Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh sore. Setelah beberapa kali naik turun bis, kini kami tiba di sebuah pemukiman kumuh yang dipenuhi begitu banyak sampah yang berserakan. Rumah Bayu memang berada di sebuah gang kecil dengan rumah panggung bertingkat di kanan dan kiri. Pemukiman ini pun berdekatan dengan sebuah sungai besar yang sama joroknya dengan waduk tadi.
Setelah beberapa saat melintasi celah-celah sempit di gang itu, akhirnya kami tiba disebuah bilik kecil yang tersembunyi diantara rumah-rumah kumuh lainnya. Sebuah ..., mungkin lebih cocok jika kusebut sebagai ruangan empat kali empat meter yang tidak terlalu sempit, sebuah ruangan kecil yang Bayu sebut rumah ini memang agaknya terlihat memprihatinkan, namun sepertinya masih terasa cukup nyaman.
"Oke kita udah nyampe, maaf ya kalo tempatnya kayak gini," ujar Bayu.
"Nggak pa pa kok, biasa aja kali," balasku. Aku yang memang sudah terbiasa dengan keadaan ruangan yang berantakan, tidak merasa risih dengan tempat ini. Kelihatannya aku akan terbiasa.
Ruangan ini hanya diterangi oleh satu bohlam. Kulihat disana di dekat pojokan, adiknya bayu tengah sibuk mengerjakan PR lalu kemudian beranjak untuk membantu meletakkan tasku.
Aku memang percaya kalau Bayu memiliki adik yang baru masuk kelas satu SMP, tapi aku tidak tahu kalau Bayu bisa memiliki seorang adik yang berparas cukup cantik dengan tubuh yang tak biasa. Wajahnya cantik sempurna mirip artis cilik korea Jo Eun Hyung. Dan tubuhnya juga putih, langsing dan sintal. sangat tak lazim untuk seorang gadis seusianya walaupun memang adiknya ini masih lebih pendek dariku hingga terkesan masih seperti anak SD.
"Selamat datang, kak. Maaf ya kalau keadaannya kayak gini." Gadis kecil yang kini kuketahui bernama Nindy ini menyapaku dengan ramah.
"Hehehehe nggak pa pa kok, maaf ya kalo kedatangan kakak ngeganggu."
"Nggak kok kak, malah Nindy seneng kalo ada tamu," ujarnya ramah.
***
Harus kuakui pula, keadaan disini cukup tenang dimalam hari. Setelah mandi di pancuran belakang yang berada dekat di pinggir sungai, aku membantu Bayu untuk menyiapkan makan malam. Setelah menikmati makan malam sambil menikmati obrolan hangat, seperti biasa Bayu naik keatas atap bersama gitarnya yang lain --yang berukuran lebih besar. Aku sendiri sibuk ngobrol dengan Nindy sembari membatunya mengerjakan PR. Karena semua soal itu mudah untukku, jadi tidak perlu waktu lama bagiku untuk membantunya menyelesaikan PR ini.
"Ngomong-ngomong, Nindy sekolahnya jauh nggak dari sini?"
"Nggak juga sih kak. Lagian soal pulang pergi nggak jadi masalah, soalnya sering berangkat rame-rame."
"Biasanya kalian naik apa?"
"Biasanya jalan kaki 15 menit, atau naik angkot kalo udah berangkat kesiangan."
"Kamu enak ya punya banyak temen yang pengertian, tetangga yang perhatian plus abang yang penyayang." Suaraku kini mulai terdengar dalam.
"Lho emang kakak sendiri gimana?"
Perlahan kukeluarkan semua unek-unekku pada gadis kecil ini. "Nggak anak-anak disekolah, nggak orang-orang dilingkungan terdeket kakak, semuanya nyebelin. Mereka seolah mandang kakak ini sebagai anak rendahan, mama sama papa juga nggak pernah ada yang meratiin kakak. Mereka sibuk sama urusannya masing-masing dan nggak jarang mereka berantem, biasanya karena kebiasaan buruk papa yang suka minum-minum."
"Trus apa yang terjadi sama kakak sekarang?"
"Kakak diusir dari rumah, kakak nggak boleh pulang lagi." Jawaban yang kuberikan masih jawaban bohong yang sama yang kuberikan pada Bayu. Aku terkejut saat kurasakan lembutnya telapak tangan Nindy membelai pelan pipiku. Dingin dan halus.
"Kakak nggak usah sedih, kakak kan udah tinggal disini. Nindy seneng kok punya temen baru."
"Emang sejak kapan kakak diterima disini?" perlahan aku mulai bercanda.
"Yaaa sejak dua jam lalu," jawab Nindy polos.
"Tuh kan udah dua jam aja kita ngobrol, tidur sono ntar kesiangan," cibirku.
Kami berdua tertawa kecil, sebuah suasana hangat yang sama sekali tidak pernah kurasakan dalam hidupku. Kurasakan ada setetes surga mengalir di dalam bilik sederhana ini dan tak henti-hentinya aku bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk merasakan surga itu.
***
Malam semakin larut, langit semakin kelam dengan dihiasi warna kemerahan oleh asap polusi dan lampu-lampu jalan. Nindy sudah tertidur dalam pangkuanku, kubaringkan dia di tikar itu dan kulindungi tubuhnya dari udara dingin dengan jaketku. Merasa belum mengantuk, aku melangkahkan kakiku menaiki atap di mana Bayu tengah asyik melantunkan senandung malam berteman gitar miliknya, menikmati suasana damai ditengah riuh aktifitas perkotaan yang seolah tanpa henti.
"Lagu yang tadi kamu nyanyiin di bis ...," aku mulai mencoba menghangatkan suasana.
"My Heart Is Broken?"
"Iya, btw kamu tau lagu itu darimana?"
"Aku sering dengerin radio punya almarhum bapak," ujarnya padaku.
"Trus kamu latihan gitar make radio itu? chordnya sendiri gimana?"
"Iya, chord mah bukan masalah buat aku soalnya dulu waktu almarhum ortu masih hidup aku udah jago main gitar," tukasnya bangga, membuatku sedikit tersenyum kagum.
Perlahan kami larut dalam suasana tentram ini, sayup-sayup suara mesin kendaraan di ujung sana menghiasi malam cerah nan damai ini. Langit cerah di hiasi bintang-bintang yang kerlap-kerlip yang terhalang oleh awan dan asap polusi semakin menguatkan kesan langit malam khas perkotaan. Tanpa sadar aku mulai mengiringi lagu yang dilantunkan Bayu. Terdengar seperti lagu lawas namun aku masih ingat ketika mama masih suka dengan lagu ini. Lagu Nugie berjudul "Pelukis Malam".
Rembulan senja
Pelan muncul di ufuk barat
Aku,duduk dan hanyut terbuai
Oh bintang,kejora
susul sang angin malam panjang
Aku,diam dan hirup dalam nafas
Dapatkah,aku.., melukis dikau...
Wahai,malam panjang..
Tuntunlah penaku
melukis wajahmu
di dalam kalbu
Wahai malam panjang..
Buailah diriku
***
"Besok mau ikut ngamen nggak?"
"Serius nih, beneran pengen ngajak?"
"Iya kalo kamu bisa main gitar, kamu boleh bawa gitar ini atau kalo males bisa bawa drum kecil dipojok sana."
"Boleh boleh, hari pertama kayaknya bakal seru nih."
"Oke sip deh kalo kamu suka."
"Yoi, ayo lanjut lagi nyanyi-nya."