Aku bersandar di salah satu rak ini. Buku Genesis tua ini masih dalam genggamanku. Paman Corey sudah tahu semua seputar nephilim, bahkan mengenal mama papa dan om tante.
"Bagaimana paman bisa tahu banyak semua ini? bagaimana cerita ketika paman kenal dengan keluarga Gabriel?"
Mendengar ucapanku, paman mulai mendekatiku, ikut bersandar di sisi kananku. Kepalanya mendongak keatas, matanya menerawang membayangkan kenangan-kenangannya yang berloncatan dalam pikirannya lalu diberikannya ingatan itu melalui apa yang mulai ia ceritakan padaku.
"Waktu itu paman masih bersekolah di SMA kristen diluar kota. Saat itu paman masih belum percaya dengan makhluk-makhluk fantasi seperti nephilim atau semacamnya. Sampai saat paman pulang sekolah, paman diserang oleh salah satu iblis. Lalu Tante Ve dan mama kamu datang nolongin paman dan membunuh iblis itu. Meski begitu, Tante Ve dan mama'mu terluka berat sehingga paman membawa mereka ke sebuah biara untuk wanita didekat rumah paman dan paman menyarankan mereka untuk menginap sebentar sampai mereka sembuh. Paman juga semakin akrab dengan mereka selama mereka dirawat."
"Lalu apa yang terjadi sesudahnya?"
"Ketika mereka mulai sembuh, dua orang pria datang ke rumah paman bermaksud untuk mengajak Tante Ve dan mama untuk pulang. Yaitu Arthur dan papa kamu, Clementine. Itu terakhir kalinya paman ketemu mereka saat itu. Paman tidak pernah lagi melihat mereka hingga lima bulan kemudian ada kejadian di pinggir kota dimana tante dan mama kamu diserang oleh sekelompok orang-orang yang kerasukan iblis yang merupakan anak buah Satan. Saat itu paman datang dengan membawa air suci untuk membersihkan tentara iblis itu. Sejak kejadian itu paman jadi akrab lagi dengan mereka. lama kelamaan paman menyadari kalau tante ve dan mama kamu itu bukanlah manusia tapi malaikat, terutama setelah paman sempat melihat mama dan tante kamu merentangkan sayap lebar mereka. sejak itulah paman sepakat untuk lebih mempelajari ilmu agama, sampai saat mereka menikah pun paman masih akrab dengan mereka. Sampai saat paman mengetahui kalau mama dan tante sudah menikah, paman berkunjung dan menengokmu saat kamu masih sebagai bayi baru lahir. dari situ paman mengusulkan nama 'Gabriel' untukmu."
Mendengar itu semua aku tertegun. Ternyata selama ini mama benar-benar mencoba melindungiku, karena mama mengira akulah si Gabriel yang diramalkan akan memimpin pasukan malaikat. Aku masih tidak percaya, apa memang benar akulah orangnya karena paman bilang sejauh ini masih ada perdebatan seputar si Gabriel ini. Tapi jika benar akulah orangnya artinya memang selama ini tujuan mama merahasiakan ini adalah untuk mempersiapkanku menjelang saat dimana aku akan memenuhi takdirku.
"Entahlah paman, mungkin mama salah orang. Sepertinya si Gabriel ini adalah Gabriel yang lain dan bukan aku."
"Mungkin pencarian si Sang Terpilih ini masih jadi perdebatan, tapi jika seandainya memang kamu orangnya, paman pikir kamu harus memaafkan mama dan papa atas apa yang sudah mereka sembunyikan darimu karena yang mereka lakukan adalah untuk kebaikanmu sendiri."
Aku menghela nafas panjang. Aku masih tidak percaya, pada semua ini dan pada diriku sendiri. Namun aku mulai mau menerima kenyataan bahwa inilah yang ingin Sevilla sampaikan padaku selama ini lewat mimpi.
Semalam suntuk aku bermalam di perpustakaan ini bersama Paman Corey, mencoba mencari kejelasan atas semua misteri ini. Sejauh ini ada beberapa pertanyaan yang sudah terjawab dan sebagian jawabannya membuatku terhenyak. Waktu telah menunjukkan pukul 7 pagi, dan tiba waktunya bagiku untuk pulang.
