Pukul sembilan pagi.
Setelah beberapa saat beristirahat, Aku kembali keluar rumah. Awalnya seperti janjiku pada Bayu yang saat ini tengah tertidur pulas, aku akan pergi mengamen. Namun begitu keluar dari pintu rumah, aku mengubah niatku yang semula untuk mengamen malah berniat untuk mencopet lagi.
Naik bis dan kereta dengan gaya tenang di balik jaket gelap ini, lalu keluar dengan membawa banyak kantong-kantong tebal. Setelah kubuang kantong-kantong itu di tempat pembuangan sampah dan mengumpulkan isinya, aku mencoba mencari warung makan untuk sekedar beristirahat sambil mengisi perut.
Saat sedang menikmati santapan, kulihat di luar sana tepatnya di sebuah gang kecil, ada beberapa preman tengah membully seseorang. Terlihat di sana, dia berusaha mati-matian membalas preman itu namun karena kalah jumlah, balasan serangannya seolah olah tidak berarti apa-apa. Piring nasiku yang sudah habis hanya menyisakan dua keping tempe goreng, sambil menonton pengroyokan itu aku masih menggigit tempeku. Hingga tiba-tiba para preman itu menatapku. Aku terkejut hingga tempe dimulutku menyembur.
Mereka para preman yang semalam.
"Woe, lo yang semalem itu kan?" teriak salah satu dari mereka kearahku.
Kepalangan sudah tertangkap basah, kudekati mereka sambil mengeluarkan dua batang linggis di balik lengan jaketku. Perkelahian pun dimulai lagi, celurit-celurit itu tidak berarti apapun di hadapan dua batang linggisku.
Tujuh lawan satu dan sejauh ini aku hanya menerima beberapa sayatan dalam yang menggores dagingku cukup dalam. Hingga lambat laun aku mulai terpojok karena kalah jumlah dan mulai kelelahan. Kudekati si gelandangan yang terkapar itu. Dan kulemparkan salah satu linggisku padanya.
"Bangun, kita hadepin mereka bareng-bareng."
Merasa tidak ada pilihan lain, orang itu mengambil linggisku. Kami mati-matian menghajar preman-preman itu dengan asyiknya. Akhirnya para preman itu memutuskan untuk mundur karena banyak dari mereka yang kepalanya bocor dan retak di tangan kami.
"Kita berhasil" ujarku pada orang itu. Padahal sebenarnya aku berniat untuk tos padanya namun dia malah lebih dulu lari, ditambah lagi salah satu linggisku di bawanya kabur.
***
Sudah pukul dua siang, aku melangkah di trotoar di tengah siang yang terik dan suasana jalan raya yang selalu macet. Aku tersentak saat melihat sebuah kertas yang tertempel di tiang listrik. Tulisan itu membuatku terperanjat.
DICARI ORANG HILANG
"Indra Alamsyah"
Bagi yang pernah melihat harap hub :
0823-7971-6822
Aku tahu persis kalau wajah di foto itu adalah wajahku. Sial, orang tuaku sudah mulai mencari keberadaanku ternyata.
Buru-buru kucabut kertas itu dan membuangnya ke selokan sebelum kulanjutkan kembali langkah kaki ini. Menyusuri tiap-tiap trotoar sembari menikmati pemandangan perkotaan, yang selalu penuh oleh caci maki dan umpatan para pengguna jalan yang sumringah karena kemacetan.
Ada beberapa pengemis di dekatku tengah sibuk meminta-minta para pengguna jalan, pengamen yang sibuk bernyanyi di dekat tiap-tiap mobil, juga para gelandangan jalan raya yang masih sibuk beraksi di antara padatnya kendaraan.
Tiba-tiba kesibukan mereka terusik oleh munculnya POL PP yang tengah mengadakan razia gelandangan dadakan. Melihat para pria tegap dengan seragam cokelat itu tengah berlari kearah mereka, spontan mereka kocar-kacir menyelamatkan diri. Ada beberapa anak yang tertangkap, ada pula beberapa orang jompo yang menjerit dan berontak saat diringkus lalu kemudian berhasil lolos. Seisi pengguna jalan tertawa melihatnya seakan ini menjadi tontonan tersendiri bagi mereka.
