Jaket tebal sudah dipakai, topi hitam ini sudah menutupi kepalaku, dua batang linggis yang kupakai selama ini sudah siap, sepatu boot sudah terpasang di kedua kakiku, slayer untuk menutup wajah sudah siap di saku celana. Begitu aku melangkah keluar dari rumah ini, tidak ada jaminan berapa lama aku bisa bertahan diluar sana, atau apakah aku akan menetap disana selamanya sebagai orang paling hina? Setelah kukunci pintu rumah ini dan menyerahkan anak kuncinya pada Nindy, gadis kecil ini memeluk erat tubuhku dengan sedikit terisak.
"Kakak harus janji kalau kakak nggak bakalan pergi lama"
"Kakak bukan sekedar janji, Kakak bersumpah kalau kakak akan kembali untuk Nindy setelah ini selesai bagaimanapun caranya" kuusap kepala Nindy, aroma wangi rambut hitam itu menelusuk masuk kedalam hidungku. Puas memeluknya dengan erat, aku berangkat menuju Stasiun Manggarai. Nindy terlihat tertegun melihatku berjalan dengan kepala tertunduk.
"Eh Indra, ada perlu apa nih dateng kesini. Hayo kita minum-minum dulu" salah satu gelandangan temannya Bayu yang bernama Edi menyapaku ketika aku datang menghampiri mereka yang sedang memojok di pinggir stasiun ini.
"Maaf Ed aku lagi ada kerjaan penting, boleh aku tahu siapa yang nyakitin Bayu waktu itu?"
"Kamu mau apa emangnya Ndra? Kamu nggak bakal macam-macam kan?"
"Ed nggak ada waktu buat aku berlama-lama disini. Kasih tau aja biar aku bisa langsung pergi"
"Ndra aku tahu perasaan kamu, tapi Nindy ..." belum sempat Edi melanjutkan ucapannya aku sudah lebih dulu menjambak leher bajunya dan mendorongnya ke tiang. Sebagian teman-teman Edi menodongkan masing-masing satu belati kearah leherku.
"Aku udah bilang aku nggak punya banyak waktu"
"Aku nggak tahu siapa mereka, kita cuma sering ketemuan terus berantem nggak jelas di beberapa gerbong kereta" mendengar ucapan itu aku mulai mencekiknya.
"STASIUN MANA !!!???"
"Nggak tau, yang aku inget waktu itu mereka pernah bilang ke Bayu untuk selalu nyetor ke mereka tiap kali Bayu melintas ke wilayah Cilacap dan Pegangsaan Barat apalagi sampai masuk ke area Universitas Bung Karno. Cuma itu yang aku inget, sumpah" mendengar ucapan itu aku tertegun karena aku merasakan kalau aku juga pernah bermasalah dengan para penguasa wilayah itu, aku yakin orang-orang ini adalah orang yang sama yang pernah mengejarku waktu itu.
"Stasiun Cikini" ujarku pendek, aku melepaskan tanganku dari leher Edi dan berjalan menjauh dari stasiun ini ketika ada satu kereta yang datang. Aku masuk kedalam kereta iu dan menghilang diantara kerumunan penumpang.
"Indra tunggu, aku belum kasih tau sesuatu ke kamu, Ndra !!" aku tidak memperdulikan suara Edi saat kereta yang kunaiki sudah mulai berjalan.
Jarak antara Stasiun Manggarai dengan Stasiun Cikini tidak begitu jauh. Baru sesaat aku mempersiapkan diri, kereta tersebut sudah sampai di stasiun ini. Sesaat setelah aku keluar dari kereta aku melihat sebuah koran disebuah tempat yang menjual majalah. Dibagian pojok koran itu ada sebuah opini yang mengarah ke halaman belakang di koran itu. Judul opininya 'Pulanglah Indra, kami merindukanmu' ada beberapa isi dari artikel itu yang masih kuingat.
