Tiba di rumah, Nindy menyambut kami dengan ekspresi terkejut melihat kakaknya pulang bersamaku dalam keadaan babak belur. Buru-buru dia ke belakang mengambil air dan handuk kecil untuk membersihkan luka kakaknya itu.
"Abang kenapa kak?" Nindy menanyaiku ketika aku masih ikut mencoba membersihkan lukanya.
"Nggak tau juga, siapa yang udah ngeroyok kamu Bay?"
"Anak-anak sekitar situ Ndra, mereka tahu kalau aku baru pulang dari ngamen jadi mereka langsung ngeroyok aja. Udah nggak pa pa yang penting kita cari tahu dulu berapa banyak yang diambil," ujarnya dengan suara serak menahan sakit.
Saat Bayu memeriksa isi kantongnya ternyata yang tersisa hanya tinggal sepertiga dan selebihnya sudah terlanjur dibawa lari para preman itu.
"Tingal dikit yangt kesisa, selebihnya gimana nih?" Bayu menghela nafas kecewa melihat sisa uang yang tertinggal.
"Aku masih ada sisa hasil tadi, mending kamu pake aja dulu Bay."
"Yakin nggak pa pa?"
"Udah pake aja dulu, kan kamu sendiri yang bilang kalo urusan sekolah Nindy lebih utama."
"Nanti ngerepotin kakak lagi." Nindy menimpali Bayu karena merasa tidak enak denganku.
"Kalaupun pake duit kamu, sisa selebihnya dapet dari mana?"
Benar juga apa kata Bayu, masih belum cukup untuk mencukupi biaya yang dibutuhkan Nindy. Setelah berpikir sesaat kuputuskan untuk pergi keluar rumah, Melihatku pergi begitu saja Bayu dan Nindy terheran-heran.
"Kak Indra mau kemana?" mendengar Nindy, aku hanya menjawab sambil tersenyum.
"Bentar doang kok."
***
Setelah lima hari aku sudah biasa naik turun bis, keluar masuk angkot, menjelajahi setiap stasiun dan gerbong kereta bersama Bayu. Kini aku sudah berani pergi sendiri mengitari seisi Jakarta ini.
Aku pun sudah semakin mengenal keadaan-keadaan yang terjadi di sekitarku karena memang mengamen bukanlah sesuatu yang mudah sekalipun terkadang hasilnya bisa cukup bagus. Selain harus bertempur melawan waktu juga ada banyak pengganggu diluar sana yang siap dua puluh empat jam untuk merampas hasil jerih payah yang sudah dikumpulkan. Mulai dari preman dan pemalak, penjambret yang tiba-tiba lewat, POL PP yang selalu berkeliling mengincar para gelandangan dan pengamen jalanan, yang pasti aku sudah paham bahwa di Jakarta semua kemungkinan selalu bisa terjadi kapan saja dan dimana saja.
Namun yang pasti kali ini aku naik kereta bukan untuk mengamen.
Oke, saat ini aku berada di stasiun dengan suasana malamnya yang sunyi. Setelah tiba di dalam sebuah kereta malam, kulihat keadaan sekelilingku. Padat namun senyap. Orang-orang ini kebanyakan adalah pegawai yang baru pulang dari kantor mereka masing-masing.
Kulihat wajah mereka semua sudah mulai sayu dan kebanyakan diantara mereka sudah tertidur baik di kursi maupun yang berdiri dengan bertumpu pada tiang besi. Beberapa saat menatap mereka, kulihat salah satu bokong milik seorang pegawai berperut tambun terlihat menyembul. Dompet itu terlihat tebal, batinku berusaha berontak lagi namun keadaan dirumah yang tengah terdesak memaksa instingku untuk bertindak gila.
Seperti yang kulakukan saat pertama kali kabur dari rumah, kucoba mencabut dompet itu dan langsung pergi ke gerbong lain yang lebih jauh. Aku cukup beruntung karena saat ini aku mengenakan jaket tebal gelap dan topi berwarna hitam sehingga tidak akan ada disini yang mengenaliku.
Bukan cuma satu atau dua korban, tapi hingga tujuh korban sekaligus dari kereta ke kereta.
Setelah tiba kembali ke Stasiun Cawang, kuputuskan untuk turun dari kereta dan langsung pulang.
Keadaan masih cukup lenggang ketika kulihat ada empat orang berpakaian berandalan tengah terduduk di pojok stasiun sambil menatap tajam kearahku. Kutatap sesaat mereka dan terlihatlah masing-masing tangan mereka menggenggam celurit dan mulai berjalan kearahku. Sadar mereka mengincarku aku mulai berlari namun mereka mulai mengejarku. Aksi lari-larian ala atlet parkour pun dimulai.