"Gimana menurut lu? menurut gua kayaknya itu dia orangnya."
"Iya, ciri-cirinya mirip sama yang pernah diumumin waktu itu."
Dua orang POL PP berbisik-bisik sambil menatapku. Sadar sedang diincar, aku berusaha berjalan dengan tenang dan menutup kepalaku dengan tudung jaketku. Saat kudengar langkah kaki mereka terdengar mulai mendekat kearahku, aku langsung masuk kedalam sebuah gang kecil didekat jalan itu.
"Heeh, berhenti!"
Inilah saatnya.
Aku mulai berlari secepat kilat dan melompati pagar kayu tinggi itu. Aku bisa dengan mudah melewati segala rintangan, dan dua polisi itu tidak bisa mengejarku.
Namun jumlah POL PP yang tengah mengadakan razia terhitung terlalu banyak, ditambah lagi mereka semua tersebar disetiap jalan dan gang. Membuatku semakin kesulitan mencari celah untuk meloloskan diri. Walaupun 'gerakan parkour'ku tetap membuatku semakin leluasa untuk menjauh.
Karena kusadari kalau mereka adalah POL PP, maka kuputuskan untuk berlari saja dan tidak menyerang mereka. Aku khawatir mereka akan menembakku. Setelah beberapa lama melompat kesana kemari akhirnya aku berhasil menghilangkan jejakku di bantaran sungai yang kotor dan dipenuhi sampah plastik. Aku berhasil kabur.
***
Malam hari telah tiba, dan setelah beberapa saat berjalan kini aku tiba dirumah. Aku senang karena kondisi Bayu sudah mulai membaik, meskipun gerakannya masih terbatas. Kuputuskan bahwa aku sendiri saja yang memasak makan malam. Dan untung saja saat itu Nindy sudah pulang, sehingga aku lebih tertolong. Sambil sibuk memasak, Nindy memulai obrolan kami didapur.
"Kak, sebenarnya kakak betah nggak disini?"
"Kok kamu nanya gitu, ya pasti kakak betah lah."
"Kakak yakin bener-bener sanggup tinggal disini walaupun orang tua kakak udah mulai kangen?"
"Kok kamu nanya gitu, mereka udah ngusir kakak. Mana mungkin mereka berharap kakak pulang?" aku mulai curiga dengan kearah mana obrolan ini akan berjalan.
"Nindy khawatir aja kalo kakak berubah pikiran terus mutusin untuk balik lagi kerumah. Nindy sebenarnya nggak melarang. Lagian itu udah hak kakak untuk balik lagi kerumah, Nindy cuma takut nggak bisa ketemu kakak lagi. Nindy belum pernah punya temen sebaik kakak." Tatapannya terlihat sendu kearah mataku.
"Terus abangnya Nindy?"
"Yaaa Nindy tau kalo Bang Bayu suka pergi pagi pulang malem cuma buat nyari duit, makanya Nindy takut ngeganggu istirahatnya dia, jadinya Nindy canggung kalo mau ngobrol sama abang kecuali kalo abang duluan yang ngajak ngobrol."
"Nindy nggak usah takut, kakak bakal terus disini buat Nindy, kakak janji deh." Kuusap-usap rambut hitam panjang yang sedikit melewati bahu itu.
"Okey, makasih ya kak."
Sesaat aku terdiam hingga kurasakan ada yang benar-benar ganjil dalam obrolan ini. "Nindy kok khawatir gitu, kenapa emang?"
"Temen Nindy beli koran terus Nindy baca ini."
Mendadak jantungku serasa mau lepas saat kubaca kolom besar dipojok koran itu. Informasi orang hilang persis seperti yang kulihat dijalan tadi siang.