hari penuh"

Disappear (The Journey when I Runaway) [part : 10]

"Indra, kok tumben kemaleman? trus kenapa kepala kamu diperban gitu?" Bayu menyambutku saat dia melihat aku datang dalam keadaan senar gitar putus dan kepala diperban.
"Iya tadi abis jatuh dari bis. Nih aku bawa bahan-bahan buat masak" lagi-lagi aku terpaksa berbohong agar Bayu tidak terlalu mengkhawatirkan aku.
"Wah, aku sama Nindy baru aja selesai makan tadi. Tuh lauk masih ada buat kamu"
"Lha terus nih bahan-bahan gimana?"
"Yaudah buat besok pagi aja"
"Yaudah aku mandi dulu ya sekarang terus makan"
"Yakin nggak pa pa soal kepalamu itu?"
"Udah jangan dipikirin, yang sakit itu kepalaku bukan badanku" aku menjawab dengan sedikit bercanda. Bayu hanya tertawa mendengarnya. Selesai mandi dan makan kuputuskan untuk tidur lebih awal karena besok aku harus bangun pagi-pagi sekali. Bukan untuk mengamen tapi untuk menemui Imam dan memulai pekerjaan pertamaku besok.

Pukul enam pagi aku sudah selesai mandi dan makan. Kini aku dengan terburu-buru mengenakan kaos kaki dan sepatu dan Nindy yang juga berada duduk disebelahku tersenyum melihat kegesitanku.
"Semangat banget kak, mau kemana emang?"
"Kakak dapet kerjaan baru, nggak perlu lagi ngamen" ucapku seraya mengecup kening Nindy.
"Kerjaan baru? kerjaan apa emang?"
"Mau tau aja nih, dah berangkat sekolah sana"
"Kakak pelit !!" aku merasa senang karena kami masih bisa bercanda saat kami sudah waktunya untuk sibuk ke masing-masing pekerjaan kami. Setelah Nindy berangkat bersama teman-temannya Bayu keluar dari rumah bersama gitarnya.
"Kamu yakin Ndra nggak ngamen hari ini?"
"Nggak pa pa Bay, aku lagi dapet kerjaan nih dan ini hari pertama aku"
"Oke, sukses ya hari pertamanya"
"Sippp makasih Bay" Bayu pun berlalu meninggalkanku yang pergi ke arah yang berbeda. Setelah sepuluh menit menaiki bis aku tiba di Jalan Daan Mogot. Turun dari halte busway aku berjalan keluar jembatan dimana diujung jembatan penyebrangan sana Imam yang mengenakan setelan jaket hitam menungguku.
"Pagi Ndra, nih aku bawa capuchino"
"Pagi juga Mam, makasih"
Ada sebuah mobil yang dikendarai dua orang berpakaian kulit. Satu orang botak dan yang memegang setir berambut kuncir kuda. Saat kami masuk mobil itu si botak memberiku jaket kulit hitam dan sebuah tanda pengenal, entahlah aku belum pernah melihat kartu seperti ini. Kami berkendara menuju Bandara Soekarno-Hatta dan setibanya disana kami masuk ke wilayah lapangan terbang setelah kami memperlihatkan kartu yang tadi kudapatkan dari si botak. Aku terkagum-kagum melihat ada begitu banyak pesawat disana-sini.
"Kok bengong gitu?" Imam tertawa melihatku melongo menatap begitu banyak pesawat yang lepas landas, mendarat dan yang tengah diambil muatannya.
"Aku emang udah pernah beberapa kali naik pesawat tapi aku belum pernah masuk ke landasan pacu secara langsung sebelumnya. Keren"
"Udah tenang aja, lain kali kalo lagi empty-job kita kesini lagi dan lain kali aku bakal bawa kamera buat foto-foto."
"Mau tahu satu rahasia kecil Mam?"
"Apa tuh?"
"Sejak kecil aku pernah pengen jadi pilot bahkan sampai mati-matian belajar matematika dan selalu dapet nilai diatas rata-rata walaupun nggak begitu bagus."
"Kalo aku sih palingan pengen jadi pramugari pria aja hahahahaha"
"Hahahahaha eh ngomong-ngomong kita nungguin apa sih?"
"Itu dia baru nyampe"

Ada sebuah pesawat kargo yang baru saja mendarat. Beberapa pekerja pengangkut barang memanggil kami menyuruh untuk mendekat. Aku agak ketakutan melihat beberapa pekerja itu menatap tajam kearahku.
"Siapa dia?" seorang pekerja bertanya pada Imam sambil menunjuk kearahku
"Anggota baru"
"Mereka siapa sih Mam?"
"Tenang aja Ndra, mereka orang-orang kita"
Kami membawa masing-masing dua koper kedalam mini-truck yang langsung pergi meninggalkan bandara. Perjalanan ke tujuan sejauh ini cukup lancar mengingat kami melintasi jalan bebas hambatan dan cuacanya sangat cerah dan bersahabat. Aku merasakan sesuatu yang agak aneh dengan saat ketika kami masih berada dibandara tadi.
"Tadinya aku kira kita bakal nganter banyak muatan, taunya cuma empat koper"
"Sebenarnya ada banyak barang yang mau diantar, tapi berhubung kamu anggota baru kita nganternya dua koper aja dulu. Selebihnya biar orang lain aja yang anter"
"Emang biasanya bisa ampe berapa koper?"
"Kadang satu orang nganter enam koper pake motor, kadang juga belasan koper pake mobil sport"

Tiba di tujuan kami menyerahkan koper-koper ini dan menerima imbalan. Setelah itu kami kembali ke tempat lain untuk pengantaran lainnya hingga tiba pukul lima sore kami pulang ke kediaman Pak Torro untuk menyerahkan laporan dan mengambil bayaran untuk kami. Aku bernafas lega saat melihat uang lima ratus ribu digenggaman tanganku. Bahkan Imam memberikanku sebuah HP baru yang cukup canggih buatku.
"Tuh HP bukan sekedar buat mainan, kalau kamu dapet sms dari aku kamu harus dateng tepat waktu"
"Oke rebes boss" Aku berpamitan pada Imam dan langsung pulang, hingga diperjalanan aku merasa mencium bau yang aneh. Bau itu berasal dari sedikit serbuk yang menempel dilengan jaketku. Ah iya aku ingat serbuk itu sedikit tumpah dari koper-koper kami. Aku mulai curiga sendiri didalam bis ini sebenarnya apa isi koper-koper itu? Dua orang polisi berpakaian preman yang sejak tadi mengawasiku didalam bis mulai curiga padaku. Dengan tenang aku menuruni halte diwilayah Daan Mogot ketika dua polisi itu mulai mengikutiku. Sadar mereka mengincarku aku buru-buru berlari dan mereka berdua mulai mengejarku. Aksi lari-larian terulang kembali bedanya kali ini polisi yang mengejarku lebih gesit dari para preman-preman yang waktu itu. Aku agak kesulitan melompati tiap pagar, atap, dan dinding yang ditanami pecahan beling dan kawat berduri, bahkan aku harus membuang jaket kulitku untuk menghilangkan jejak diantara kerumunan pedagang kaki lima yang sedang ramai-ramainya dipinggir jalan. Namun pada akhirnya aku kembali berhasil meloloskan diri dan tiba dirumah dengan selamat. Bayu dan Nindy menyambutku dengan ramah.
"Gimana hari pertamanya?"
"Lumayan walaupun agak berkeringat" ujarku sambil memperlihatkan uang yang kuperoleh.
"Kakak makan gih, tuh lauknya masih ada" Nindy menawariku makan malam namun kuputuskan untuk mandi lebih dulu membersihkan diri dari bau menyengat yang sempat membuatku dikejar dua polisi tadi. Pukul sembilan malam, selesai mandi dan makan malam aku pergi ke warung makan didepan gang untuk membeli kopi hangat dan membeli es teh karena kurasakan tubuhku masih agak panas. Aku langsung naik keatas atap menemui Bayu sembari menawarkan kopi padanya.
"Cieee yang hari pertamanya sukses, wah kopi nih makasih ya"
"Iya udah kita minum dulu"
"Yakin mau minum es dingin-dingin gini?"
"Badanku kepanasan malah, makanya beli es"
Malam yang menyenangkan ini kami habiskan seperti biasa dengan bernyanyi mengiringi hembusan angin malam dan merdunya suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Bulan diatas sana juga semakin terang benderang karena asap polusi yang agak sedikit malam ini. Masa bodoh, yang penting hari pertama ini sukses dan semoga hari kedua lebih menantang dan sesukses hari ini.

