Sesaat aku mengatur nafas setelah melihat pojok koran itu, aku berusaha menenangkan diri apalagi di hadapan Nindy. Aku mulai berujar dengan diiringi senyum simpul bibirku.
"Jadi, Nindy ngira kakak bakalan ninggalin kalian?"
"Cuma khawatir aja, Nindy takut nggak bisa ketemu kakak lagi." bibir merengut yang imut itu membuatku semakin gemas dan dengan jahil aku memolesnya dengan sendok yang berlumur kecap.
"Khawatir ya khawatir, tapi bibir Nindy jangan dimanyunin gitu dong. nih isep dulu nih kecap."
"Ih apa sih, kakak jail ah," ujarnya sedikit tertawa.
"Hahahahaha biarin," ujarku yang makin menjahilinya.
Canda tawa menghiasi suasana di dapur hingga kami selesai memasak. Bahkan hingga kami selesai makan malam, suasana hangat ini masih menyelimuti keluarga baruku ini. Tiba pukul delapan malam, seperti biasa Nindy kembali ke aktivitas belajarnya dan Bayu kembali duduk di atas atap. Saat aku menaiki atap itu, aku disambut oleh satu pertanyaan dari Bayu.
"Ndra, kamu yakin nggak mau pulang lagi ke rumah orang tua kamu?"
"Sebenarnya aku bukan tipe orang yang terlalu gampang untuk jilat ludah sendiri. Papa sama mama udah ngusir aku dari rumah, dan aku yakin mereka juga nggak pernah ngarepin kelahiran aku. Jadi jangan harap aku bakal balik lagi kerumah sekalipun itu berarti aku bakalan mati di kota ini."
"Aku sama sekali nggak ngelarang kalau kamu mulai berpikir untuk pulang. Lagipula kenapa kamu nggak ceritain aja keluhan kamu sama mama dan papa kamu?" tanya Bayu.
"Supaya mereka bisa cambuk punggung aku karena dianggap sok menasehati orang tua?" sanggahku.
"Supaya mereka ngerti kenapa kamu sampai nekat ninggalin mereka."
Mendengar ucapan itu membuatku tertunduk, sebenarnya dalam hati kecilku aku ingin punya keluarga bahagiaku sendiri. Namun jika Tuhan tidak mau menganugerahkan itu maka aku sendirilah yang akan mencarinya, dan jika tidak bisa kutemui maka akan kuciptakan keluarga bahagia untuk diriku sendiri.
"Ndra, nyimpen rahasia bukan sesuatu yang baik untuk kesehatan. Dan yang aku bicarain ini bukan cuma soal kepergian kamu dari rumah. Akhir-akhir ini kamu sering pergi pagi pulang malem dan waktu itu kamu pergi malem berangkat subuh tanpa bawa gitar untuk ngamen, boleh aku tanya kamu pergi kemana waktu itu? dan darimana kamu dapet duit itu?"
Mendengar pertanyaan itu aku tertunduk dan kembali turun kebawah untuk tidur.
"Selamat malam Bayu." uncapanku membuat mata Bayu terlihat sayu.
***
Akhirnya Bayu telah sembuh dan bisa beraktivitas kembali seperti sediakala. Aku dan Nindy sangat senang melihatnya. Dan karena Bayu sudah bisa bergerak bebas maka hari ini seperti waktu itu kami kembali mengamen seperti biasa.
Walaupun sebenarnya bagiku mencopet itu lebih seru dan hasilnya lebih banyak, namun aku hanya mau mencopet jika dalam keadaan terdesak seperti saat Bayu sakit atau saat Nindy butuh uang untuk sekolah. Dan jika masalah-masalah tersebut sudah berlalu, maka kami mengamen kembali seperti biasanya.
Seperti biasa pula, hasil yang kudapat masih dalam kategori 'banyak'.
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul setengah satu siang, sekarang waktunya untuk menikmati makan siang di warung makan langgananku. Apalagi dari tadi aku kesulitan bernyanyi karena perut keroncongan minta diisi.
