"Kami semua sangat mengkhawatirkanmu ..."
" ... Aku yakin Tuhan masih mau memaafkanmu"
" ... Biarkan dia tenang dialam sana"
"Aku akan selalu menyayangimu, kakakku ..."
Haah!!??
Aku terbangun disebuah ranjang didalam ruangan empat kali empat tanpa jendela yang terbuka apalagi lampu yang menyala. Disini terlalu gelap, sulit untuk melihat dengan jelas bagian dalam ruangan ini. Sejujurnya aku merasakan seperti baru terbangun dari mimpi buruk, ya mimpi buruk yang teramat sangat panjang. Tentang semua orang yang terlalu khawatir padaku, tentang nasib naas yang menimpa adikku. Kurasakan ada rasa terbakar didalam kepalaku dan saat kusentuh keningku, ada bekas seperti lubang kecil ditengahnya. Sayang tidak ada cermin disini, aku mencoba meraba-raba mencari pintu disekitar sini. Aku berhasil membuka satu pintu yang membawaku ke sebuah koridor. Ada banyak pintu disekitar sini, sungguh aku tidak ingat apa yang terjadi sebelum aku terbangun dari ruangan itu. Merasa kedinginan, aku mencoba mencari siapapun disekitar sini berharap bisa meminjam mantel hangat jika memang ada yang punya. Namun tempat ini sepertinya terlalu sepi. Satu jam sudah kuhabiskan untuk berkeliling tempat ini dan aku berhasil keluar dari ... ya, terlihat seperti sebuah gedung putih bertuliskan RSUP Nasional Dr Cipto Mangunkusumo. Kulihat sekelilingku hanya ada gedung-gedung yang hancur dan semuanya berwarna abu-abu. Sinar mentari begitu terik namun langit disini berwarna abu-abu pekat dan hanya ada beberapa awan diatas sana. Ada satu truk yang kelihatan masih 'berbentuk' diantara begitu banyak benda-benda yang sudah hancur. Aku mencoba memeriksa bagian dalam itu berharap ada jaket atau semacamnya yang (kuharap) masih tertinggal didalam bagasi truk itu. Yang kudapatkan lebih dari yang kuharapkan. Sebuah mantel besar berlengan panjang, celana jeans hitam, beberapa utas tali, sepasang sarung tangan dan sebuah ikat kepala. Setelah memakai semua itu, aku berjalan menelusuri setiap tempat selama berjam-jam berharap ada seseorang yang bisa kutemui. Namun hanya ada reruntuhan dan sisa-sisa seperti habis terbakar. semua gedung-gedung pencakar langit hanya menyisakan kerangkanya saja. Merasa mulai heran, kuputuskan untuk menaiki salah satu dari gedung itu yang tertinggi. Tiba diatas sana aku memandang dari bagian jendela luar, aku hanya menghela nafas atas apa yang kulihat ini.
"Apa yang terjadi disini, sudah berapa lama aku tertidur sampai aku melewatkan semua ini?" aku bergumam dalam hati melihat begitu banyak gedung-gedung besar, bangunan-bangunan bagus, jalan layang yang kokoh, fasilitas-fasilitas umum, ratusan kendaraan, semuanya hancur tak bersisa. Sesaat aku berpikir mungkinkah cuma aku yang tersisa disini? Ah tidak mungkin, aku yakin pasti ada orang yang juga bernasib sepertiku diluar sana entah dimana. Buru-buru aku turun dari gedung ini dan mencari dua batang linggis dan beberapa sisa logam yang tajam, mungkin bisa kugunakan untuk bertahan hidup karena aku merasakan seperti ada seseorang atau mungkin sesuatu yang sejak tadi mengawasiku. Berjalan diantara celah-celah bangunan, kudengar seperti suara derap langkah kaki. Namun saat aku menoleh tidak ada siapa-siapa. Suara itu terdengar lagi, kali ini terdengar lebih jelas. diatas genteng dari sebuah bangunan kulihat ada orang seperti tergeletak dalam keadaan tertelungkup.
"Heeey, kau baik-baik saja !!??"
Sesaat setelah aku berteriak, orang tertelungkup itu mendongakan wajahnya kearahku. Sesaat aku terdiam melihatnya hingga tiba-tiba orang itu merangkak cepat sekali. Dia turun kebawah dengan merangkak dan menghilang diantara rumput-rumput liar.