Disappear (The Journey when I Runaway) [part : 9]

Setelah berjalan jauh, kini kami tiba disebuah wilayah Pantai Ancol Jakarta. Sambil menikmati pemandangan laut yang mempesona dan hembusan angin laut yang tenang sembari ditemani dua botol minuman, dia kembali melanjutkan obrolan tadi selama beberapa menit setelah terputus beberapa saat.
"Jadi kamu kabur dari rumah karena bosan sama hidup kamu yang itu-itu doang?"
"Ya aku tahu, aneh ya memang mengingat umur aku yang masih segini"
"Nggak pa pa, malah menurut aku emang itu pilihan yang bagus daripada kelamaan tinggal ditempat yang nggak bisa ngasih keceriaan gitu, nggak ada istilahnya batasan umur untuk mencoba berpetualang melawan dunia"
"Yang bener?"
"Dan nggak ada gunanya megang bara api pake tangan kosong selama sepuluh menit kalo emang tangan kamu gampang kebakar, begitu juga tempat tinggal. Nggak ada gunanya tinggal bersama keluarga cukup lama kalo keluarga itu sendiri nggak bisa kasih kebahagiaan"
"Emang kamu juga kabur dari rumah?"
"Hampir mirip kayak kamu. Sendirian ninggalin nenek aku satu-satunya untuk dateng ke Jakarta demi naklukin apapun sampai akhirnya aku dapet kabar kalo nenek aku meninggal. Seisi kampung sekarang udah buang aku dan ngelarang aku untuk kembali karena pekerjaan aku yang sekarang, tapi sekarang aku udah dapet tempat untuk berkuasa disini jadi aku nggak perlu balik lagi ke kampung"
"Emang kamu kerja apa?"
"Aku kerja untuk seorang pengusaha bernama Pak Torro"
"Kalau kamu kerja untuk pengusaha lalu kenapa kamu waktu itu berpakaian kayak gelandangan?"
"Aku dikasih tugas untuk ngirim paket ke wilayah tempat kamu nyelametin aku waktu itu. Aku pakai pakaian gelandangan biar bisa membaur sama lingkungan disana yang sebagian besar kumuh. Aku juga dateng sendirian biar nggak ada dari mereka yang tahu identitas asli aku"
"Paket macam apa emangnya"
"Nggak tau, aku juga nggak dapet informasi apa apa sama atasan aku. Yang aku tahu aku cuma disuruh nganter paket itu ke tujuan yang letaknya ada diwilayah musuh"
"Pernah nggak kepikiran kalau isi paket itu adalah sesuatu yang berbahaya"
"Bukan pernah lagi, sering malah. Kadang aku berpikir kalau isinya narkoba, atau amunisi, atau malah nuklir"
"Kalau isinya nuklir mah pasti Jakarta udah dari dulu jadi Chernobyl kedua"
"Hahahahaha"

Kutatap ujung laut dikaki langit itu. Pemandangan berwarna biru tua yang indah dibawah warna biru muda yang berhiaskan kepulan warna putih yang mereka sebut awan. Sungguh pemandangan pinggir laut yang mempesona dan memanjakan mata. Disekelilingku terlihat pasangan muda-mudi tengah asyik berpelukan dan memadu kasih, anak-anak berlalu lalang didekat kami membawa balon dan es krim. Suasana damai persis seperti yang kualami saat pertama kali bertemu dengan Bayu.
"Eh mau ikut ketempat aku? siapa tau kamu tertarik"
"Mungkin lain kali aja, soalnya aku harus balik lagi ngamen, mana gitar aku tinggalin lagi di warteg tadi pas mereka datang ngeroyok"
"Ini masih jam setengah tiga lho. Masih ada waktu untuk kita jalan-jalan lagi. Soal gitar ntar aku bantu ambil deh malem nanti pas kamu mau pulang"
"Hmmm boleh deh, tapi tempat kamu diwilayah mana emang?"
"Pantai Indah Kapuk, nggak jauh kok dari sini"
"Yaudah, dan sekali lagi makasihnya. Perbannya, jalan-jalannya, minumannya, wah aku berutang banyak sama kamu" mendengar ucapanku yang bersahabat, dia menawarkan jabat tangan denganku.
"Imam" aku membalas jabatannya dengan senyuman
"Indra"

Kami menaiki bis menuju wilayah Pantai Indah Kapuk. Tempat dimana Imam tinggal bersama rekan-rekannya sesama 'preman berdasi'. Tiba di tujuan kami langsung memasuki sebuah rumah besar yang berandanya dijaga oleh beberapa orang berdasi. Aku sempat ketakutan melihat orang-orang itu karena kulihat disana ada beberapa unit AK-47.
"Jangan khawatir, mereka cuma penjaga gerbang"
"Tapi kok malah pake AK-47 segala, emang mau perang"
"Udah ikutin aja, ntar juga lama-lama kamu ngerti sendiri"
Interior rumah ini sangat mewah, barang-barang bernilai seni tinggi dan segala perabotan mahal berjejer rapi di tiap-tiap sudutnya. Sebuah mini bar yang sedang ramai saat ini terlihat berada disisi kanan rumah itu. Tak tanggung-tanggung belasan pria berjas dan berdasi hitam berdiri tegap disegala tempat diruangan itu. Kini kami menaiki sebuah tangga dan memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu memiliki sebuah meja besar berbentuk oval dan diduduki oleh sekitar sepuluh orang berpakaian seperti pria berjas yang tadi bedanya ada yang jasnya berwarna abu-abu, merah, cokelat, dan satu orang diujung meja itu berpakaian jas merah dengan bunga kecil didadanya tengah asyik menghisap cerutu. Aku pernah dengar seorang bernama Don Corleone dan kelihatannya orang ini mirip.
"Jadi Imam, siapa anak muda ini?"
"Ini Pak, dia anak yang waktu itu sudah menyelamatkan nyawa saya"
"Silahkan duduk nak" seorang pria berjas abu-abu menawariku kursi dan segelas bir. Aku dan Imam duduk sambil menikmati bir ditangan kami.
"Jadi, anda yang bernama Indra Alamsyah ya, saya dengar anda dicari-cari oleh pihak kepolisian sebagai orang hilang"
"Benar pak, saya tidak peduli lagi pada hidup saya yang dulu karena sekarang saya sudah punya kehidupan baru yang lebih menantang disini"
"Saya suka semangat kamu. Kamu lihat, disini kami semua sangat menjaga dan selalu saling mendukung dalam tugas. Disini kami berprinsip bahwa semua anak buah kami adalah anak kami sendiri. Kami juga memberikan semua yang diperlukan anak-anak kami dan tidak ada yang tidak terpenuhi. Contohnya Imam, walaupun dia sempat diusir dari kampung halamannya namun sekarang dia sudah jadi orang terhormat di provinsi penuh peluang ini. Kami juga tidak sungkan-sungkan untuk menerima anak baru yang ingin bergabung bersama kami, segala bentuk kenyamanan dan keamanan akan selalu tersedia disini selama anak-anak kami mau melakukan segala misi yang kami berikan"
"Kami juga sedang membutuhkan orang dengan bakat berkelahi dan melarikan diri yang sangat luar biasa seperti kamu. Kamu bisa gunakan bakat kamu dan juga memperasahnya disini jika kamu mau"
"Jadi ... nak Indra, Imam sudah menawarkan kami untuk menerima nak Indra dalam organisasi ini. Dan setelah kami periksa arsip-arsip anda kami sepakat untuk mengundang anda untuk bergabung bersama kami"
"Jadi anak muda bagaimana, mau bergabung bersama kami"
Si penghisap cerutu itu bernama Pak Torro, si jas abu-abu itu bernama Pak Ivan, dan aku merasa kenal dengan yang berjas merah dan selebihnya aku masih belum kenal. Karena Imam yang sudah mengundangku dan kelihatannya ini cukup menghasilkan, maka aku anggukkan kepala tanda setuju. Para pria terhormat dimeja ini berdiri bersamaan dan mengangkat gelas-gelas bir mereka.
"Selamat datang di 'Perusahaan Gagak Hitam'" Pak Torro berujar dengan lantang
"Mari bersulang untuk anak kita yang baru, Indra Alamsyah" Pak Ivan juga ikut berujar, kami diruangan itu kini menikmati bir bersama.

