Pagi hari menjelang pukul lima, seisi rumah tengah bersiap-siap untuk kegiatannya masing-masing. Termasuk pula aku yang akan berangkat mengamen bersama Bayu. Nindy sendiri tengah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Setelah selesai menikmati sarapan pagi, kami berangkat dengan peralatan masing-masing.
Aku pun mengikuti Bayu naik turun bis, dan membawakan beberapa lagu yang menurutku tidak banyak yang diketahui semua orang. Ya, lagu-lagu mancanegara yang biasa dilantunkan di MTV.
Yang membuat Bayu merasa bersyukur ialah kantong kami telah terisi dua puluh ribu dalam satu atau tiga bis, kudengar beberapa penumpang berbisik dengan mengatakan bahwa suara dan caraku bernyanyi sambil bermain gitar sangat bagus. Aku berusaha tetap tenang dan bersahabat walaupun sebenarnya aku tersipu malu --atau lebih tepatnya ge er-- atas pujian itu.
Hari telah menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah belasan bis kami naiki dan yang kami dapat selalu dua puluh ribu keatas. Kuhitung total pendapatan kami sejauh ini sudah terkumpul seratus delapan ribu. Wajar saja, sejauh ini para penumpang hampir semua yang di bis memberikan selembar uang dua hingga lima ribu. Ditambah lagi Bayu selalu memilih bis berpenumpang sesak.
***
"Alhamdulillah udah banyak. Nih, makasih ya Indra udah mau ikut bantu ngamen," ujar Bayu sembari memberikan sebagian pendapatannya padaku. Saat ini kami sedang berjalan di trotoar.
"Udah nggak usah, terima kasih. Aku seneng kok kalau pendapatan kamu kekumpul banyak hari ini," balasku menolak uang hasil jerih payah Bayu.
"Yang bener 'pendapatan kita'." Bayu membenarkan kalimatku.
"Udah itu ambil aja buat kamu, aku mau coba ngamen sendiri sekarang." Aku pun menyampirkan kembali tali gitar ke bahuku.
"Yakin berani?"
"Yakin deh, udah kita ntar ketemuan dimana?"
"Tempat biasa."
Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di Waduk Pluit, tempat kami beristirahat waktu itu. Bermodalkan informasi rute dan jurusan bis di tiap-tiap jalur, aku mulai menjambangi jalanan ini sendirian. Hingga pukul tiga sore, aku memutuskan untuk langsung ke Waduk Pluit sesuai rencana. Kulihat disana Bayu yang tengah menungguku langsung mendekatiku.
"Dapet berapa?" buru-buru Bayu mendekati kantongku.
"Delapan puluh empat, kamu dapet berapa Bay?"
"Cuma nambah dua puluh delapan, yang banyak ini hasil tadi kita barengan."
"Udah kekumpul nih seratus empat puluh, mending buat kamu semua aja."
"Kita bagi sama rata aja, nggak enak sama kamu."
"Yang lebih butuh duit ini kamu, aku baik-baik aja kok."
"Tapi ini hasil kerja keras kamu sendiri lho," pelas Bayu kearahku yang masih juga kutolak.
Setelah sibuk berdebat, akhirnya disepakati aku hanya akan ambil sepertiga dari total hasil yang terkumpul dalam sehari. Kami pulang hari ini dengan rasa syukur yang tak henti-hentinya, tiba dirumah kami menikmati makan malam bersama. Setelah menikmati makan malam aku putuskan untuk keluar rumah pergi ke suatu tempat.
"Kak Indra mau kemana?" Nindy bertanya padaku ketika aku akan membuka pintu
"Eh, kakak mau keluar bentar nyari rokok," ujarku. Padahal aku sendiri belum pernah merokok sebelumnya.
"Yaudah jangan lama-lama ya kak."
"Oke sippp."
***
Satu jam kemudian aku kembali ke rumah. Kulihat Nindy masih sibuk membaca buku cerita kesukaannya, sementara kakaknya seperti biasa naik keatas atap menikmati pemandangan langit malam. Saat aku akan naik keatas sana, Bayu menyambutku dengan perasaan tidak enak.
"Kamu yakin, nggak pa pa cuma dapet sepertiga?"
"Udahlah aku baik-baik aja kok, lagian udah dibolehin tinggal disini aja udah bagus buat aku."
"Makasih ya Indra, aku seneng kamu ada disini."
"Ada juga aku yang harusnya terima kasih ke kamu karena udah ngebolehin aku tingal disini."