***
Para berandal ini semakin gencar mengejarku dan gerakanku juga begitu lincah meloncat kesana kemari melintasi tiap jembatan dan halte. Aku terkejut dibuatnya. Aku mungkin memang cukup ahli dalam pelajaran olahraga saat masih bersekolah dulu, tapi sejak kapan aku jadi selincah ini padahal aku tidak pernah belajar parkour sebelumnya. Apa ini karena aku sudah mulai membaur dengan kehidupan Jakarta yang terkenal keras dan brutal?
Aku masih berlari meloncat dari tangga ke tangga hingga aku tiba di sebuah gang kecil di wilayah Jalan Hayam Wuruk. Saat aku mengira kalau para berandalan itu sudah cukup jauh, ternyata mereka tinggal semeter sebelum akhirnya celurit mereka menyayat punggungku.
Aku sudah tidak bisa lari lagi, jadi kuputuskan untuk mencoba melawan mereka disini. Bermodal sebilah linggis yang sempat kupungut di pembatas jalan, aku mulai menghajar mereka. Setelah asyik berkelahi selama satu jam penuh, mereka akhirnya terkapar berlumuran darah tanpa bergerak sedikitpun, namun masih bisa bernafas sementara aku menerima tiga sayatan celurit di punggungku.
Saat aku menjauh dari empat berandalan itu yang tengah mengatur nafas, ternyata muncul lagi tiga berandalan lainnya yang tak lain adalah teman dari berandalan sebelumnya. Melihat empat temannya itu terkapar di tanganku, mereka mulai mengincarku.
"Berenti lo bangsat, cari mampus lo diwilayah sini?" teriak mereka sembari menunjuk kearahku.
Mendengar makian mereka, jantungku gelagapan dan kuputuskan untuk berlari kembali. Kembali meloncati tiap pagar dan palang, menyusup di tiap-tiap celah dan gorong-gorong. Aku cukup beruntung karena kali ini yang mengejarku lebih lambat dariku. Hingga setengah jam kemudian aku berhasil menghilangkan jejak disebuah pemukiman sempit di bawah got besar yang mengarah langsung ke sungai ciliwung. Aku tidak perduli walaupun lenganku memar dan tiga sayatan terlihat di punggunggku. Masih hidup saja aku sudah sangat bersyukur.
Karena kurasa malam mulai semakin dingin yang artinya sudah mendekati waktu subuh, kuputuskan untuk mencari minimarket dan apotik dua puluh empat jam yang mungkin masih buka. Setelah puas membeli beberapa yang kupikir mungkin akan diperlukan, dan karena uangku masih cukup banyak, maka kuputuskan untuk langsung pulang karena khawatir akan membuat Bayu dan Nindy menungguku terlalu lama.
***
Setibanya di rumah, Bayu dan Nindy menyambutku dengan perasaan khawatir terjadi sesuatu padaku karena pergi terlalu lama.
"Kakak dari mana aja? ini udah jam lima subuh Nindy takut kak," pelas Nindy.
"Udah lah, Nindy nggak usah khawatir. Kakak baik-baik aja kok. Oh iya nih kakak udah dapet empat ratus ribu, dan ini buat kamu Bay, aku baru aja beli obat luka," ujarku menyodorkan kantok plastik di jaketku.
Nindy terlihat bersyukur bukan karena uangnya cukup, tapi lebih karena aku pulang dengan selamat setelah pergi keluar rumah semalaman, sementara Bayu merasa tidak enak padaku.
"Maafin aku Ndra, gara-gara keadaanku saat ini aku jadi ngerepotin kamu."
"Punggung kakak kenapa?" Nindy terkejut melihat sayatan dipunggungku.
"Oh, cuma kena potongan besi, tadi kakak kepeleset. Udah jangan dipikirin dan kamu Bayu hari ini kamu istirahat aja dulu. Biar aku yang cari duit hari ini, besok baru kamu ngamen lagi."
Mendengar ucapanku Bayu merasa bersyukur karena ada aku yang mau menolong keluarga ini. Padahal sejujurnya akulah yang paling berterima kasih karena keluarga kecil ini mau mengizinkanku tinggal disini sejak aku lari dari rumah beberapa hari lalu. Aku tidak peduli walaupun orang tuaku khawatir padaku atau malah kegirangan dengan kepergianku, bagiku keluarga baruku ini adalah prioritas utama.
Waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Merasa sejauh ini aman-aman saja, maka aku putuskan untuk kembali mencopet seperti yang kulakukan semalam. Tepat setelah aku selesai beristirahat nanti.