Disappear (The Journey when I Runaway) [ Part : 8 ]


Sesaat aku mengatur nafas setelah melihat pojok koran itu, aku berusaha menenangkan diri apalagi di hadapan Nindy. Aku mulai berujar dengan diiringi senyum simpul bibirku.

"Jadi, Nindy ngira kakak bakalan ninggalin kalian?"

"Cuma khawatir aja, Nindy takut nggak bisa ketemu kakak lagi." bibir merengut yang imut itu membuatku semakin gemas dan dengan jahil aku memolesnya dengan sendok yang berlumur kecap.

"Khawatir ya khawatir, tapi bibir Nindy jangan dimanyunin gitu dong. nih isep dulu nih kecap."

"Ih apa sih, kakak jail ah," ujarnya sedikit tertawa.

"Hahahahaha biarin," ujarku yang makin menjahilinya.

Canda tawa menghiasi suasana di dapur hingga kami selesai memasak. Bahkan hingga kami selesai makan malam, suasana hangat ini masih menyelimuti keluarga baruku ini. Tiba pukul delapan malam, seperti biasa Nindy kembali ke aktivitas belajarnya dan Bayu kembali duduk di atas atap. Saat aku menaiki atap itu, aku disambut oleh satu pertanyaan dari Bayu.

"Ndra, kamu yakin nggak mau pulang lagi ke rumah orang tua kamu?"

"Sebenarnya aku bukan tipe orang yang terlalu gampang untuk jilat ludah sendiri. Papa sama mama udah ngusir aku dari rumah, dan aku yakin mereka juga nggak pernah ngarepin kelahiran aku. Jadi jangan harap aku bakal balik lagi kerumah sekalipun itu berarti aku bakalan mati di kota ini."

"Aku sama sekali nggak ngelarang kalau kamu mulai berpikir untuk pulang. Lagipula kenapa kamu nggak ceritain aja keluhan kamu sama mama dan papa kamu?" tanya Bayu.

"Supaya mereka bisa cambuk punggung aku karena dianggap sok menasehati orang tua?" sanggahku.

"Supaya mereka ngerti kenapa kamu sampai nekat ninggalin mereka."

Mendengar ucapan itu membuatku tertunduk, sebenarnya dalam hati kecilku aku ingin punya keluarga bahagiaku sendiri. Namun jika Tuhan tidak mau menganugerahkan itu maka aku sendirilah yang akan mencarinya, dan jika tidak bisa kutemui maka akan kuciptakan keluarga bahagia untuk diriku sendiri.

"Ndra, nyimpen rahasia bukan sesuatu yang baik untuk kesehatan. Dan yang aku bicarain ini bukan cuma soal kepergian kamu dari rumah. Akhir-akhir ini kamu sering pergi pagi pulang malem dan waktu itu kamu pergi malem berangkat subuh tanpa bawa gitar untuk ngamen, boleh aku tanya kamu pergi kemana waktu itu? dan darimana kamu dapet duit itu?"

Mendengar pertanyaan itu aku tertunduk dan kembali turun kebawah untuk tidur.

"Selamat malam Bayu." uncapanku membuat mata Bayu terlihat sayu.

***


Akhirnya Bayu telah sembuh dan bisa beraktivitas kembali seperti sediakala. Aku dan Nindy sangat senang melihatnya. Dan karena Bayu sudah bisa bergerak bebas maka hari ini seperti waktu itu kami kembali mengamen seperti biasa.

Walaupun sebenarnya bagiku mencopet itu lebih seru dan hasilnya lebih banyak, namun aku hanya mau mencopet jika dalam keadaan terdesak seperti saat Bayu sakit atau saat Nindy butuh uang untuk sekolah. Dan jika masalah-masalah tersebut sudah berlalu, maka kami mengamen kembali seperti biasanya.

Seperti biasa pula, hasil yang kudapat masih dalam kategori 'banyak'.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul setengah satu siang, sekarang waktunya untuk menikmati makan siang di warung makan langgananku. Apalagi dari tadi aku kesulitan bernyanyi karena perut keroncongan minta diisi.

Namun saat aku akan menikmati makan siangku di warung makan, tiba-tiba warung ini kedatangan tamu tak diundang. Sekelompok preman dengan membawa celurit tengah memalak si pemilik warung makan. Tak tanggung-tanggung, semua pengunjung juga ikut dipalak hingga tinggal satu orang yang belum dipalak yaitu aku. Salah satu preman itu menunjuk kearahku pada teman-temannya lalu kemudian mereka menghampiriku.

"Heeh mana sini setoran!" bentak salah satu dari mereka.

"Kalo gua nggak mau, lu mau apa?" tantangku.

"Bangsat cari mati nih bocah!"

Tidak heran kalau aku mulai berani dengan mereka, karena mereka masih preman-preman yang sama dengan yang waktu itu sempat mengejarku.

Mereka menyeretku ketengah jalan dan kembali mengeroyokku. Masih ada satu batang linggis di balik bajuku, aku pun mencoba melawan sebisaku. Tubuhku babak belur di tangan mereka yang mengeroyokiku.

Belum cukup sampai disitu, jumlah mereka yang muncul untuk mengeroyokku semakin banyak dan memenuhi jalanan ini. Para pengguna jalan terpaksa menyingkir bahkan memilih berbelok ke jalur yang lebih aman karena takut dengan kelompok preman-preman ini. Jumlah mereka ada sekitar lima puluhan dan mulai memojokkanku.

***


Sadar aku kalah jumlah, aku mulai putus asa. Darah segar mengalir dari tiap-tiap luka lebam dan robek di tubuhku. Dan ketika aku pikir sudah siap untuk mati ... .

... sesuatu terjadi.

Sekelompok preman lainnya datang dan menghabisi mereka dengan membabibuta. Perang antar dua kelompok preman pun terjadi dan suasana di jalan ini mulai terlihat seperti perang antar kerajaan.

Melihatku terkapar di trotoar, salah satu anggota dari kelompok preman yang baru datang pun menyeretku ke sebuah gang dan menghindar dari peperangan ini, sebelum akhirnya sekelompok polisi datang bersama pasukan anti huru-hara. Seisi jalan kocar-kacir mencoba melarikan diri termasuk pula kami berdua.

"Kamu masih bisa jalan?" preman yang ternyata sebaya denganku ini memeriksa luka ditubuhku.

"Iya, nggak pa pa ini cuma luka sayatan," ujarku. Padahal luka-luka robek dan lebamku terlalu banyak untuk dibilang 'sayatan'.

"Kalau begitu hayo ikut aku!" Preman ini menyerahkan sebatang linggis padaku. Ah iya sekarang aku ingat, dia orang sama yang waktu itu sempat kutolong.

Kini kami berlari ke celah-celah sempit di antara tempat-tempat usaha pinggir jalan untuk menghindar. Menghindar dari mereka yang ingin menghabisiku, juga dari polisi yang mencoba menangkap kami. Ternyata sama sepertiku, anak ini jago dalam hal 'parkour' --atau apalah sebutannya.

Setelah beberapa menit berlari dan setelah dirasa cukup aman, kami berhenti sebentar di belakang sebuah apotik rumahan. Anak itu membeli beberapa perban dan obat merah untukku. Kutatap wajah anak ini ketika dia masih sibuk membalut luka ditubuhku.

"Makasih udah nyelamatin nyawaku, kukira aku bakalan mati."

"Anggep aja bales budi karena udah nyelametin aku waktu itu," ujarnya. Aku tertawa lepas saat mengetahui kalau dia adalah anak yang ramah, sebab saat dia meninggalkanku waktu itu kukira dia anak yang sombong.

"Hey, maaf aku lupa balikan linggismu waktu itu."

"Nggak pa pa, sekarang udah aku pegang." ujarku sambil menunjukkan dua linggis di dalam jaketku.

