"Hey Gabe tidak ikut main voli?" Gilbert datang sendirian menghampiriku didalam kamar ini. Didapatinya aku tengah duduk memeluk lutut diatas ranjang dengan tatapan mata kosong.
"Gabe, kau baik-baik saja?"
"Mimpi itu muncul lagi" ucapku datar.
"Sammael ya?"
"Dan kali ini lebih buruk"
"Mimpi buruk memang hal paling menyebalkan selama kita tidur, dan biasanya mimpi buruk akan menjadi lebih buruk saat kau berpikiran buruk. Sekali-kali cobalah sesuatu yang bisa membuatmu merasa bahagia. Seperti bermain voli bersama kami"
"Entahlah Gil, aku tidak bisa berolahraga"
"Dan kau malu atas hal itu dihadapan adiknya Deryck?" Gilbert mulai menyengir.
"Hey mulai lagi!" aku memukul bahu Gilbert. Gilbert semakin tersenyum merekah melihat wajahku yang mulai ceria.
"Hahahahaha ayo mandilah dan turunlah kebawah sana, setidaknya menonton saja juga cukup"
Aku pun mandi dan langsung turun berkumpul bersama yang lainnya dengan membawa satu buku. Mereka yang semuanya memakai pakaian pantai (yang pria hanya memakai boxer dan wanita memakai bikini super minim) tertawa melihatku yang memakai jaket hangat bertudung dan celana jeans hitam.
"Cuaca disini cerah dan hangat tapi kau malah pakai jaket" Felicia tertawa melihatku.
"Dan kenapa kau menutup wajahmu dari kami, kau tadi habis menangis ya diatas kamar? wajahmu pucat dan matamu merah begitu" Rachel menyengir saat melihatku memalingkan wajah. Sial dia bisa tahu kalau kondisi pikiranku sangat tidak bersahabat.
"Aku menutup wajahku dari kalian karena ... pakaian kalian terlalu minim" ucapku sambil menahan tawa. Seisi pantai mini ini mentertawakanku dengan keras.
"Kalau begitu bukalah jaket dan celanamu, pakai boxer saja. Aku tidak sabar melihatmu berpakaian seksi" Felicia kembali mengoceh.
"Ayolah Gabe, buka semua bajumu karena kami para cewek sudah tidak tahan" Grey mulai ikut menggodaku.
"Aku masih punya satu untuk kita pakai nanti malam. Cuma kita berdua Gabe sayang" Rachel memperlihatkanku sebuah sachet kecil dengan wajah yang genit.
"Hei astaga, yang benar saja!? mainlah lagi bola voli kalian karena masih ada yang harus kubaca" wajahku semakin memerah dan tanganku masih asik menggenggam bukuku. Mereka kembali melanjutkan permainan volinya sambil masih asik mentertawakanku.
Dua jam telah berlalu dan mereka yang sejak tadi bermain voli mulai mendekatiku yang masih asik membaca buku. Aku masih sibuk dengan bukuku ketika minuman-minuman dingin didekatku sudah habis ditenggak oleh mereka, Gilbert menyodorkanku dua buah tempat minuman yang sudah kosong.
"Gabe, boleh minta tolong buatkan es limun?"
"Memangnya Deryck kemana?" aku balik bertanya sambil mengambil tempat minuman itu.
"Entahlah, tadi dia pergi bersama kakeknya"
"Ada siapa didapur?"
"Tidak ada siapapun dan dari tadi kau tidak bermain voli, jadi buatlah dirimu berguna" senyum khas Gilbert membuatku manyun.
"Terserahlah" aku berjalan ke dalam rumah membawa tempat minuman kosong ini dan tentu saja, masih dalam keadaan ditertawakan mereka semua. Aku berjalan menuju dapur dan suasana rumah ini sangat sepi. Mungkin sedang pergi ke pasar atau semacamnya. Sudah hampir selesai dan aku agak kebingungan saat mencari beberapa buah limun hingga akhirnya aku menemukan keranjang berisi begitu banyak limun. Ya ampun Deryck, kenapa limun-limun ini ditaruh ditempat yang tinggi?