Namun saat aku akan menikmati makan siangku di warung makan, tiba-tiba warung ini kedatangan tamu tak diundang. Sekelompok preman dengan membawa celurit tengah memalak si pemilik warung makan. Tak tanggung-tanggung, semua pengunjung juga ikut dipalak hingga tinggal satu orang yang belum dipalak yaitu aku. Salah satu preman itu menunjuk kearahku pada teman-temannya lalu kemudian mereka menghampiriku.
"Heeh mana sini setoran!" bentak salah satu dari mereka.
"Kalo gua nggak mau, lu mau apa?" tantangku.
"Bangsat cari mati nih bocah!"
Tidak heran kalau aku mulai berani dengan mereka, karena mereka masih preman-preman yang sama dengan yang waktu itu sempat mengejarku.
Mereka menyeretku ketengah jalan dan kembali mengeroyokku. Masih ada satu batang linggis di balik bajuku, aku pun mencoba melawan sebisaku. Tubuhku babak belur di tangan mereka yang mengeroyokiku.
Belum cukup sampai disitu, jumlah mereka yang muncul untuk mengeroyokku semakin banyak dan memenuhi jalanan ini. Para pengguna jalan terpaksa menyingkir bahkan memilih berbelok ke jalur yang lebih aman karena takut dengan kelompok preman-preman ini. Jumlah mereka ada sekitar lima puluhan dan mulai memojokkanku.
***
Sadar aku kalah jumlah, aku mulai putus asa. Darah segar mengalir dari tiap-tiap luka lebam dan robek di tubuhku. Dan ketika aku pikir sudah siap untuk mati ... .
... sesuatu terjadi.
Sekelompok preman lainnya datang dan menghabisi mereka dengan membabibuta. Perang antar dua kelompok preman pun terjadi dan suasana di jalan ini mulai terlihat seperti perang antar kerajaan.
Melihatku terkapar di trotoar, salah satu anggota dari kelompok preman yang baru datang pun menyeretku ke sebuah gang dan menghindar dari peperangan ini, sebelum akhirnya sekelompok polisi datang bersama pasukan anti huru-hara. Seisi jalan kocar-kacir mencoba melarikan diri termasuk pula kami berdua.
"Kamu masih bisa jalan?" preman yang ternyata sebaya denganku ini memeriksa luka ditubuhku.
"Iya, nggak pa pa ini cuma luka sayatan," ujarku. Padahal luka-luka robek dan lebamku terlalu banyak untuk dibilang 'sayatan'.
"Kalau begitu hayo ikut aku!" Preman ini menyerahkan sebatang linggis padaku. Ah iya sekarang aku ingat, dia orang sama yang waktu itu sempat kutolong.
Kini kami berlari ke celah-celah sempit di antara tempat-tempat usaha pinggir jalan untuk menghindar. Menghindar dari mereka yang ingin menghabisiku, juga dari polisi yang mencoba menangkap kami. Ternyata sama sepertiku, anak ini jago dalam hal 'parkour' --atau apalah sebutannya.
Setelah beberapa menit berlari dan setelah dirasa cukup aman, kami berhenti sebentar di belakang sebuah apotik rumahan. Anak itu membeli beberapa perban dan obat merah untukku. Kutatap wajah anak ini ketika dia masih sibuk membalut luka ditubuhku.
"Makasih udah nyelamatin nyawaku, kukira aku bakalan mati."
"Anggep aja bales budi karena udah nyelametin aku waktu itu," ujarnya. Aku tertawa lepas saat mengetahui kalau dia adalah anak yang ramah, sebab saat dia meninggalkanku waktu itu kukira dia anak yang sombong.
"Hey, maaf aku lupa balikan linggismu waktu itu."
"Nggak pa pa, sekarang udah aku pegang." ujarku sambil menunjukkan dua linggis di dalam jaketku.
"Mau ikut aku? kita cari tempat aman, terlalu bahaya disini karena banyak polisi ditambah lagi ini bukan wilayah kelompokku."
"Kelompokmu?"
"Nanti aku jelasin kalo kamu mau ikut aku, hayo."
Bersama, kami menjauh dari tempat ini dan mencari tempat untuk beristirahat dan mengobrol bersama. Aku bersyukur karena masih bisa hidup setelah orang ini menyelamatkanku. Apalagi kelihatannya orang ini cukup baik bagiku.