Seminggu sebelum aku menghilang ...
Sejak pertama kali masuk SMP, aku memang sering terlibat masalah dengan Dimas. Dimas adalah salah satu anggota geng 'KC', geng di SMP kami yang terkenal sebagai satu dari lima geng paling meresahkan di wilayah tempat tinggalku. Secara teknis menurutku Dimas tergolong anak yang pengecut karena hanya berani menggangguku ketika dia sedang bersama dengan anggota geng lainnya. Setiap hari dia selalu menodongku dengan sebilah pisau lipat kecil dan tak segan-segan dia akan menyayat tanganku jika aku tidak memberikan uang setoran padanya. Tak terhitung sudah berapa banyak sayatan di tanganku karena tidak memberinya uang setoran. Mau bagaimana lagi, uang yang kupunya hanya cukup untuk ongkos pulang pergi bahkan jajan saja tidak pernah. Semakin hari aku semakin tidak tahan dengan perlakuannya hingga suatu hari saat aku sedang berjalan bersama dengan sahabat baikku Jun, Dimas datang lagi bersama komplotannya bermaksud untuk merampas semua uang dan isi tas yang aku punya. Tapi kali ini aku tidak akan tinggal diam maksudku ayolah, aku tidak sudi dipermalukan dihadapan sahabatku. Dimas semakin mendekat bersama tiga orang komplotannya dan aku sudah siap atas apa yang akan terjadi.
"Woy Indra, sini setoran lu!"
"Gua nggak bawa apa apa hari ini"
"Halah banyak alesan lu. Dimas, seperti biasa bro" Ilham mulai mengeluarkan pisaunya. Ilham yang merupakan salah satu komplotan Dimas juga merupakan salah satu dari mereka yang paling kubenci karena sifat sok-nya dan merasa harga dirinya paling baik. Padahal bagiku dia sama pengecutnya dengan Dimas.
"Yoi, Ham" Dimas mengambil pisau lipat dari tangan Ilham. Bersamaan dengan itu aku melepaskan dasiku dan dengan cepat kugunakan untuk mencekik Dimas. Ilham dan dua orang lainnya sudah siap pasang kuda-kuda sementara aku sudah siap untuk menggertak mereka.
"Mundur, atau Dimas gua cekek sampe mati" mendengar ucapanku mereka malah tertawa.
"Hahahahahaha mana lu berani cong" umpat mereka padaku. Kutendang Dimas kearah mereka dan kurampas pisau lipat itu dan aku melemparnya jauh-jauh.
"Ndra, lu yakin mau ngelakuin ini?" Jun terlihat panik saat aku mulai mendekati mereka.
"Jun lu mundur sekarang dan biarin gua selesaiin ini semua untuk selamanya"
Perkelahian sudah terlanjur dimulai. Sepuluh menit berkelahi di koridor ini dan mereka kewalahan menghadapiku karena secara fisik tubuhku lebih tinggi dari mereka. Namun karena memang dasar merekanya yang anak geng, satu per satu anggota mereka yang lain mulai berdatangan lengkap dengan sabuk besi mereka yang berukuran besar-besar. Aku tidak sempat kabur karena Ilham memegang kakiku. Aku terpeleset dan dengan liar mereka mengerubungiku dan mengeroyokku. Karena kalah jumlah aku terkapar dan jadi bulan-bulanan mereka. Tubuhku terasa berat, wajahku baik-baik saja namun tubuhku penuh memar dan luka. Tanpa perlu waktu lama petugas BK datang dan meringkus kami semua. Orang tua kami pun dihubungi dan tak lebih dari sepuluh menit para orang tua datang, termasuk mama.
Para guru dan para orang tua termasuk mama mulai berdebat disana, aku hanya bisa cemberut sambil berusaha menutup telinga karena bosan mendengar argumen omong kosong mereka semua. Walaupun sebenarnya aku masih bisa mendengar hal macam apa yang mereka bicarakan sampai para guru mulai membuat keputusan. 'Aku dinyatakan bersalah?' tapi justru aku yang teraniaya disini, apa mereka sudah gila? kulihat Dimas memberi isyarat padaku dengan gerakan telunjuk di lehernya. Isyarat yang berarti dia akan mengulangi lagi perbuatannya padaku.