"Mau ikut aku? kita cari tempat aman, terlalu bahaya disini karena banyak polisi ditambah lagi ini bukan wilayah kelompokku."

"Kelompokmu?"

"Nanti aku jelasin kalo kamu mau ikut aku, hayo."

Bersama, kami menjauh dari tempat ini dan mencari tempat untuk beristirahat dan mengobrol bersama. Aku bersyukur karena masih bisa hidup setelah orang ini menyelamatkanku. Apalagi kelihatannya orang ini cukup baik bagiku.

Disappear (The Journey when I Runaway) [ Part : 7 ]


Pukul sembilan pagi.

Setelah beberapa saat beristirahat, Aku kembali keluar rumah. Awalnya seperti janjiku pada Bayu yang saat ini tengah tertidur pulas, aku akan pergi mengamen. Namun begitu keluar dari pintu rumah, aku mengubah niatku yang semula untuk mengamen malah berniat untuk mencopet lagi.

Naik bis dan kereta dengan gaya tenang di balik jaket gelap ini, lalu keluar dengan membawa banyak kantong-kantong tebal. Setelah kubuang kantong-kantong itu di tempat pembuangan sampah dan mengumpulkan isinya, aku mencoba mencari warung makan untuk sekedar beristirahat sambil mengisi perut.

Saat sedang menikmati santapan, kulihat di luar sana tepatnya di sebuah gang kecil, ada beberapa preman tengah membully seseorang. Terlihat di sana, dia berusaha mati-matian membalas preman itu namun karena kalah jumlah, balasan serangannya seolah olah tidak berarti apa-apa. Piring nasiku yang sudah habis hanya menyisakan dua keping tempe goreng, sambil menonton pengroyokan itu aku masih menggigit tempeku. Hingga tiba-tiba para preman itu menatapku. Aku terkejut hingga tempe dimulutku menyembur.

Mereka para preman yang semalam.

"Woe, lo yang semalem itu kan?" teriak salah satu dari mereka kearahku.

Kepalangan sudah tertangkap basah, kudekati mereka sambil mengeluarkan dua batang linggis di balik lengan jaketku. Perkelahian pun dimulai lagi, celurit-celurit itu tidak berarti apapun di hadapan dua batang linggisku.

Tujuh lawan satu dan sejauh ini aku hanya menerima beberapa sayatan dalam yang menggores dagingku cukup dalam. Hingga lambat laun aku mulai terpojok karena kalah jumlah dan mulai kelelahan. Kudekati si gelandangan yang terkapar itu. Dan kulemparkan salah satu linggisku padanya.

"Bangun, kita hadepin mereka bareng-bareng."

Merasa tidak ada pilihan lain, orang itu mengambil linggisku. Kami mati-matian menghajar preman-preman itu dengan asyiknya. Akhirnya para preman itu memutuskan untuk mundur karena banyak dari mereka yang kepalanya bocor dan retak di tangan kami.

"Kita berhasil" ujarku pada orang itu. Padahal sebenarnya aku berniat untuk tos padanya namun dia malah lebih dulu lari, ditambah lagi salah satu linggisku di bawanya kabur.

***


Sudah pukul dua siang, aku melangkah di trotoar di tengah siang yang terik dan suasana jalan raya yang selalu macet. Aku tersentak saat melihat sebuah kertas yang tertempel di tiang listrik. Tulisan itu membuatku terperanjat.




DICARI ORANG HILANG




"Indra Alamsyah"

Bagi yang pernah melihat harap hub :

0823-7971-6822




Aku tahu persis kalau wajah di foto itu adalah wajahku. Sial, orang tuaku sudah mulai mencari keberadaanku ternyata.

Buru-buru kucabut kertas itu dan membuangnya ke selokan sebelum kulanjutkan kembali langkah kaki ini. Menyusuri tiap-tiap trotoar sembari menikmati pemandangan perkotaan, yang selalu penuh oleh caci maki dan umpatan para pengguna jalan yang sumringah karena kemacetan.

Ada beberapa pengemis di dekatku tengah sibuk meminta-minta para pengguna jalan, pengamen yang sibuk bernyanyi di dekat tiap-tiap mobil, juga para gelandangan jalan raya yang masih sibuk beraksi di antara padatnya kendaraan.

Tiba-tiba kesibukan mereka terusik oleh munculnya POL PP yang tengah mengadakan razia gelandangan dadakan. Melihat para pria tegap dengan seragam cokelat itu tengah berlari kearah mereka, spontan mereka kocar-kacir menyelamatkan diri. Ada beberapa anak yang tertangkap, ada pula beberapa orang jompo yang menjerit dan berontak saat diringkus lalu kemudian berhasil lolos. Seisi pengguna jalan tertawa melihatnya seakan ini menjadi tontonan tersendiri bagi mereka.

"Gimana menurut lu? menurut gua kayaknya itu dia orangnya."

"Iya, ciri-cirinya mirip sama yang pernah diumumin waktu itu."

Dua orang POL PP berbisik-bisik sambil menatapku. Sadar sedang diincar, aku berusaha berjalan dengan tenang dan menutup kepalaku dengan tudung jaketku. Saat kudengar langkah kaki mereka terdengar mulai mendekat kearahku, aku langsung masuk kedalam sebuah gang kecil didekat jalan itu.

"Heeh, berhenti!"

Inilah saatnya.
Aku mulai berlari secepat kilat dan melompati pagar kayu tinggi itu. Aku bisa dengan mudah melewati segala rintangan, dan dua polisi itu tidak bisa mengejarku.

Namun jumlah POL PP yang tengah mengadakan razia terhitung terlalu banyak, ditambah lagi mereka semua tersebar disetiap jalan dan gang. Membuatku semakin kesulitan mencari celah untuk meloloskan diri. Walaupun 'gerakan parkour'ku tetap membuatku semakin leluasa untuk menjauh.

Karena kusadari kalau mereka adalah POL PP, maka kuputuskan untuk berlari saja dan tidak menyerang mereka. Aku khawatir mereka akan menembakku. Setelah beberapa lama melompat kesana kemari akhirnya aku berhasil menghilangkan jejakku di bantaran sungai yang kotor dan dipenuhi sampah plastik. Aku berhasil kabur.

***


Malam hari telah tiba, dan setelah beberapa saat berjalan kini aku tiba dirumah. Aku senang karena kondisi Bayu sudah mulai membaik, meskipun gerakannya masih terbatas. Kuputuskan bahwa aku sendiri saja yang memasak makan malam. Dan untung saja saat itu Nindy sudah pulang, sehingga aku lebih tertolong. Sambil sibuk memasak, Nindy memulai obrolan kami didapur.

"Kak, sebenarnya kakak betah nggak disini?"

"Kok kamu nanya gitu, ya pasti kakak betah lah."

"Kakak yakin bener-bener sanggup tinggal disini walaupun orang tua kakak udah mulai kangen?"

"Kok kamu nanya gitu, mereka udah ngusir kakak. Mana mungkin mereka berharap kakak pulang?" aku mulai curiga dengan kearah mana obrolan ini akan berjalan.

"Nindy khawatir aja kalo kakak berubah pikiran terus mutusin untuk balik lagi kerumah. Nindy sebenarnya nggak melarang. Lagian itu udah hak kakak untuk balik lagi kerumah, Nindy cuma takut nggak bisa ketemu kakak lagi. Nindy belum pernah punya temen sebaik kakak." Tatapannya terlihat sendu kearah mataku.

"Terus abangnya Nindy?"

"Yaaa Nindy tau kalo Bang Bayu suka pergi pagi pulang malem cuma buat nyari duit, makanya Nindy takut ngeganggu istirahatnya dia, jadinya Nindy canggung kalo mau ngobrol sama abang kecuali kalo abang duluan yang ngajak ngobrol."

"Nindy nggak usah takut, kakak bakal terus disini buat Nindy, kakak janji deh." Kuusap-usap rambut hitam panjang yang sedikit melewati bahu itu.

"Okey, makasih ya kak."

Sesaat aku terdiam hingga kurasakan ada yang benar-benar ganjil dalam obrolan ini. "Nindy kok khawatir gitu, kenapa emang?"

"Temen Nindy beli koran terus Nindy baca ini."

