We wish you a merry Christmas, We wish you a merry christmas, We wish you a merry christmas ...
And happy new year ...
Astaga sial, baru jam empat pagi dan ringtone lagu natal di handphone-ku sudah berdering saja. Aku tahu kalau ini hari natal, tapi setidaknya jangan membangunkanku terlalu pagi dengan menelponku. Apalagi semalam aku tidak bisa tidur nyenyak, walaupun harus kuakui selimut tebal dan nyaman ini lumayan juga untuk mendatangkan kantuk, saking nyamannya.
"Ya siapa ini?" ujarku ketus setelah kutempelkan handphone ini ke telinga kananku.
"Selamat natal, Gabriel." suara pria yang terdengar ramah dan ceria menjawabku diseberang sana. Astaga, sudah lama aku tidak mendengar suara itu sejak aku menikah dengan Sevilla.
"Richard McAllister? Hey udah lama kita nggak saling mengobrol. Selamat natal juga dan kemana aja kau selama ini?" balasku riang. Richard atau yang biasa kusapa Mackey ini adalah teman SMA-ku dulu. Nephilim? Bukan, aku mengenalnya dengan baik sejak kami satu SMP dulu dan yang pasti dia itu manusia biasa.
"Biasa, keliling tempat nyari kerjaan, walaupun sekarang udah punya usaha sendiri. Kau dan Sevilla sendiri, gimana kabar kalian? si kecil udah lahir?" kurasa dia belum tahu kalau banyak yang berubah dalam hidupku sejak kami tidak saling bertemu.
"Mungkin bagusnya kita cari tempat ketemuan, sekalian jalan-jalan pagi di hari natal."
"Oke, gimana kalau kita cari gereja dulu. Abis itu baru jalan-jalan ke mall."
"Gereja ya? Saint Nathaniela di pusat kota, gimana? ada perayaan Misa disana pagi ini."
"Ide bagus, kita ketemuan disana jam setengah tujuh."
"Siap." tutup-ku tegas dan riang. Oke, setidaknya aku 'dibangunkan' oleh orang yang tepat, sehingga kekesalanku tadi lenyap begitu saja. Aku pun langsung turun ke beranda depan rumahku dan kulihat disini ada banyak anak-anak yang bermain 'lempar bola salju'. Mama dan Tante Ve sendiri sedang asyik ngobrol dengan beberapa tetangga di teras.
"Gabriel, mau kemana?" Tante Ve menyapaku begitu dia melihatku memasang sepatu bot.
"Ke gereja lah, tante. Ini kan natal, sekalian nemuin temen lama disana. Emang kenapa?" kalimatku langsung dijawab oleh Tante Clarence, salah satu tetangga yang ikut 'ngobrol' disini.
"Boleh sekalian ajak Rebecca nggak? tante-tante disini lagi ada urusan khas ibu-ibu." ujarnya dengan gaya khas ibu-ibu tukang rumpi. Rebecca adalah putri bungsunya yang masih kecil. Kulihat Rebecca menatapku dengan tatapan -si om ini mau kemana emangnya?-.
"Boleh, tante. Ayo Becca, kita jalan-jalan ke gereja." ujarku dengan tatapan -jangan takut kok, om nggak bakal macem-macem sama kamu- lengkap dengan senyum khasku. Aku pun menggandeng tangan kiri Rebecca dengan tangan kananku. Setelah perjalanan panjang, aku pun tiba di Gereja Saint Nathaniela dengan Mackey yang sudah menyambutku didepan gerbang gereja.
***
"Wah bung, aku ikut prihatin mendengarnya." setidaknya itulah yang dikatakan Mackey setelah mengetahui kalau Sevilla sudah meninggal.
"Ya makasih, paling nggak om sama tante masih bisa akrab. Apalagi sekarang mereka udah kuliahin aku ke Kampus Santa Evangelina."
"Jadi ... sekarang kamu bener-bener yakin mau ambil S1?"
Tiba-tiba aku tertegun, aku belum memberitahu Mackey soal kampus baruku dan soal siapa aku sebenarnya. Aku mulai bingung apa aku harus bicara padanya atau tidak usah, dan sekarang aku mulai sadar kalau cepat atau lambat pasti Mackey akan tahu. Bagaimana aku akan menjelaskannya saat itu terjadi?
"Nggak tau juga sih, aku ngerasa kayaknya Santa Evangelina nggak kayak kampus swasta kebanyakan deh."
"Emang kenapa? disana banyak setan? ha ha ha." gelak tawa Mackey membuat perutnya turun naik.
"Dah ah jangan dibahas, kita kemana nih bagusnya? acara Misa kan udah selesai." tanyaku saat menyadari kalau aku dan Mackey dari tadi mejeng di jembatan penyebrangan setelah acara di gereja selesai lima belas menit lalu.
"Ke mall yuk. Cari apa aja yang bisa dibeli, mumpung banyak duit nih." ujar Mackey dengan seringai konyolnya.
"Yaudah hayo, sekalian cari makanan ya buat Becca." kini kami berjalan sejajar. Aku memegang tangan kiri Rebecca dan Mackey memegang tangan kanannya. Suasana disini lumayan ramai dan sinar mentari juga terlihat cerah, walaupun saat ini salju semakin tebal dan cuaca semakin dingin.
Harus kuakui pagi ini terasa lumayan berkesan. Aku, Rebecca dan Mackey keliling dari satu lantai ke lantai lainnya mencari sesuatu yang mungkin bisa dibeli. Handphone, Buku, Headphone, Tab atau apa saja barang-barang lainnya. Aku sendiri sedikit merasa lucu, padahal kami ini pria namun cara kami berbelanja sudah seperti wanita saja.
Tidak hanya berbelanja, kami juga bermain di arcade ataupun mencari makanan hangat dari tadi. Saat ini kami sedang duduk di bangku istirahat sambil menikmati makanan, tepatnya di lantai dua. Setidaknya itulah yang kami lakukan sampai aku merasa kalau ada 'seseorang' atau mungkin 'sesuatu' yang mengawasiku sejak tadi.
"Heh kenapa?" Mackey menepuk bahuku sementara Rebbeca menatapku dengan heran.
"Kayaknya dari tadi ada yang ngawasin kita dari jauh, deh."
"Siapa?" tanya Mackey sembari celingak-celinguk ke segala arah. Aku dan Rebecca sendiri ikut mengawasi sekitar kami hingga aku melihat seperti ada sekelebat bayangan yang bergerak cepat menuju sebuah lorong, sepertinya itu lorong untuk pegawai kebersihan di mall ini.
"Mack, tunggu disini bareng Becca." ujarku lalu berjalan mendekati lorong itu.
"Heeh mau kemana!?" tanpa memperdulikan suruhanku, Mackey dan Rebecca mengikutiku dari belakang. Aku sendiri sudah berdiri didepan lorong dan tidak ada siapapun disini selain dua orang tukang pel lantai. Kurasa aku hanya salah lihat tadi, hingga tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan seisi mall.
DUARRR...