Suara ledakan itu membuat seisi pengunjung mall berhamburan mendekatiku. Lorong pegawai kebersihan didepanku kini terlihat setengah hancur. Dua pegawai yang tadi kulihat sedang asik mengepel, kini terkapar tak sadarkan diri.
"Gabe, kamu nggak pa pa?" Mackey dan Rebecca mengerubungiku yang dalam keadaan terkapar, berharap aku baik-baik saja.
"Mereka disini?" ujarku dengan suara kecil saat Mackey menatap wajahku.
"'Mereka'? Siapa itu 'mereka'?" mendengar pertanyaan Mackey, aku memutar kepalanya kearah yang sedang kutatap.
Tiga orang iblis muncul dari bekas ledakan tadi, membuat seisi pengunjung berhamburan menyelamatkan diri saat salah satu dari mereka mencoba menyerangku dengan tombak pike mereka. Tombak panjang itu meninggalkan bekas hancur di lantai dan untungnya aku cepat berkelit sebelum senjata itu menembus wajahku.
Beberapa satpam mulai mendekati tiga iblis itu, mencoba menyelamatkanku. Namun jelas mereka bukan tandingan tiga iblis kuat itu. Seisi mall semakin riuh, berusaha keluar dari mall dalam keadaan panik, termasuk Rebecca yang nafasnya mulai tak beraturan.
"Mack, bawa Becca jauh-jauh dari sini!"
"Kamu sendiri gimana."
"Mereka cuma ngincar aku. Tunggu di luar mall, nanti aku susul."
"Tapi kenapa? tau dari mana kalo mereka ngincar kamu?"
"Nanti aku jelasin, PERGI !!!"
Dengan panik, Mackey menggendong Rebecca berlari menuju tangga darurat bersama para pengunjung yang tengah berdesakan. Sementara aku disini bersama lima orang satpam tengah mengepung para iblis ini. Batinku mulai ragu, apa iya aku harus mengeluarkan bola cahaya archangel disini dihadapan lima satpam ini, apalagi aku masih belum bisa menggunakannya dengan benar? Terakhir kali aku melakukannya, aku langsung pingsan dan berakhir dalam keadaan terkapar di rumah Deryck.
***
Para satpam mulai mencoba menghajar tiga iblis itu, namun satu per satu dari mereka tumbang. Tinggal aku yang terakhir, aku berusaha sebisanya menghindar dari mereka. Aku berlari menaiki eskalator demi eskalator hingga aku tiba di lantai teratas.
Di lantai ini semua sepi, para pengunjung sudah turun ke lantai dasar melalui tangga darurat. Sialnya lagi tidak ada satpam atau siapapun disini. Mereka bertiga sudah terlanjur mengepungku. Membuatku terpojok di pinggir kaca besar. Aku baru sadar kalau disini adalah lantai sepuluh. Jika aku memecahkan kaca dibelakangku dan langsung meloncat, artinya aku akan langsung terjun bebas menuju permukaan beton yang ditutupi salju dibawah sana.
"Tidak ada gunanya melarikan diri." suara menggeram iblis itu mulai meluncur dari tenggorokan mereka.
"Kalian mau apa?" balasku.
"Kami diperintahkan untuk menjalankan misi agar ramalan itu tidak terwujud."
"Ramalan apa?"
"Tuanku Sammael memerintahkan kami untuk membunuh keturunan laki-laki ke lima puluh dari tiap-tiap keluarga darah murni (anak dari keturunan langsung para malaikat) yang masih hidup saat ini."
"Ya, dan kalian belum menjelaskan padaku ramalan apa yang kalian bicarakan." sergahku.
"Para anak laki-laki darah murni yang lahir dari generasi ke lima puluh adalah para anak-anak pilihan. Mereka semua disebut-sebut mewarisi darah sang Saint Gabriel, si pemimpin Archangel yang termahsyur itu. Satu dari mereka diramalkan akan memimpin bala tentara surgawi dalam perang besar yang akan berlanjut antara malaikat melawan kami. Kami tidak tahu siapa dari mereka yang disebut sebagai 'sang terpilih', karena itu kami melakukan tindakan pencegahan dengan menghabisi mereka semua satu per satu sebelum kekuatan mereka sempurna."
"Lalu apa yang membuat kalian berpikir kalau aku adalah salah satu dari mereka."
"Ada ciri khusus yang hanya dimiliki oleh 'sang terpilih'."
"Ciri khusus macam apa?"
Aku terkejut ketika bola cahaya yang waktu itu muncul lagi -secara refleks-, kembali mengerubungiku seperti saat aku berkelahi dengan anak-anak dari jurusan The Powers. Mereka semakin terkekeh-kekeh menatap wajah kebingunganku.
"Magen Ha-Kaddosh Sigillum?" ujar salah satu iblis itu yang terkejut dengan bola cahaya yang mengerubungiku.
"Tidak salah lagi, kau lah orangnya!" timpal iblis lainnya dengan seringai mereka yang menyorot kearahku.
Mereka bertiga langsung mengeluarkan kembali tombak pike mereka masing-masing. Ujungnya yang tajam diarahkan mendekati wajahku. Rasa panik yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terpeleset dan menabrak kaca dibelakangku hingga pecah. Alhasil, aku langsung menutup wajah dengan tanganku begitu aku sadar kalau aku baru saja terjun bebas dari ketinggian seratus empat puluh kaki langsung menuju permukaan beton dibawah sana.
Bersambung ...