Mendadak jantungku serasa mau lepas saat kubaca kolom besar dipojok koran itu. Informasi orang hilang persis seperti yang kulihat dijalan tadi siang.

Disappear (The Journey when I Runaway) [ Part : 6 ]


Tiba di rumah, Nindy menyambut kami dengan ekspresi terkejut melihat kakaknya pulang bersamaku dalam keadaan babak belur. Buru-buru dia ke belakang mengambil air dan handuk kecil untuk membersihkan luka kakaknya itu.

"Abang kenapa kak?" Nindy menanyaiku ketika aku masih ikut mencoba membersihkan lukanya.

"Nggak tau juga, siapa yang udah ngeroyok kamu Bay?"

"Anak-anak sekitar situ Ndra, mereka tahu kalau aku baru pulang dari ngamen jadi mereka langsung ngeroyok aja. Udah nggak pa pa yang penting kita cari tahu dulu berapa banyak yang diambil," ujarnya dengan suara serak menahan sakit.

Saat Bayu memeriksa isi kantongnya ternyata yang tersisa hanya tinggal sepertiga dan selebihnya sudah terlanjur dibawa lari para preman itu.

"Tingal dikit yangt kesisa, selebihnya gimana nih?" Bayu menghela nafas kecewa melihat sisa uang yang tertinggal.

"Aku masih ada sisa hasil tadi, mending kamu pake aja dulu Bay."

"Yakin nggak pa pa?"

"Udah pake aja dulu, kan kamu sendiri yang bilang kalo urusan sekolah Nindy lebih utama."

"Nanti ngerepotin kakak lagi." Nindy menimpali Bayu karena merasa tidak enak denganku.

"Kalaupun pake duit kamu, sisa selebihnya dapet dari mana?"

Benar juga apa kata Bayu, masih belum cukup untuk mencukupi biaya yang dibutuhkan Nindy. Setelah berpikir sesaat kuputuskan untuk pergi keluar rumah, Melihatku pergi begitu saja Bayu dan Nindy terheran-heran.

"Kak Indra mau kemana?" mendengar Nindy, aku hanya menjawab sambil tersenyum.

"Bentar doang kok."

***


Setelah lima hari aku sudah biasa naik turun bis, keluar masuk angkot, menjelajahi setiap stasiun dan gerbong kereta bersama Bayu. Kini aku sudah berani pergi sendiri mengitari seisi Jakarta ini.

Aku pun sudah semakin mengenal keadaan-keadaan yang terjadi di sekitarku karena memang mengamen bukanlah sesuatu yang mudah sekalipun terkadang hasilnya bisa cukup bagus. Selain harus bertempur melawan waktu juga ada banyak pengganggu diluar sana yang siap dua puluh empat jam untuk merampas hasil jerih payah yang sudah dikumpulkan. Mulai dari preman dan pemalak, penjambret yang tiba-tiba lewat, POL PP yang selalu berkeliling mengincar para gelandangan dan pengamen jalanan, yang pasti aku sudah paham bahwa di Jakarta semua kemungkinan selalu bisa terjadi kapan saja dan dimana saja.

Namun yang pasti kali ini aku naik kereta bukan untuk mengamen.

Oke, saat ini aku berada di stasiun dengan suasana malamnya yang sunyi. Setelah tiba di dalam sebuah kereta malam, kulihat keadaan sekelilingku. Padat namun senyap. Orang-orang ini kebanyakan adalah pegawai yang baru pulang dari kantor mereka masing-masing.

Kulihat wajah mereka semua sudah mulai sayu dan kebanyakan diantara mereka sudah tertidur baik di kursi maupun yang berdiri dengan bertumpu pada tiang besi. Beberapa saat menatap mereka, kulihat salah satu bokong milik seorang pegawai berperut tambun terlihat menyembul. Dompet itu terlihat tebal, batinku berusaha berontak lagi namun keadaan dirumah yang tengah terdesak memaksa instingku untuk bertindak gila.

Seperti yang kulakukan saat pertama kali kabur dari rumah, kucoba mencabut dompet itu dan langsung pergi ke gerbong lain yang lebih jauh. Aku cukup beruntung karena saat ini aku mengenakan jaket tebal gelap dan topi berwarna hitam sehingga tidak akan ada disini yang mengenaliku.

Bukan cuma satu atau dua korban, tapi hingga tujuh korban sekaligus dari kereta ke kereta.

Setelah tiba kembali ke Stasiun Cawang, kuputuskan untuk turun dari kereta dan langsung pulang.

Keadaan masih cukup lenggang ketika kulihat ada empat orang berpakaian berandalan tengah terduduk di pojok stasiun sambil menatap tajam kearahku. Kutatap sesaat mereka dan terlihatlah masing-masing tangan mereka menggenggam celurit dan mulai berjalan kearahku. Sadar mereka mengincarku aku mulai berlari namun mereka mulai mengejarku. Aksi lari-larian ala atlet parkour pun dimulai.

***


Para berandal ini semakin gencar mengejarku dan gerakanku juga begitu lincah meloncat kesana kemari melintasi tiap jembatan dan halte. Aku terkejut dibuatnya. Aku mungkin memang cukup ahli dalam pelajaran olahraga saat masih bersekolah dulu, tapi sejak kapan aku jadi selincah ini padahal aku tidak pernah belajar parkour sebelumnya. Apa ini karena aku sudah mulai membaur dengan kehidupan Jakarta yang terkenal keras dan brutal?

Aku masih berlari meloncat dari tangga ke tangga hingga aku tiba di sebuah gang kecil di wilayah Jalan Hayam Wuruk. Saat aku mengira kalau para berandalan itu sudah cukup jauh, ternyata mereka tinggal semeter sebelum akhirnya celurit mereka menyayat punggungku.

Aku sudah tidak bisa lari lagi, jadi kuputuskan untuk mencoba melawan mereka disini. Bermodal sebilah linggis yang sempat kupungut di pembatas jalan, aku mulai menghajar mereka. Setelah asyik berkelahi selama satu jam penuh, mereka akhirnya terkapar berlumuran darah tanpa bergerak sedikitpun, namun masih bisa bernafas sementara aku menerima tiga sayatan celurit di punggungku.

Saat aku menjauh dari empat berandalan itu yang tengah mengatur nafas, ternyata muncul lagi tiga berandalan lainnya yang tak lain adalah teman dari berandalan sebelumnya. Melihat empat temannya itu terkapar di tanganku, mereka mulai mengincarku.

"Berenti lo bangsat, cari mampus lo diwilayah sini?" teriak mereka sembari menunjuk kearahku.

Mendengar makian mereka, jantungku gelagapan dan kuputuskan untuk berlari kembali. Kembali meloncati tiap pagar dan palang, menyusup di tiap-tiap celah dan gorong-gorong. Aku cukup beruntung karena kali ini yang mengejarku lebih lambat dariku. Hingga setengah jam kemudian aku berhasil menghilangkan jejak disebuah pemukiman sempit di bawah got besar yang mengarah langsung ke sungai ciliwung. Aku tidak perduli walaupun lenganku memar dan tiga sayatan terlihat di punggunggku. Masih hidup saja aku sudah sangat bersyukur.

Karena kurasa malam mulai semakin dingin yang artinya sudah mendekati waktu subuh, kuputuskan untuk mencari minimarket dan apotik dua puluh empat jam yang mungkin masih buka. Setelah puas membeli beberapa yang kupikir mungkin akan diperlukan, dan karena uangku masih cukup banyak, maka kuputuskan untuk langsung pulang karena khawatir akan membuat Bayu dan Nindy menungguku terlalu lama.

***


Setibanya di rumah, Bayu dan Nindy menyambutku dengan perasaan khawatir terjadi sesuatu padaku karena pergi terlalu lama.

"Kakak dari mana aja? ini udah jam lima subuh Nindy takut kak," pelas Nindy.

"Udah lah, Nindy nggak usah khawatir. Kakak baik-baik aja kok. Oh iya nih kakak udah dapet empat ratus ribu, dan ini buat kamu Bay, aku baru aja beli obat luka," ujarku menyodorkan kantok plastik di jaketku.

Nindy terlihat bersyukur bukan karena uangnya cukup, tapi lebih karena aku pulang dengan selamat setelah pergi keluar rumah semalaman, sementara Bayu merasa tidak enak padaku.

