Setelah berjalan jauh, kini kami tiba disebuah wilayah Pantai Ancol Jakarta. Sambil menikmati pemandangan laut yang mempesona dan hembusan angin laut yang tenang sembari ditemani dua botol minuman, dia kembali melanjutkan obrolan tadi selama beberapa menit setelah terputus beberapa saat.
"Jadi kamu kabur dari rumah karena bosan sama hidup kamu yang itu-itu doang?"
"Ya aku tahu, aneh ya memang mengingat umur aku yang masih segini"
"Nggak pa pa, malah menurut aku emang itu pilihan yang bagus daripada kelamaan tinggal ditempat yang nggak bisa ngasih keceriaan gitu, nggak ada istilahnya batasan umur untuk mencoba berpetualang melawan dunia"
"Yang bener?"
"Dan nggak ada gunanya megang bara api pake tangan kosong selama sepuluh menit kalo emang tangan kamu gampang kebakar, begitu juga tempat tinggal. Nggak ada gunanya tinggal bersama keluarga cukup lama kalo keluarga itu sendiri nggak bisa kasih kebahagiaan"
"Emang kamu juga kabur dari rumah?"
"Hampir mirip kayak kamu. Sendirian ninggalin nenek aku satu-satunya untuk dateng ke Jakarta demi naklukin apapun sampai akhirnya aku dapet kabar kalo nenek aku meninggal. Seisi kampung sekarang udah buang aku dan ngelarang aku untuk kembali karena pekerjaan aku yang sekarang, tapi sekarang aku udah dapet tempat untuk berkuasa disini jadi aku nggak perlu balik lagi ke kampung"
"Emang kamu kerja apa?"
"Aku kerja untuk seorang pengusaha bernama Pak Torro"
"Kalau kamu kerja untuk pengusaha lalu kenapa kamu waktu itu berpakaian kayak gelandangan?"
"Aku dikasih tugas untuk ngirim paket ke wilayah tempat kamu nyelametin aku waktu itu. Aku pakai pakaian gelandangan biar bisa membaur sama lingkungan disana yang sebagian besar kumuh. Aku juga dateng sendirian biar nggak ada dari mereka yang tahu identitas asli aku"
"Paket macam apa emangnya"
"Nggak tau, aku juga nggak dapet informasi apa apa sama atasan aku. Yang aku tahu aku cuma disuruh nganter paket itu ke tujuan yang letaknya ada diwilayah musuh"
"Pernah nggak kepikiran kalau isi paket itu adalah sesuatu yang berbahaya"
"Bukan pernah lagi, sering malah. Kadang aku berpikir kalau isinya narkoba, atau amunisi, atau malah nuklir"
"Kalau isinya nuklir mah pasti Jakarta udah dari dulu jadi Chernobyl kedua"
"Hahahahaha"
Kutatap ujung laut dikaki langit itu. Pemandangan berwarna biru tua yang indah dibawah warna biru muda yang berhiaskan kepulan warna putih yang mereka sebut awan. Sungguh pemandangan pinggir laut yang mempesona dan memanjakan mata. Disekelilingku terlihat pasangan muda-mudi tengah asyik berpelukan dan memadu kasih, anak-anak berlalu lalang didekat kami membawa balon dan es krim. Suasana damai persis seperti yang kualami saat pertama kali bertemu dengan Bayu.
"Eh mau ikut ketempat aku? siapa tau kamu tertarik"
"Mungkin lain kali aja, soalnya aku harus balik lagi ngamen, mana gitar aku tinggalin lagi di warteg tadi pas mereka datang ngeroyok"
"Ini masih jam setengah tiga lho. Masih ada waktu untuk kita jalan-jalan lagi. Soal gitar ntar aku bantu ambil deh malem nanti pas kamu mau pulang"
"Hmmm boleh deh, tapi tempat kamu diwilayah mana emang?"
"Pantai Indah Kapuk, nggak jauh kok dari sini"
"Yaudah, dan sekali lagi makasihnya. Perbannya, jalan-jalannya, minumannya, wah aku berutang banyak sama kamu" mendengar ucapanku yang bersahabat, dia menawarkan jabat tangan denganku.
