Sudah tiga jam berlalu sejak aku meninggalkan kompleks perumahanku. Dengan menyusup ke sebuah kereta api, aku berangkat meninggalkan kota ini. Meninggalkan segala bentuk siksaan hidup yang selama ini belum pernah kutemukan solusinya. Aku tidak peduli apakah mama dan papa akan khawatir karena aku tidak pulang atau malah cuek, yang pasti semakin aku jauh dari rumah semakin bagus. Bagus untukku dan bagus untuk mereka.
Sejak berangkat dari Stasiun Bogor, aku masih berusaha bersembunyi di antara orang-orang yang berdesakan, berharap agar petugas pemeriksa karcis tidak memergoki bocah penumpang gelap sepertiku. Dan setelah beberapa lama, kereta yang kutumpangi kini tiba di stasiun Jakarta Kota. Dengan sigap buru-buru aku menyelinap di antara para orang-orang dewasa yang turun dari kereta.
Ada seorang pria tambun tengah berdesakan didepanku, dan kufokuskan penglihatanku kearah sesuatu yang menyembul di dalam kantong belakangnya. Batin ini sudah memperingatkan untuk tidak merampas sesuatu yang bukan hakku, namun instingku memang tak bisa diajak kompromi pada situasi seperti ini.
Akhirnya aku berhasil keluar dari stasiun itu dengan berhasil membawa kabur dompet pria itu. Aku berhasil keluar dan melangkah menjauh ketika kulihat di sana, pria itu dikerumuni orang-orang. Pria itu baru menyadari kalau dompetnya berhasil kurebut. Berusaha agar aku tidak tertangkap basah, aku berjalan dengan tenang dan menaiki sebuah angkot. Aku berhasil menjauh dari sana tanpa tertangkap basah.
Lima belas menit berlalu, kuputuskan untuk ikut turun dari angkot bersama para penumpang yang turun semuanya, dan tanpa membayar. Itu caraku untuk menghemat persediaan uang yang sebelumnya sudah kusiapkan agar tidak cepat habis. Sebab sampai saat ini aku masih ragu akan tujuanku.
Aku pun menaiki sebuah bis menuju wilayah Pluit. Tak beberapa lama, seorang pengamen yang sebaya denganku tengah menyambut hangat seisi penumpang lalu mulai memainkan gitar kecilnya. Sesaat aku tidak perduli hingga dia melantunkan sebuah lirik yang kelihatannya tidak asing ditelingaku.
I will wander 'til the end of time, torn away from you.
Kurasa lirik itu sesuai dengan perasaanku saat ini. Tanpa sadar aku ikut menyanyi kecil mengiringi pengamen itu.
I pulled away to face the pain.
I close my eyes and drift away.
Over the fear that I will never find
A way to heal my soul.
And I will wander 'til the end of time
Torn away from you.
My heart is broken
Sweet sleep, my dark angel
Deliver us from sorrow's hold
Over my heart.
***
"Hei makasih, lagu tadi bagus banget." Tanpa sadar aku bicara dengan akrab dengan pengamen itu ketika dia menyodorkanku sebuah kantong permen.
"Makasih juga, kebetulan aja aku lagi hapal lagu ini kak." Diluar dugaan dia ternyata ramah padaku, padahal tadinya kukira dia akan sok jual mahal atau terlalu canggung untuk bicara denganku.
"Heeeh kok manggil aku 'kak'? kita sebaya nih."
"Eh iya ya? Yaudah deh, maaf bro." Pengamen itu terlihat memerah, tersipu malu.
"Biasa ngamen dimana?" kulanjutkan menyodorinya beberapa pertanyaan setelah kusodori uang seribuan.
"Udah sering aku mah kemana-mana diwilayah Jakarta Pusat sama Jakarta Utara."
"Yang bener?" aku semakin takjub mendengarnya.
"Iya, dari stasiun, dalem kereta, halte, dari bis ke bis semua udah aku coba. tapi yang pasti sih aku sering main di wilayah Tanah Abang."
"Wah sering mampir ke monas dong?"
"Nggak juga sih, oh iya, kamu sendiri dari mana bro?"
Obrolan kami sempat terputus ketika si kernet mencoba mengusir si pengamen. Namun karena kelihatannya pengamen ini baik --dan dia sebaya denganku walaupun terlihat aku lebih tua sedikit darinya--, kuputuskan untuk mengikutinya.
"Eh, gua boleh ikut nggak? kita lanjut ngobrolnya di luar aja ya."
"Haah serius?" pengamen itu seolah tidak percaya kalau anak berpakaian rapi, bersih dan sopan sepertiku akan mengikuti si pengamen yang berpakaian lusuh hanya beralas kaki sepasang sendal tipis butut seperti dia.
"Iya serius, nanti aku jelasin deh."
"Yaudah hayo."
"Bagusnya kita kemana ya?"
"Kita ke deket waduk pluit aja, gimana?"
"Tapi sambil beli makanan ya, laper nih."
"Boleh deh, semoga aja hasil ngamen aku hari ini cukup."
"Yaelah, udah udah ntar aku ikut bantu bayar deh." Sedikit ragu saat aku mengucapkan kalimat ini, karena aku masih harus menghemat uangku sendiri.
"Yakin?"
"Iya, ntar aku jelasin semua deh pas kita sampe ntar."
Buru-buru aku mengikuti pengamen ini turun dari bis yang kami naiki, dan berjalan sambil mencari kendaraan lain, berharap kami bisa sampai ke waduk pluit sebelum sore.