"Maafin aku Ndra, gara-gara keadaanku saat ini aku jadi ngerepotin kamu."

"Punggung kakak kenapa?" Nindy terkejut melihat sayatan dipunggungku.

"Oh, cuma kena potongan besi, tadi kakak kepeleset. Udah jangan dipikirin dan kamu Bayu hari ini kamu istirahat aja dulu. Biar aku yang cari duit hari ini, besok baru kamu ngamen lagi."

Mendengar ucapanku Bayu merasa bersyukur karena ada aku yang mau menolong keluarga ini. Padahal sejujurnya akulah yang paling berterima kasih karena keluarga kecil ini mau mengizinkanku tinggal disini sejak aku lari dari rumah beberapa hari lalu. Aku tidak peduli walaupun orang tuaku khawatir padaku atau malah kegirangan dengan kepergianku, bagiku keluarga baruku ini adalah prioritas utama.

Waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Merasa sejauh ini aman-aman saja, maka aku putuskan untuk kembali mencopet seperti yang kulakukan semalam. Tepat setelah aku selesai beristirahat nanti.

Disappear (The Journey when I Runaway) [ Part : 5 ]


Pagi hari menjelang pukul lima, seisi rumah tengah bersiap-siap untuk kegiatannya masing-masing. Termasuk pula aku yang akan berangkat mengamen bersama Bayu. Nindy sendiri tengah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Setelah selesai menikmati sarapan pagi, kami berangkat dengan peralatan masing-masing.

Aku pun mengikuti Bayu naik turun bis, dan membawakan beberapa lagu yang menurutku tidak banyak yang diketahui semua orang. Ya, lagu-lagu mancanegara yang biasa dilantunkan di MTV.

Yang membuat Bayu merasa bersyukur ialah kantong kami telah terisi dua puluh ribu dalam satu atau tiga bis, kudengar beberapa penumpang berbisik dengan mengatakan bahwa suara dan caraku bernyanyi sambil bermain gitar sangat bagus. Aku berusaha tetap tenang dan bersahabat walaupun sebenarnya aku tersipu malu --atau lebih tepatnya ge er-- atas pujian itu.

Hari telah menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah belasan bis kami naiki dan yang kami dapat selalu dua puluh ribu keatas. Kuhitung total pendapatan kami sejauh ini sudah terkumpul seratus delapan ribu. Wajar saja, sejauh ini para penumpang hampir semua yang di bis memberikan selembar uang dua hingga lima ribu. Ditambah lagi Bayu selalu memilih bis berpenumpang sesak.


***

"Alhamdulillah udah banyak. Nih, makasih ya Indra udah mau ikut bantu ngamen," ujar Bayu sembari memberikan sebagian pendapatannya padaku. Saat ini kami sedang berjalan di trotoar.

"Udah nggak usah, terima kasih. Aku seneng kok kalau pendapatan kamu kekumpul banyak hari ini," balasku menolak uang hasil jerih payah Bayu.

"Yang bener 'pendapatan kita'." Bayu membenarkan kalimatku.

"Udah itu ambil aja buat kamu, aku mau coba ngamen sendiri sekarang." Aku pun menyampirkan kembali tali gitar ke bahuku.

"Yakin berani?"

"Yakin deh, udah kita ntar ketemuan dimana?"

"Tempat biasa."

Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di Waduk Pluit, tempat kami beristirahat waktu itu. Bermodalkan informasi rute dan jurusan bis di tiap-tiap jalur, aku mulai menjambangi jalanan ini sendirian. Hingga pukul tiga sore, aku memutuskan untuk langsung ke Waduk Pluit sesuai rencana. Kulihat disana Bayu yang tengah menungguku langsung mendekatiku.

"Dapet berapa?" buru-buru Bayu mendekati kantongku.

"Delapan puluh empat, kamu dapet berapa Bay?"

"Cuma nambah dua puluh delapan, yang banyak ini hasil tadi kita barengan."

"Udah kekumpul nih seratus empat puluh, mending buat kamu semua aja."

"Kita bagi sama rata aja, nggak enak sama kamu."

"Yang lebih butuh duit ini kamu, aku baik-baik aja kok."

"Tapi ini hasil kerja keras kamu sendiri lho," pelas Bayu kearahku yang masih juga kutolak.

Setelah sibuk berdebat, akhirnya disepakati aku hanya akan ambil sepertiga dari total hasil yang terkumpul dalam sehari. Kami pulang hari ini dengan rasa syukur yang tak henti-hentinya, tiba dirumah kami menikmati makan malam bersama. Setelah menikmati makan malam aku putuskan untuk keluar rumah pergi ke suatu tempat.

"Kak Indra mau kemana?" Nindy bertanya padaku ketika aku akan membuka pintu

"Eh, kakak mau keluar bentar nyari rokok," ujarku. Padahal aku sendiri belum pernah merokok sebelumnya.

"Yaudah jangan lama-lama ya kak."

"Oke sippp."


***

Satu jam kemudian aku kembali ke rumah. Kulihat Nindy masih sibuk membaca buku cerita kesukaannya, sementara kakaknya seperti biasa naik keatas atap menikmati pemandangan langit malam. Saat aku akan naik keatas sana, Bayu menyambutku dengan perasaan tidak enak.

"Kamu yakin, nggak pa pa cuma dapet sepertiga?"

"Udahlah aku baik-baik aja kok, lagian udah dibolehin tinggal disini aja udah bagus buat aku."

"Makasih ya Indra, aku seneng kamu ada disini."

"Ada juga aku yang harusnya terima kasih ke kamu karena udah ngebolehin aku tingal disini."

"Nggak pa pa kok, lagian aku juga seneng punya saudara baru kayak kamu, eh iya apa rahasianya sih bisa dapet duit sebanyak itu?"

"Nggak ada rahasia apa apa kok, aku cuma nyanyiin aja lagu-lagu yang aku suka soalnya tiap kali nyanyi lagi favorit aku suka ampe ngehayati banget," ujarku sedikit sok sambil nyengir.

"Hahahahaha atau jangan-jangan kamu pake pelet ya?"

"Hush! enak aja hahahaha." Setelah tertawa bersama, aku langsung heran saat Bayu tiba-tiba memperlihatkan ekspresi datarnya padaku.

"Lho kenapa?" tanyaku.

Beberapa saat terdiam, kulanjutkan kembali omonganku. "Cerita aja ada apa, kamu tau kan aku bisa kamu percayain."

Bayu pun membalas ucapanku. "Sebenarnya sih ada satu hal yang belum kamu tahu."

"Oh ya, apa tuh?" aku semakin dibuat penasaran olehnya.

"Gini, Nindy kelihatannya butuh duit buat tugas praktek ulangan minggu depan. aku masih bingung mending cari duit dimana ya selain ngamen?"

"Nindy butuh berapa emang?"

"Aku denger sih dia butuh tiga ratus ribu, kenapa emang?"

"Mungkin bagusnya untuk sementara ini duit ngamen aku buat kamu aja." Aku mengeluarkan uangku dan menyerahkannya pada Bayu.

"Tapi ...," kalimat Bayu langsung kupotong.

"Nggak pa pa, paling nggak sampai Nindy selesai ulangannya."

"Trus kamu gimana?"

"Aku kan udah bilang aku nggak pa pa, yaaa selama perut masih bisa diisi sih," tukasku mencoba melawak.

"Hahahaha, iya maaf ya kalo sebelumnya aku ngerepotin kamu."

"Halah, udah dibilangin ada juga aku yang ngerepotin kalian disini hahahaha."

Kami bergelak tawa atas obrolan hangat ini. Malam hari ini kami habiskan dengan berbagi canda tawa dibawah langit malam yang bersahabat. Beberapa lagu akustik lembut kami lantunkan menghiasi malam tenang penuh berkah ini. Sadar sudah pukul sepuluh, kuputuskan untuk tidur lebih dulu didekat Nindy sedangkan Bayu masih asik dengan gitar dan kopinya, dalam hatinya Bayu berharap agar hari esok bisa lebih baik lagi.