"Paman, ada satu tempat yang ingin Gabriel kunjungi sebelum pulang."
"Oh silahkan, mau paman temani?"
"Boleh."
Ada sebuah pemakaman kota tepat beberapa meter dibelakang gereja. Paman menemaniku untuk mengunjungi satu makam. Dan dengan membawa setangkai mawar merah, aku berlutut didepan makam itu dan meletakan mawar ini di batu nisannya dengan mata berkaca-kaca. Sevilla Johansson, nama dan sosok itu akan selalu kukenang selamanya. Kutatap sekelilingku, sinar mentari pagi yang cerah terlihat menyinari sekelilingku diantara rindangnya pepohonan. Cuaca masih dingin dan bersalju namun setidaknya lagit terlihat cerah hari ini.
"Terima kasih paman, karena sudah mau memberikan jawaban yang Gabriel mau. Walaupun sebenarnya mungkin masih ada pertanyaan yang ingin Gabriel tanyakan." Aku berujar dengan wajah sedikit menunduk. Paman hanya tersenyum mendengarnya.
"Paman senang bisa bantu kamu. Dan kalau perlu apa-apa, mampir saja lagi kesini."
"Baik paman, sepertinya Gabriel harus pulang sekarang."
"Silahkan, dan saat natal nanti jangan lupa mampir ke gereja ya."
Aku tersenyum melihat wajah tua Paman Corey yang terlihat ramah. Pendeta ini punya segalanya yang kubutuhkan, termasuk figur seorang paman yang baik. Aku mulai melangkah menjauhi pemakaman, kulihat di kejauhan sana Paman Corey berdoa didepan makam Sevilla.
Perjalanan pulang ini terasa singkat walaupun sudah tiga kali naik turun bis. Dan begitu aku tiba di halaman depan rumahku, kulihat disana mama papa dan om tante tengah asyik mengobrol di teras depan. Spontan mereka mendekatiku yang terlihat pucat karena kedinginan.
"Kamu nggak pa pa kan nak?" tanya mama yang khawatir. Aku hanya mengangguk dengan senyum yang dipaksakan.
"Udah kamu dapetin semua jawaban yang kamu butuhin disana?" Om Arthur tersenyum melihatku yang sudah pulang.
"Iya om, semuanya." Ekspresiku masih terlihat datar.
"Mama minta maaf ya, nak. Mama ngelakuin ini ..." kalimatnya terpotong saat aku bicara.
"Mmm ma, nggak pa pa kok. Gabriel ngerti kalo ini untuk kebaikan Gabriel sendiri. Ini bukan salah kalian, dan Gabriel berharap disurga sana Sevilla juga mau maafin kalian." senyum simpul mulai merekah di wajahku. Mereka terlihat senang mendengarnya sampai aku berjalan perlahan memasuki rumah.
"Mah, pah, om, tante, ... bangunin Gabriel ya kalo makan malemnya udah siap." mereka mengangguk dan tersenyum.
Rasa kantuk mulai menghinggapiku. Tiba didalam kamar, aku berdoa didepan fotoku bersama Sevilla. Foto pernikahan kami.
"Tuhan di surga, terima kasih atas jawaban yang telah Kau berikan padaku. Dan terima kasih atas apa yang pernah Kau berikan padaku yaitu istri yang baik dan penyayang. Lindungilah dia dalam pelkanmu hingga hari akhir nanti dan pertemukanlah kami kembali jika dia memang benar jodohku diakhirat kelak. Namun jika ternyata bukan, izinkan anak-Mu ini untuk membahagiakan jodohku yang sebenarnya jika Kau berkenan untuk mempertemukan kami didunia ini. Terima kasih atas keluarga yang telah mendampingiku selama ini termasuk keluargaku di kampus. Kuatkan aku untuk menghadapi sesuatu yang akan terjadi nanti, dan bangkitkan aku kembali jika aku terjatuh. Dalam namamu Tuhan, Amiin ..."
Aku melangkah menuju ranjangku, Piper juga ikut berbaring disampingku yang sudah terlelap di ranjang. Sinar mentari mulai terik, namun kuputuskan untuk tidur sekarang juga dan bangun lagi nanti saat sudah malam.