Setelah turun naik kendaraan umum, ahirnya kami tiba di sebuah waduk besar yang dipenuhi banyak sampah ini. Sembari bersantai sambil menikmati dua bungkus nasi goreng dan dua kantong es teh, kami mulai melanjutkan obrolan di bis tadi walaupun pemandangan yang kami lihat ini sebenarnya tidak begitu memanjakan mata.
"Eh iya, kamu emang asalnya dari mana?" Aku memulai obrolan ini.
"Aku dari Kediri Jawa Timur."
"Wow jauh juga ya, gimana ceritanya waktu itu kamu bisa sampe ke Jakarta?"
"Ceritanya panjang, aku juga bingung harus mulai darimana." anak ini menunduk, menyembunyikan ekspresinya yang kelihatan sedang sedih.
"Eh masih jam empat kurang sepuluh nih, masih banyak waktu buat kita, coba cerita mulai dari pas kamu pindah ke Jakarta."
Anak ini pun melanjutkan ucapannya. "He he he iya deh, sebenernya aku, ibu, bapak sama adek pindah ke Jakarta karena waktu itu bapak diterima kerja di salah satu perusahaan besar disana. Rumah gede, mobil bagus dua unit, barang-barang mahal, semuanya bisa dibeli dengan gampang waktu itu. dan Alhamdulillah, bapak dan ibu orangnya baik dan nggak sombong. Jadinya semua warga di kompleks kami pada baik semua ke kami."
"Terus apa yang terjadi?" tanyaku yang mulai tertarik.
"Semua berubah pas bapak di-PHK gara-gara perusahaannya bangkrut. Waktu itu bosnya bapak ditipu sama orang. Terpaksa kami jual barang-barang kami untuk sementara sampai bapak dapet kerjaan baru, atau seenggaknya dapet bisnis baru. Tapi tau-tau bapak jatuh sakit dan dua bulan kemudian bapak meninggal."
Sembari menenggak es teh kantongnya, dia masih melanjutkan ceritanya. "Nggak cukup sampai disitu. Pas sehari sesudah bapak meninggal, kompleks kami digusur tanpa pemberitahuan sama POL PP. Terpaksa semua warga disitu mencar keluar kompleks nggak tau pada kemana. Waktu itu juga ibu sempat dipukul sama salah satu POL PP sampai akhirnya ibu sakit. Akhirnya kami pindah ke pemukiman kumuh trus bikin rumah kecil dari barang-barang seadanya."
Sedikit terisak saat kulihat anak ini menghela napasnya, sepertinya masa lalu itu membuatnya sedih dan aku mulai merasa bersalah membuatnya teringat kembali semua itu.
Dia pun melanjutkan ceritanya. "Aku juga terpaksa berhenti sekolah sementara sampai ibu sembuh. Tapi ternyata ibu makin parah trus akhirnya meninggal juga. Yang tersisa tinggal aku sama adek di rumah, biarin deh aku putus sekolah trus ngamen yang penting adek aku bisa tetap sekolah. Apalagi adek sekarang baru aja diterima di SMP favorit dan dapet beasiswa karena prestasinya bagus semua, lagian semua tetangga juga mau bantu kami." tanpa sengaja aku melihat matanya mulai meneteskan air mata.
"Kamu beruntung ya, disaat seperti ini masih banyak orang-orang diluar sana yang mau bantuin kamu, nggak kayak aku." perlahan wajahku ikut tertunduk.
"Lho emang kamu kenapa, trus gimana ceritanya bisa sampai kesini?"
Ingin sekali kukatakan padanya kalau aku kabur dari rumah karena kesal dengan kehidupanku yang selalu berantakan. Tidak, aku malah berbohong pada pengamen ini.
"Aku diusir sama mama dan papa." aku berujar dengan ekspresi datar.
"Lho kok gitu?"
"Iya, sejak kecil mama sama papa emang suka bertengkar bahkan cuma gara-gara hal sepele. Trus sejak papa di-PHK, papa sering ngabisin duit hasil bisnisnya buat mabuk-mabukan. Karena papa udah nggak peduli lagi, makanya sekarang mama ikut kerja jadi sekretaris. Mama beda sama papa, duit hasil kerja mama bisa buat beli mobil sendiri, keperluan sekolah sama keperluan sehari-hari. Kalo papa ya ..., kalo nggak mabok pasti buat judi."
Pengamen ini menatapku dengan serius, sepertinya dia tertarik dengan ceritaku, seperti aku yang tertarik dengan ceritanya tadi.
"Pertengkaran mereka udah jadi hal biasa buat aku, kecuali adek aku yang masih balita. Tiap hari ngeliat mereka berantem selalu aja adek aku nangis, dan ujung-ujungnya aku harus nidurin dia dikamar aku sendiri. Aku juga udah sering nasehatin papa untuk nggak mabok dan nggak jarang juga pipi aku ditaboknya. Sekarang akhirnya aku diusir dari rumah." ujarku dengan menyisipkan kata 'diusir dari rumah'.
"Trus mama kamu?"
"Yaaa, mama juga nggak rela sih sebenernya tapi ya mau gimana lagi kalo papa aja udah nggak mau nerima aku."
***
Sesaat kami terdiam, kami menyadari kalau nasib kami sama walaupun kisah kami berbeda, sekalipun aku sudah berbohong. Tatapan kami kosong saat memandang bendungan air yang sudah tercemar oleh banyaknya sampah dan eceng gondok di sana-sini. Kudengar pemukiman ini akan segera digusur untuk proses perawatan waduk dan proyek pembangunan taman.
Perlahan mata kami terpejam, menikmati segarnya hembusan angin sepoy-sepoy yang menjalar perlahan di leher dan tengkuk kami, suasana yang menenangkan dan mendamaikan jiwa ditengah wilayah yang baunya menusuk hidung.
Tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Pengamen ini kemudian membangunkanku yang sempat terhipnotis oleh damainya suasana yang sayup-sayup ini.
"Kamu mau ikut kerumah aku?"
"Eh nggak pa pa nih?" Aku terkejut mendengar tawarannya.
"Iya, diusir dari rumah pasti bikin kamu bingung mau tinggal dimana, mending kamu ke rumah aku aja."
"Eh iya deh kalo boleh nginep, tapi nggak lama kok. Satu hari aja cukup, paling lama dua hari."
"Udah lah, kamu boleh tinggal selamanya," ujarnya dengan suara serak karena habis menangis. Aku terharu melihat pengamen baik ini yang masih mau menolong orang sepertiku disaat kondisinya sendiri sedang tidak memungkinkan
"Makasih banyak." Tak terasa air mataku ikut berlinang melihat air mata pengamen ini yang mulai mengering.
"Bayu ... " pengamen ini menjulurkan tangannya mengajakku bersalaman. Aku membalasnya dengan senyum dan tatapan berkaca-kaca.
"Indra".