***

Lima hari telah berlalu, dan seperti hari pertama aku mengamen, kami selalu mendapatkan penghasilan yang menurut Bayu sudah bisa dibilang jauh diatas rata-rata. Semakin banyak pula lagu-lagu yang awalnya tidak diketahui Bayu kini bisa dia lantunkan setelah belajar sedikit padaku.

Namun dua hari sebelum Nindy ulangan, tiba-tiba kami tertimpa masalah. Ya, satu masalah pertama yang kuhadapi disini. Masalah yang aku sendiri tidak mengira akan terjadi seperti ini. Saat Bayu menungguku di Waduk Pluit seperti biasa, tiba-tiba segerombolan preman menghadangnya.

"Heh lu yang biasanya ngamen di Senen kan? sini duit lu!" palak preman itu.

"Tapi duit ini ... ."

"Banyak bacot lu njing!"

Salah satu dari mereka mulai menendang Bayu, dan pengroyokan atas dirinya pun tak bisa dihindari lagi. Walaupun Bayu juga terkenal ahli berkelahi, namun yang namanya 'kalah jumlah' tentu saja akan kalah juga pada akhirnya. Bayu sudah berusaha mati-matian melindungi hasil ngamen kami selama lima hari terakhir, namun pada akhirnya uang itu berhasil direbut juga oleh mereka.

Aku baru datang lima belas menit kemudian, dan ketika aku melihatnya terkapar dan kesulitan berdiri, aku terkejut dan langsung menghampirinya.

"Bay, kamu nggak pa pa?" Aku melingkarkan lengannya ke leherku.

"Iya aku nggak pa pa tapi duit kita dirampok sama anak-anak preman."

"Maaf Bay, harusnya aku dateng lebih cepet. Oke, kita bahas lagi di rumah."

"Lha trus nanti gimana?"

"Pikirinnya nanti aja."

Karena aku lebih khawatir pada kondisi Bayu saat ini kuputuskan untuk pulang saja dulu. Berharap setibanya di rumah aku bisa menemukan ide bagus untuk menutupi kekurangan uang biaya untuk Nindy nanti.

Disappear (The Journey when I Runaway) [ Part : 4 ]



Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh sore. Setelah beberapa kali naik turun bis, kini kami tiba di sebuah pemukiman kumuh yang dipenuhi begitu banyak sampah yang berserakan. Rumah Bayu memang berada di sebuah gang kecil dengan rumah panggung bertingkat di kanan dan kiri. Pemukiman ini pun berdekatan dengan sebuah sungai besar yang sama joroknya dengan waduk tadi.

Setelah beberapa saat melintasi celah-celah sempit di gang itu, akhirnya kami tiba disebuah bilik kecil yang tersembunyi diantara rumah-rumah kumuh lainnya. Sebuah ..., mungkin lebih cocok jika kusebut sebagai ruangan empat kali empat meter yang tidak terlalu sempit, sebuah ruangan kecil yang Bayu sebut rumah ini memang agaknya terlihat memprihatinkan, namun sepertinya masih terasa cukup nyaman.

"Oke kita udah nyampe, maaf ya kalo tempatnya kayak gini," ujar Bayu.

"Nggak pa pa kok, biasa aja kali," balasku. Aku yang memang sudah terbiasa dengan keadaan ruangan yang berantakan, tidak merasa risih dengan tempat ini. Kelihatannya aku akan terbiasa.

Ruangan ini hanya diterangi oleh satu bohlam. Kulihat disana di dekat pojokan, adiknya bayu tengah sibuk mengerjakan PR lalu kemudian beranjak untuk membantu meletakkan tasku.

Aku memang percaya kalau Bayu memiliki adik yang baru masuk kelas satu SMP, tapi aku tidak tahu kalau Bayu bisa memiliki seorang adik yang berparas cukup cantik dengan tubuh yang tak biasa. Wajahnya cantik sempurna mirip artis cilik korea Jo Eun Hyung. Dan tubuhnya juga putih, langsing dan sintal. sangat tak lazim untuk seorang gadis seusianya walaupun memang adiknya ini masih lebih pendek dariku hingga terkesan masih seperti anak SD.

"Selamat datang, kak. Maaf ya kalau keadaannya kayak gini." Gadis kecil yang kini kuketahui bernama Nindy ini menyapaku dengan ramah.

"Hehehehe nggak pa pa kok, maaf ya kalo kedatangan kakak ngeganggu."

"Nggak kok kak, malah Nindy seneng kalo ada tamu," ujarnya ramah.



***

Harus kuakui pula, keadaan disini cukup tenang dimalam hari. Setelah mandi di pancuran belakang yang berada dekat di pinggir sungai, aku membantu Bayu untuk menyiapkan makan malam. Setelah menikmati makan malam sambil menikmati obrolan hangat, seperti biasa Bayu naik keatas atap bersama gitarnya yang lain --yang berukuran lebih besar. Aku sendiri sibuk ngobrol dengan Nindy sembari membatunya mengerjakan PR. Karena semua soal itu mudah untukku, jadi tidak perlu waktu lama bagiku untuk membantunya menyelesaikan PR ini.

"Ngomong-ngomong, Nindy sekolahnya jauh nggak dari sini?"

"Nggak juga sih kak. Lagian soal pulang pergi nggak jadi masalah, soalnya sering berangkat rame-rame."

"Biasanya kalian naik apa?"

"Biasanya jalan kaki 15 menit, atau naik angkot kalo udah berangkat kesiangan."

"Kamu enak ya punya banyak temen yang pengertian, tetangga yang perhatian plus abang yang penyayang." Suaraku kini mulai terdengar dalam.

"Lho emang kakak sendiri gimana?"

Perlahan kukeluarkan semua unek-unekku pada gadis kecil ini. "Nggak anak-anak disekolah, nggak orang-orang dilingkungan terdeket kakak, semuanya nyebelin. Mereka seolah mandang kakak ini sebagai anak rendahan, mama sama papa juga nggak pernah ada yang meratiin kakak. Mereka sibuk sama urusannya masing-masing dan nggak jarang mereka berantem, biasanya karena kebiasaan buruk papa yang suka minum-minum."

"Trus apa yang terjadi sama kakak sekarang?"

"Kakak diusir dari rumah, kakak nggak boleh pulang lagi." Jawaban yang kuberikan masih jawaban bohong yang sama yang kuberikan pada Bayu. Aku terkejut saat kurasakan lembutnya telapak tangan Nindy membelai pelan pipiku. Dingin dan halus.

"Kakak nggak usah sedih, kakak kan udah tinggal disini. Nindy seneng kok punya temen baru."

"Emang sejak kapan kakak diterima disini?" perlahan aku mulai bercanda.

"Yaaa sejak dua jam lalu," jawab Nindy polos.

"Tuh kan udah dua jam aja kita ngobrol, tidur sono ntar kesiangan," cibirku.

Kami berdua tertawa kecil, sebuah suasana hangat yang sama sekali tidak pernah kurasakan dalam hidupku. Kurasakan ada setetes surga mengalir di dalam bilik sederhana ini dan tak henti-hentinya aku bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk merasakan surga itu.


***

Malam semakin larut, langit semakin kelam dengan dihiasi warna kemerahan oleh asap polusi dan lampu-lampu jalan. Nindy sudah tertidur dalam pangkuanku, kubaringkan dia di tikar itu dan kulindungi tubuhnya dari udara dingin dengan jaketku. Merasa belum mengantuk, aku melangkahkan kakiku menaiki atap di mana Bayu tengah asyik melantunkan senandung malam berteman gitar miliknya, menikmati suasana damai ditengah riuh aktifitas perkotaan yang seolah tanpa henti.

"Lagu yang tadi kamu nyanyiin di bis ...," aku mulai mencoba menghangatkan suasana.

"My Heart Is Broken?"

"Iya, btw kamu tau lagu itu darimana?"

"Aku sering dengerin radio punya almarhum bapak," ujarnya padaku.

"Trus kamu latihan gitar make radio itu? chordnya sendiri gimana?"

"Iya, chord mah bukan masalah buat aku soalnya dulu waktu almarhum ortu masih hidup aku udah jago main gitar," tukasnya bangga, membuatku sedikit tersenyum kagum.