"Nggak pa pa kok, lagian aku juga seneng punya saudara baru kayak kamu, eh iya apa rahasianya sih bisa dapet duit sebanyak itu?"
"Nggak ada rahasia apa apa kok, aku cuma nyanyiin aja lagu-lagu yang aku suka soalnya tiap kali nyanyi lagi favorit aku suka ampe ngehayati banget," ujarku sedikit sok sambil nyengir.
"Hahahahaha atau jangan-jangan kamu pake pelet ya?"
"Hush
! enak aja hahahaha." Setelah tertawa bersama, aku langsung heran saat Bayu tiba-tiba memperlihatkan ekspresi datarnya padaku.
"Lho kenapa?" tanyaku.
Beberapa saat terdiam, kulanjutkan kembali omonganku. "Cerita aja ada apa, kamu tau kan aku bisa kamu percayain."
Bayu pun membalas ucapanku. "Sebenarnya sih ada satu hal yang belum kamu tahu."
"Oh ya, apa tuh?" aku semakin dibuat penasaran olehnya.
"Gini, Nindy kelihatannya butuh duit buat tugas praktek ulangan minggu depan. aku masih bingung mending cari duit dimana ya selain ngamen?"
"Nindy butuh berapa emang?"
"Aku denger sih dia butuh tiga ratus ribu, kenapa emang?"
"Mungkin bagusnya untuk sementara ini duit ngamen aku buat kamu aja." Aku mengeluarkan uangku dan menyerahkannya pada Bayu.
"Tapi ...," kalimat Bayu langsung kupotong.
"Nggak pa pa, paling nggak sampai Nindy selesai ulangannya."
"Trus kamu gimana?"
"Aku kan udah bilang aku nggak pa pa, yaaa selama perut masih bisa diisi sih," tukasku mencoba melawak.
"Hahahaha, iya maaf ya kalo sebelumnya aku ngerepotin kamu."
"Halah, udah dibilangin ada juga aku yang ngerepotin kalian disini hahahaha."
Kami bergelak tawa atas obrolan hangat ini. Malam hari ini kami habiskan dengan berbagi canda tawa dibawah langit malam yang bersahabat. Beberapa lagu akustik lembut kami lantunkan menghiasi malam tenang penuh berkah ini. Sadar sudah pukul sepuluh, kuputuskan untuk tidur lebih dulu didekat Nindy sedangkan Bayu masih asik dengan gitar dan kopinya, dalam hatinya Bayu berharap agar hari esok bisa lebih baik lagi.
***
Lima hari telah berlalu, dan seperti hari pertama aku mengamen, kami selalu mendapatkan penghasilan yang menurut Bayu sudah bisa dibilang jauh diatas rata-rata. Semakin banyak pula lagu-lagu yang awalnya tidak diketahui Bayu kini bisa dia lantunkan setelah belajar sedikit padaku.
Namun dua hari sebelum Nindy ulangan, tiba-tiba kami tertimpa masalah. Ya, satu masalah pertama yang kuhadapi disini. Masalah yang aku sendiri tidak mengira akan terjadi seperti ini. Saat Bayu menungguku di Waduk Pluit seperti biasa, tiba-tiba segerombolan preman menghadangnya.
"Heh lu yang biasanya ngamen di Senen kan? sini duit lu
!" palak preman itu.
"Tapi duit ini ... ."
"Banyak bacot lu njing!"
Salah satu dari mereka mulai menendang Bayu, dan pengroyokan atas dirinya pun tak bisa dihindari lagi. Walaupun Bayu juga terkenal ahli berkelahi, namun yang namanya 'kalah jumlah' tentu saja akan kalah juga pada akhirnya. Bayu sudah berusaha mati-matian melindungi hasil ngamen kami selama lima hari terakhir, namun pada akhirnya uang itu berhasil direbut juga oleh mereka.
Aku baru datang lima belas menit kemudian, dan ketika aku melihatnya terkapar dan kesulitan berdiri, aku terkejut dan langsung menghampirinya.
"Bay, kamu nggak pa pa?" Aku melingkarkan lengannya ke leherku.
"Iya aku nggak pa pa tapi duit kita dirampok sama anak-anak preman."
"Maaf Bay, harusnya aku dateng lebih cepet. Oke, kita bahas lagi di rumah."
"Lha trus nanti gimana?"
"Pikirinnya nanti aja."
Karena aku lebih khawatir pada kondisi Bayu saat ini kuputuskan untuk pulang saja dulu. Berharap setibanya di rumah aku bisa menemukan ide bagus untuk menutupi kekurangan uang biaya untuk Nindy nanti.