Hari kedua bekerja untuk Imam dan Pak Torro telah tiba. Setelah berpamitan pada Bayu dan Nindy aku kembali berangkat setelah subuh tadi aku menerima sms dari Imam yang menyuruhku untuk menemuinya di Jalan Cilincing Landak. Dekat dengan wilayah Sungai Tiram dimana wilayah tersebut merupakan pemukiman padat yang dipenuhi oleh air. Setelah berkendara beberapa jam kini aku tiba diwilayah ini dan bertemu dengan Imam yang sedari tadi sudah menungguku bersama dua orang berjaket kulit kemarin.
"Hari ini kita jualan" Imam menyerahkan sebuah ransel
"Jual apa"
"Pokoknya kamu bawa aja ransel ini dan biar aku yang jual ke pembeli"
"Yaudah hayo".
Kami pun bergerak menuju pemukiman pemukiman padat dan sempit yang memang biasanya ditempati oleh beberapa preman dan penjahat yang sedang beristirahat sembari berjudi dan minum-minum. Ini membuat kami lebih mudah untuk menjual isi ransel ini pada mereka, karena mereka dalam keadaan tidak sadar. Dalam hati ini sebenarnya aku ingin protes setelah melihat Imam menjual beberapa bungkusan berisi serbuk putih, namun karena aku tergiur dengan bayarannya dan memang aku tidak berniat untuk memakainya dan hanya membantu menjualnya saja maka aku tidak banyak protes pada Imam. Selesai disini kami berkeliling di satu titik di tiap-tiap wilayah Jakarta dengan barang jualan yang sama. Setelah selesai saat sore seperti biasa kami melapor pada Pak Torro untuk meminta imbalan sebelum pulang. Seperti biasa sebelum pulang kerumah aku membeli segala keperluan untuk makan sehari-hari, setidaknya untuk bisa sedikit membantu Bayu dan Nindy.
Selama tiga hari terakhir aku, Imam dan dua orang berjaket kulit ini berjualan di tiga tempat berbeda diseluruh Jakarta ini. Hingga dihari keempat saat kami mencoba menjualnya diwilayah Cawang, tiba-tiba kami dihadang oleh beberapa preman-preman kecil yang menguasai wilayah sana. Mereka datang untuk merampok uang dan isi koper kami dan mengusir kami dari sini. Karena kami tidak mau menyerahkan sedikitpun uang kami pada mereka, maka kami besiap untuk menghajar mereka. Apalagi mereka hanya sekumpulan bocah-bocah yang tidak lebih tua dari kami, memangnya bisa apa mereka. Karena persenjataan kami lengkap maka kurang dari sepuluh menit kami berhasil mengalahkan mereka hingga tiba-tiba mereka mendapat bantuan yang tak lain adalah preman-preman yang lebih tua dan besar. Sial, ternyata lagi-lagi itu preman yang sama yang pernah kuhadapi bersama Imam. Karena aku langsung buru-buru memakai masker, para preman ini tidak tahu kalau aku adalah orang yang pernah menghadapi mereka sebelumnya. Aku hanya tidak mau berurusan pada orang-orang yang sama lebih dari dua kali.
"Mam, sebaiknya kita pergi dari sini dan jangan hadapi mereka"
"Lho kenapa padahal masih dua bungkus nih, tanggung"
"Percaya sama aku, ini bukan ide bagus. Lagian masih ada hari esok untuk ngelanjutin ini"
Secara tiba-tiba si botak mengeluarkan pistolnya dan menembak salah satu preman itu. Mendengar suara letusan pistol itu aku terperanjat dibuatnya.
"Gila, apa-apaan itu barusan?"
"Nggak usah banyak protes, kalian berdua pergi duluan. Kami berdua nyusul nanti"
Aku bersama Imam lari meninggalkan tempat ini kembali ke kediaman Pak Torro untuk menyerahkan laporan hasil. Aksi lari-larian dan lompat-lompat ala parkour kembali terjadi namun yang mengejar kami kali ini lebih banyak ditambah lagi perkelahian tadi telah mengundang beberapa polisi kemari, kulihat beberapa preman itu berhasil diringkus sementara yang lainnya masih tetap mengejar kami. Seperti biasa pula kami berhasil menghilangkan jejak diantara kolong selokan kotor dibawah jembatan jalan raya. Hari ini terpaksa kami mengakhirinya lebih awal dua jam dan langsung menyerahkan laporan kami. Setelah selesai diserahkan sesaat sebelum aku meninggalkan ruangan Pak Torro, beliau memanggilku.
"Indra, boleh saya bicara sebentar nak sebelum kamu pulang?"
"Ada apa ya pak?" aku mendekat dan duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Ada sesuatu yang sebenarnya ingin saya beritahu ke kamu mengingat keahlianmu melarikan diri ... ya bisa dibilang dua langkah lebih maju dibanding Imam"
"Sesuatu? apa itu pak?"
"Sepertinya kamu belum saya beritahu sesuatu tentang Aldo"
"Aldo? siapa itu pak?" mendengar pertanyaanku Pak Torro memperlihatkan sebuah foto dari laci mejanya.
"Ini Aldo, anak semata wayang saya. Tiga bulan lalu seseorang menjebaknya dan membuatnya terpaksa harus mendekam dipenjara. Sejak dia dipenjara, bisnis saya sering mengalami masalah, ingin sekali saya bisa membawanya kembali lagi kesini. Imam sudah banyak membantu saya bersama Si Botak dan Si Gondrong tapi saya merasa tidak enak jika harus menyerahkan tugas ini pada mereka karena mereka sudah terlalu banyak saya bebankan dengan pekerjaan-pekerjaan bisnis saya"
"Kenapa bapak tidak suruh saja anggota bapak yang lain untuk membawanya kabur"
"Sudah saya suruh tiga kali kepada tiga orang bawahan saya dan ketiganya gagal, yang terakhir saya kirim kesana dia meninggal karena kepalanya ditembak saat mencoba kabur. Saya ingin nak Indra mau membawa Aldo pulang kesini dengan selamat. Sebagai gantinya saya sudah menyiapkan dua puluh juta untuk nak Indra"
"Memang dia dipenjara dimana pak?"
"Penjara Nusakambangan, saya berharap nak Indra mau menerima misi ini. Atau mungkin sebaiknya saya kasih nak Indra waktu selama satu hari untuk berpikir"
Deg, jantungku serasa berdenyut kuat sekali. Aku tahu persis penjara itu, aku dengar bahwa memang pengawasan disana sangat ketat bahkan setara Pulau Alcatraz. Sekali masuk tidak bisa keluar dan kabur dari sana artinya bunuh diri. Ini pertama kalinya aku disuruh melakukan sesuatu yang membutuhkan lebih dari seratus persen kemampuanku saat ini.
"Baiklah pak, izinkan saya untuk berpikir selama satu hari penuh"