"Indra, sudah berhari-hari kamu menghilang dari rumah. Bukan hanya orang tuamu yang merindukanmu, tapi juga seluruh teman-temanmu bahkan kami para guru-guru disini juga sangat mengkhawatirkanmu. Jika kamu membaca pesan ini dimanapun kamu berada, kami berharap kamu bersedia untuk pulang kerumah agar kita bisa berkumpul kembali dan berbagi canda tawa bersama seperti dulu. Salam rindu dari kepala sekolahmu, Rida Nurhayati"
Cih! Canda Tawa!? omong kosong menyedihkan macam apa itu!? satu-satunya yang kalian bagikan bagiku hanyalah penderitaan dan rasa sakit hati. Ya, kalian memang merindukanku. Merindukanku untuk bisa menyakitiku lagi seperti dulu, iya kan!? Jangan harap kalian bisa mendekatiku untuk menyakitiku lagi setelah kutemukan satu dunia yang masih lebih menghargaiku ketimbang kalian, ingat itu !! Tapi menurutku ini lumayan. Lumayan untuk memacu amarah dalam hatiku untuk menghabisi para bajingan yang telah menyakiti Bayu. Sekarang tinggal mencari mereka, namun sepertinya aku tidak perlu repot-repot karena mereka semua sudah ada disini ketika kulihat mereka sedang asyik memalak beberapa pemilik toko. Aku sudah siap untuk aksiku saat salah satu dari mereka berteriak sambil menunjukku.
"Woy, itu dia si anjing yang waktu itu !!"
Dengan gaya perlahan, mereka berjalan mendekatiku sambil menyiapkan celurit.
"Masih berani lu dateng kesini, gua kira lu udah mampus, cuih!!"
"Gua denger dua hari lalu kalian ngeroyok anak-anak pengamen dari wilayah Pluit"
"Oh jadi selain partner si goblok Imam, lu juga anak wilayah pluit?ada hubungan apa lu ama si pengamen pendek keriting yang suka nyeker itu"
Ternyata mereka juga tahu kalau Imam adalah yang waktu itu kuselamatkan dari mereka, eh tunggu. Pendek, keriting, nyeker alias tanpa pakai alas kaki. Cuma Bayu satu-satunya yang punya ciri-ciri itu.
"Jawab pertanyaan gua, siapa yang udah nyakitin pengamen itu!?" mendengar ancamanku mereka malah tertawa terbahak-bahak.
"Eh kunyuk, apa urusan lu kalo salah satu anak-anak ngeroyok temen cebol lu itu"
Panas mendengar ucapan itu, dengan cepat linggis di tangan kananku mendarat di rahang preman ini. Terkejut melihat tindakanku, mereka semua mulai menghajarku dan memanggil rekan-rekan mereka. Jumlah mereka yang berdatangan semakin banyak.
"Eh bocah, cari mati lu di wilayah macan hitam, hah !!?"
Jadi mereka menamai diri mereka 'geng macan hitam'? tidak berarti apa-apa bagiku sejauh ini. Dengan asiknya aku kembali menghajar mereka semua tanpa mempedulikan para pengguna jalan yang asik menyaksikan 'tontonan gratis' ini. Seperempat jam berlalu dan mereka semua terkapar dalam keadaan kepala penuh darah, termasuk pula aku. Namun amarah di hatiku mengalahkan rasa sakit di kepalaku yang mengalami pendarahan hebat. Kudekati salah-satu dari mereka, ya dia yang tadi mengejekku. Kudekatkan ujung linggisku ke mata kanannya.
"Jadi gimana? udah keluar kunci jawabannya?"
"Mereka disana" mereka menunjuk ke Cikini Gold Center. Cih! memangnya mereka mau beli emas?
"Sebaiknya kau benar, keparat" aku memukulnya satu kali sebelum kutinggalkan preman ini.
Bermodal informasi tadi, aku melanjutkan langkah kakiku. Para warga yang melihat kami semakin riuh dan cemas, salah satu dari mereka mencoba mengingatkanku tapi aku tidak peduli karena aku sudah mulai terbiasa dengan tindakan bodoh yang menyenangkan ini.