Aku dipulangkan lebih awal hari ini dan mama sudah diingatkan jika aku kembali terlibat masalah maka aku akan disuruh membuat surat perjanjian, sepanjang jalan mama sibuk mengocehiku dan mengatakan kalau aku selalu membuat masalah. Tanpa memperdulikan ocehan mama dari kejauhan kulihat orang tua Dimas memberikan sebuah bungkusan berwarna cokelat berisi uang dalam jumlah banyak pada kepala sekolah. Sial, mereka pakai cara licik rupanya, pantas saja malah aku yang disalahkan. Ingin kukatakan ini pada mama tapi mama sendiri tidak mau mendengarku.
Dua hari kemudian saat pulang sekolah, lagi-lagi Dimas mencegatku ditengah jalan. Merasa kebal hukum, dia datang sendirian dengan sebilah stik baseball bermaksud untuk menghajarku lagi."Tumben sendirian, kompotan lu mana atau lu pengen coba bonyok sendirian disini?"
"Banyak bacot lu!" secepat kilat Dimas mengayunkan stiknya ke rahangku hingga tersungkur, dalam keadaan terkapar lagi-lagi aku jadi bulan-bulanan Dimas. Didekat wajahku ada sebongkah batu besar. Tanpa ambil pusing aku menendang kaki Dimas hingga dia tersungkur, sebelum Dimas berdiri aku menghantam kepalanya dengan batu tadi. Darah hitam bercucuran dan Dimas sendiri tak sadarkan diri. Aku mulai panik melihatnya, kutendang jauh stik itu dan aku mengguncang-guncangkan tubuh Dimas.
"Dimas, woy cong bangun napa? Dimas !?"
Oh Tuhan, apa yang sudah kulakukan? bagaimana kalau Dimas benar-benar mati ditanganku? karena panik kuseret tubuh Dimas dan kubiarkan terkapar ditengah jalan sepi ini agar orang berpikir kalau Dimas ditabrak mobil. Aku pulang kerumah dengan penuh ketakutan, hal mengerikan ini menghantuiku selama seminggu penuh, aku sendiri masih ingat kejadian ini setidaknya sampai aku melupakannya ketika aku sudah pergi dari rumah.
***
"Bos, ada orang yang udah hajar kita pas tadi kita malakin orang-orang yang punya toko"
"Njing, cari mati tuh orang. Emang dia siapa"
"Dia pake jaket tebel trus pake topi item, itu dia orangnya"
Para berandalan yang sedang asik dilantai dua menatap kearahku yang sudah ada digerbang mall ini. Buru-buru mereka turun ke lantai dasar dan mengepungku, lalu beberapa lama kemudian si pemimpin mereka datang menghampiriku. Ternyata benar, dia orang yang sama yang selama ini sering terlibat masalah denganku.
"Halah elu lagi, lu emang nggak pernah bosen ya cari perkara ama gua. Udah sok nolongin Imam, belagu buat belain temen pengamen lu itu, sekarang pake nantangin gua. Jangan harap bisa kabur hari ini"
"Gua nggak akan kabur kali ini, karena semuanya bakal selesai hari ini"
Perkelahian pun dimulai, satu orang melawan belasan begundal jalan raya. Seisi mall ini berhamburan keluar melalui pintu darurat. Para satpam pun dibuat babak belur oleh mereka para preman pasar yang tidak ingin diganggu. Aku benar benar sendirian saat ini, terhuyung-hunyung melepaskan serangan kearah mereka akibat sekujur tubuh yang sudah hancur lebur akibat hantaman benda tumpul yang mereka bawa. Satu jam telah berlalu dan berkat sepasang linggis yang kubawa, aku berhasil menjatuhkan mereka satu per satu termasuk bos mereka. Sekuat tenaga aku berusaha berdiri menghampiri bos mereka, tangan kiriku menjambak kerah baju pimpinan preman ini dan tangan kananku mengangkat linggis bersiap untuk menghantamkannya ke wajah preman ini. Tiba-tiba aku terkejut bukan kepalang, saat aku melihat wajah preman ini dalam keadaan pasrah dan berlumuran darah, yang terlihat dimataku justru wajah Dimas yang pucat dan terlihat seperti akan mati. Astaga, lagi-lagi mimpi buruk ini kembali. Dalam keadaan panik tanganku melemah membuat linggis yang kupegang terjatuh.
Kurasakan preman ini seperti masih punya harapan untuk hidup. Kuseret preman ini ke pojokan dan aku berlari keluar meninggalkan preman ini bersama para anak buahnya sendirian didalam mall yang sudah kosong ini. Betapa paniknya aku saat kulihat keadaan diluar. Polisi, POL PP, hingga beberapa orang dengan pakaian tentara tengah menodongkan sinar laser dari senjata mereka, langsung mengarah tepat ke keningku.