Perlahan kami larut dalam suasana tentram ini, sayup-sayup suara mesin kendaraan di ujung sana menghiasi malam cerah nan damai ini. Langit cerah di hiasi bintang-bintang yang kerlap-kerlip yang terhalang oleh awan dan asap polusi semakin menguatkan kesan langit malam khas perkotaan. Tanpa sadar aku mulai mengiringi lagu yang dilantunkan Bayu. Terdengar seperti lagu lawas namun aku masih ingat ketika mama masih suka dengan lagu ini. Lagu Nugie berjudul "Pelukis Malam".






Rembulan senja
Pelan muncul di ufuk barat
Aku,duduk dan hanyut terbuai





Oh bintang,kejora
susul sang angin malam panjang
Aku,diam dan hirup dalam nafas





Dapatkah,aku.., melukis dikau...





Wahai,malam panjang..
Tuntunlah penaku
melukis wajahmu
di dalam kalbu
Wahai malam panjang..
Buailah diriku




***







"Besok mau ikut ngamen nggak?"

"Serius nih, beneran pengen ngajak?"

"Iya kalo kamu bisa main gitar, kamu boleh bawa gitar ini atau kalo males bisa bawa drum kecil dipojok sana."

"Boleh boleh, hari pertama kayaknya bakal seru nih."

"Oke sip deh kalo kamu suka."

"Yoi, ayo lanjut lagi nyanyi-nya."

Disappear (The Journey when I Runaway) [ Part : 3 ]


Setelah turun naik kendaraan umum, ahirnya kami tiba di sebuah waduk besar yang dipenuhi banyak sampah ini. Sembari bersantai sambil menikmati dua bungkus nasi goreng dan dua kantong es teh, kami mulai melanjutkan obrolan di bis tadi walaupun pemandangan yang kami lihat ini sebenarnya tidak begitu memanjakan mata.

"Eh iya, kamu emang asalnya dari mana?" Aku memulai obrolan ini.

"Aku dari Kediri Jawa Timur."

"Wow jauh juga ya, gimana ceritanya waktu itu kamu bisa sampe ke Jakarta?"

"Ceritanya panjang, aku juga bingung harus mulai darimana." anak ini menunduk, menyembunyikan ekspresinya yang kelihatan sedang sedih.

"Eh masih jam empat kurang sepuluh nih, masih banyak waktu buat kita, coba cerita mulai dari pas kamu pindah ke Jakarta."

Anak ini pun melanjutkan ucapannya. "He he he iya deh, sebenernya aku, ibu, bapak sama adek pindah ke Jakarta karena waktu itu bapak diterima kerja di salah satu perusahaan besar disana. Rumah gede, mobil bagus dua unit, barang-barang mahal, semuanya bisa dibeli dengan gampang waktu itu. dan Alhamdulillah, bapak dan ibu orangnya baik dan nggak sombong. Jadinya semua warga di kompleks kami pada baik semua ke kami."

"Terus apa yang terjadi?" tanyaku yang mulai tertarik.

"Semua berubah pas bapak di-PHK gara-gara perusahaannya bangkrut. Waktu itu bosnya bapak ditipu sama orang. Terpaksa kami jual barang-barang kami untuk sementara sampai bapak dapet kerjaan baru, atau seenggaknya dapet bisnis baru. Tapi tau-tau bapak jatuh sakit dan dua bulan kemudian bapak meninggal."

Sembari menenggak es teh kantongnya, dia masih melanjutkan ceritanya. "Nggak cukup sampai disitu. Pas sehari sesudah bapak meninggal, kompleks kami digusur tanpa pemberitahuan sama POL PP. Terpaksa semua warga disitu mencar keluar kompleks nggak tau pada kemana. Waktu itu juga ibu sempat dipukul sama salah satu POL PP sampai akhirnya ibu sakit. Akhirnya kami pindah ke pemukiman kumuh trus bikin rumah kecil dari barang-barang seadanya."

Sedikit terisak saat kulihat anak ini menghela napasnya, sepertinya masa lalu itu membuatnya sedih dan aku mulai merasa bersalah membuatnya teringat kembali semua itu.

Dia pun melanjutkan ceritanya. "Aku juga terpaksa berhenti sekolah sementara sampai ibu sembuh. Tapi ternyata ibu makin parah trus akhirnya meninggal juga. Yang tersisa tinggal aku sama adek di rumah, biarin deh aku putus sekolah trus ngamen yang penting adek aku bisa tetap sekolah. Apalagi adek sekarang baru aja diterima di SMP favorit dan dapet beasiswa karena prestasinya bagus semua, lagian semua tetangga juga mau bantu kami." tanpa sengaja aku melihat matanya mulai meneteskan air mata.

"Kamu beruntung ya, disaat seperti ini masih banyak orang-orang diluar sana yang mau bantuin kamu, nggak kayak aku." perlahan wajahku ikut tertunduk.

"Lho emang kamu kenapa, trus gimana ceritanya bisa sampai kesini?"

Ingin sekali kukatakan padanya kalau aku kabur dari rumah karena kesal dengan kehidupanku yang selalu berantakan. Tidak, aku malah berbohong pada pengamen ini.

"Aku diusir sama mama dan papa." aku berujar dengan ekspresi datar.

"Lho kok gitu?"

"Iya, sejak kecil mama sama papa emang suka bertengkar bahkan cuma gara-gara hal sepele. Trus sejak papa di-PHK, papa sering ngabisin duit hasil bisnisnya buat mabuk-mabukan. Karena papa udah nggak peduli lagi, makanya sekarang mama ikut kerja jadi sekretaris. Mama beda sama papa, duit hasil kerja mama bisa buat beli mobil sendiri, keperluan sekolah sama keperluan sehari-hari. Kalo papa ya ..., kalo nggak mabok pasti buat judi."

Pengamen ini menatapku dengan serius, sepertinya dia tertarik dengan ceritaku, seperti aku yang tertarik dengan ceritanya tadi.

"Pertengkaran mereka udah jadi hal biasa buat aku, kecuali adek aku yang masih balita. Tiap hari ngeliat mereka berantem selalu aja adek aku nangis, dan ujung-ujungnya aku harus nidurin dia dikamar aku sendiri. Aku juga udah sering nasehatin papa untuk nggak mabok dan nggak jarang juga pipi aku ditaboknya. Sekarang akhirnya aku diusir dari rumah." ujarku dengan menyisipkan kata 'diusir dari rumah'.

"Trus mama kamu?"

"Yaaa, mama juga nggak rela sih sebenernya tapi ya mau gimana lagi kalo papa aja udah nggak mau nerima aku."


***

Sesaat kami terdiam, kami menyadari kalau nasib kami sama walaupun kisah kami berbeda, sekalipun aku sudah berbohong. Tatapan kami kosong saat memandang bendungan air yang sudah tercemar oleh banyaknya sampah dan eceng gondok di sana-sini. Kudengar pemukiman ini akan segera digusur untuk proses perawatan waduk dan proyek pembangunan taman.

Perlahan mata kami terpejam, menikmati segarnya hembusan angin sepoy-sepoy yang menjalar perlahan di leher dan tengkuk kami, suasana yang menenangkan dan mendamaikan jiwa ditengah wilayah yang baunya menusuk hidung.

Tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Pengamen ini kemudian membangunkanku yang sempat terhipnotis oleh damainya suasana yang sayup-sayup ini.

"Kamu mau ikut kerumah aku?"

"Eh nggak pa pa nih?" Aku terkejut mendengar tawarannya.

"Iya, diusir dari rumah pasti bikin kamu bingung mau tinggal dimana, mending kamu ke rumah aku aja."

"Eh iya deh kalo boleh nginep, tapi nggak lama kok. Satu hari aja cukup, paling lama dua hari."

"Udah lah, kamu boleh tinggal selamanya," ujarnya dengan suara serak karena habis menangis. Aku terharu melihat pengamen baik ini yang masih mau menolong orang sepertiku disaat kondisinya sendiri sedang tidak memungkinkan

"Makasih banyak." Tak terasa air mataku ikut berlinang melihat air mata pengamen ini yang mulai mengering.

"Bayu ... " pengamen ini menjulurkan tangannya mengajakku bersalaman. Aku membalasnya dengan senyum dan tatapan berkaca-kaca.

"Indra".

Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

  • Copyright © 2016 Template By : San-San | Powered By : Blogger