"Imam" aku membalas jabatannya dengan senyuman
"Indra"
Kami menaiki bis menuju wilayah Pantai Indah Kapuk. Tempat dimana Imam tinggal bersama rekan-rekannya sesama 'preman berdasi'. Tiba di tujuan kami langsung memasuki sebuah rumah besar yang berandanya dijaga oleh beberapa orang berdasi. Aku sempat ketakutan melihat orang-orang itu karena kulihat disana ada beberapa unit AK-47.
"Jangan khawatir, mereka cuma penjaga gerbang"
"Tapi kok malah pake AK-47 segala, emang mau perang"
"Udah ikutin aja, ntar juga lama-lama kamu ngerti sendiri"
Interior rumah ini sangat mewah, barang-barang bernilai seni tinggi dan segala perabotan mahal berjejer rapi di tiap-tiap sudutnya. Sebuah mini bar yang sedang ramai saat ini terlihat berada disisi kanan rumah itu. Tak tanggung-tanggung belasan pria berjas dan berdasi hitam berdiri tegap disegala tempat diruangan itu. Kini kami menaiki sebuah tangga dan memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu memiliki sebuah meja besar berbentuk oval dan diduduki oleh sekitar sepuluh orang berpakaian seperti pria berjas yang tadi bedanya ada yang jasnya berwarna abu-abu, merah, cokelat, dan satu orang diujung meja itu berpakaian jas merah dengan bunga kecil didadanya tengah asyik menghisap cerutu. Aku pernah dengar seorang bernama Don Corleone dan kelihatannya orang ini mirip.
"Jadi Imam, siapa anak muda ini?"
"Ini Pak, dia anak yang waktu itu sudah menyelamatkan nyawa saya"
"Silahkan duduk nak" seorang pria berjas abu-abu menawariku kursi dan segelas bir. Aku dan Imam duduk sambil menikmati bir ditangan kami.
"Jadi, anda yang bernama Indra Alamsyah ya, saya dengar anda dicari-cari oleh pihak kepolisian sebagai orang hilang"
"Benar pak, saya tidak peduli lagi pada hidup saya yang dulu karena sekarang saya sudah punya kehidupan baru yang lebih menantang disini"
"Saya suka semangat kamu. Kamu lihat, disini kami semua sangat menjaga dan selalu saling mendukung dalam tugas. Disini kami berprinsip bahwa semua anak buah kami adalah anak kami sendiri. Kami juga memberikan semua yang diperlukan anak-anak kami dan tidak ada yang tidak terpenuhi. Contohnya Imam, walaupun dia sempat diusir dari kampung halamannya namun sekarang dia sudah jadi orang terhormat di provinsi penuh peluang ini. Kami juga tidak sungkan-sungkan untuk menerima anak baru yang ingin bergabung bersama kami, segala bentuk kenyamanan dan keamanan akan selalu tersedia disini selama anak-anak kami mau melakukan segala misi yang kami berikan"
"Kami juga sedang membutuhkan orang dengan bakat berkelahi dan melarikan diri yang sangat luar biasa seperti kamu. Kamu bisa gunakan bakat kamu dan juga memperasahnya disini jika kamu mau"
"Jadi ... nak Indra, Imam sudah menawarkan kami untuk menerima nak Indra dalam organisasi ini. Dan setelah kami periksa arsip-arsip anda kami sepakat untuk mengundang anda untuk bergabung bersama kami"
"Jadi anak muda bagaimana, mau bergabung bersama kami"
Si penghisap cerutu itu bernama Pak Torro, si jas abu-abu itu bernama Pak Ivan, dan aku merasa kenal dengan yang berjas merah dan selebihnya aku masih belum kenal. Karena Imam yang sudah mengundangku dan kelihatannya ini cukup menghasilkan, maka aku anggukkan kepala tanda setuju. Para pria terhormat dimeja ini berdiri bersamaan dan mengangkat gelas-gelas bir mereka.
"Selamat datang di 'Perusahaan Gagak Hitam'" Pak Torro berujar dengan lantang
"Mari bersulang untuk anak kita yang baru, Indra Alamsyah" Pak Ivan juga ikut berujar, kami diruangan itu kini menikmati bir bersama.