Aku terbengong sesaat hingga kusadari orang itu melompat tinggi sekali kearahku, berniat menerkamku. Sebelum sempat menyentuhku, aku lebih dulu melemparinya dengan potongan logam yang kubawa tepat mengenai keningnya dan menembus hingga belakang kepala. Beberapa saat-kulihat orang itu menggelepar hingga akhirnya tubuhnya ... hmmm kau bisa bayangkan sebuah balon sabun yang disentuh dengan tangan lalu kemudian meletus. Kira-kira itulah yang terjadi pada orang itu, dia meletus dan hanya menyisakan kerangka tubuhnya. Sesaat kukira aku sudah aman ternyata ada tiga lagi yang seperti orang tadi. Muncul dari celah-celah bangunan dan mengepungku. Wujud mereka seperti manusia namun kulit mereka memerah seperti habis terbakar dan bau mereka sangat busuk dan yang pasti tanpa bola mata. Aku berusaha semampuku untuk bertahan hanya dengan beberapa potongan besi. Aku berhasil mengalahkan mereka bertiga walaupun bahu kiriku tertancap potongan besiku sendiri saat sibuk melawan mereka. Aku sadar kalau besi ini dicabut maka aku akan mati karena kehabisan darah akuibat pendarahan hebat, namun jika kubiarkan rasanya semakin sakit saja. Sialnya lagi tidak ada air disini, debu-pun tidak cukup membantu.
Dengan sempoyongan menahan sakit karena membiarkan batang besi ini menembus bahuku tanpa mencabutnya, aku berjalan tanpa henti selama berjam-jam atau malah mungkin seharian penuh. Ingin rasanya kembali ke rumah sakit tempat aku keluar tadi, tapi saat ini aku sudah terlanjur berada di Jalan Otto Iskandardinata dan jika aku memutuskan untuk kembali perjalanannya bisa sangat jauh. Entahlah apa sebutannya ini, aku tidak sadar kalau aku sudah berjalan terlalu jauh padahal kukira aku masih didekat rumah sakit itu. Aku ingat ada sebuah Rumah Sakit didekat Jalan Dewi Sartika dan jaraknya hanya tinggal beberapa jam lagi. Aku tidak boleh menyerah karena aku tidak mau mati kekeringan disini ataupun mati diserang makhluk seperti tadi yang mungkin masih ada disekitar sini. Beberapa jam berjalan hingga berpikir kalau aku tidak akan berhasil, akhirnya aku beruntung sudah berada dirumah sakit itu. Sejauh ini aku masih sendirian dan tidak ada yang membuntutiku. Hari sudah malam dan sepertinya hujan akan turun, kuharap ada sesuatu didalam rumah sakit ini yang bisa kupakai selama satu malam karena malam ini aku harus bermalam disini. Tiba didalam rumah sakit ini aku menyusuri tiap-tiap ruangan gelap disini berharap bisa menemukan obat bius atau setidaknya sebaskom air. Tidak banyak yang kutemukan , hanya benang dan jarum, segelas air, senter dan botol kecil bertuliskan "Trivam Propofol", coba saja lah lagipula aku tidak butuh banyak, cuma untuk menjahit lukaku sendiri. Beberapa saat aku selesai mengobati lukaku, aku merasakan aku mulai mengantuk. Tanpa kusadari aku tertidur.
Aku tidak ingat berapa lama aku tertidur, tidak ada cahaya disekelilingku. Semua gelap dan mencekam karena memang aku sendirian disini. Hawa dingin menjalar keseluruh tubuhku, kelihatannya hujan sudah reda namun hari masih gelap, yang kutahu sekarang bahuku sudah membaik walaupun masih mati rasa. Ada suara geraman yang kudengar disini. Suaranya sangat jelas, aku tahu pasti beberapa makhluk yang seperti tadi siang pasti juga ada disekitar sini. Tangan kananku menyentuh senter tadi dan langsung menyalakannya. Aku terperanjat setelah melihat sebuah wajah mengerikan. Kulit wajahnya merah, tanpa bola mata, mulut penuh lendir, tepat sejengkal didepan wajahku.