"Boleh kubantu?" adiknya Deryck datang menghampiriku ketika dilihatnya aku tengah kesulitan menjangkau keranjang limun itu.
"Ah tidak tidak, aku baik-baik saja, aku bisa atasi ini, tidak terima kasih" ujarku sambil agak kesulitan menurunkan keranjang itu.
"Maaf kalau agak merepotkan kak" gadis kecil ini tersenyum polos.
"Tidak apa-apa aku bisa urus ini, dan ayolah jangan panggil aku kakak, aku tidak setua itu"
"Oke emm ... Gabriel, aku benar kan?"
"He he iya benar, jadi yang lainnya pada kemana?"
"Bang Deryck sedang pergi bersama kakek ke tengah kota, nenek sedang pergi ke rumah tetangga"
"Dan kau sendiri tadi dari mana?"
"Aku tadi didepan sedang memeriksa kotak surat" gadis ini mendekatiku dan ikut membantu membuatkan es limun. Kami berbincang-bincang sesaat ketika tiba-tiba ada tamu yang menekan bel luar rumah.
"Sebaiknya kuperiksa dulu, ngomong-ngomong namaku Jasmine" gadis ini berlalu sambil sempat-sempatnya berkedip kearahku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah polosnya.
"Hey lama sekali!!!" Steward berteriak kearahku ketika dilihatnya aku sudah keluar membawa tempat minuman yang sudah penuh.
"Maafkan saya tuan, dan ngomong-ngomong aku tidak memakai tanda pengenal bertuliskan 'pembantu baru' jadi jangan berteriak seenaknya" melihat wajah cemberutku semuanya tertawa. Saat aku menawarkan minuman-minuman kepada mereka aku menengok kearah rumah. Aku merasakan Jasmine seperti sedang mengawasiku dari rumah dan aku hanya menanggapinya dengan datar takut wajahnya memerah karena malu atau semacamnya, entahlah.
"Ya ampun aku harus ke kamar mandi" aku berbohong pada yang lainnya.
"Hey kenapa?" Felicia terheran melihatku terbirit-birit sambil menggenggam perutku.
"Entahlah, kelihatannya aku sembelit, aku harus buang air besar"
"Jangan terlalu lama, karena kau akan dapat tugas baru"
"Ya, buatkan kami makan siang saat kau selesai, dan pastikan kau membasuh tanganmu sebersih mungkin" Felicia dan Rachel terbahak-bahak mentertawakanku.
"Masa bodoh" aku hanya tersenyum sinis.
Sampai didalam rumah aku melihat Jasmine sedang membuat makan siang untuk kami. Aku berpura-pura mengambil gelas untuk minum air putih dan mengambil air di dispenser tepat didekatnya.
"Hey, aku saja yang masak. Akulah yang mereka suruh"
"Tidak apa apa kak, aku saja lagipula tamu adalah raja kan"
"Dan sekarang sang raja memerintahkanmu untuk mengundang raja untuk ikut masak bersamamu" Aku berujar dengan senyum, membuatnya tidak ada pilihan lain selain membiarkanku ikut masak bersamanya. Kami menikmati saat-saat bersama sambil memasak sambil mengobrol dan sesekali aku melongo kearah jendela memastikan mereka yang diluar tidak melihatku.
Sejak hari itu aku jadi lebih sering mengobrol dan dekat dengan Jasmine secara diam-diam selama empat hari. Setiap kali kami belajar pun dia berusaha mencuri kesempatan untuk dekat denganku sesaat dan berdalih hanya ingin membuatkan es limun untuk kami. Hingga suatu malam tepatnya minggu malam saat semua sedang tertidur, aku melangkah keluar teras dan menatap Jasmine yang sedang duduk termenung didalam gazebo di pantai kecil itu. Tiupan angin malam membuat rambutnya yang tergerai semakin melayang-layang menambah kecantikannya. Melihatku yang sedang menatapnya, dia menepuk lantai gazebo seperti kode untuk mengajakku duduk disana menemaninya. Sinyal hijau telah menyala, diam-diam aku mendekatinya dan mulai duduk disisinya menikmati pemandangan ombak malam hari yang indah.