Sudah delapan belas detik aku menutup wajahku, dan aku masih belum merasakan kalau aku akan membentur beton dibawah sana. Aku mulai heran, beberapa orang damkar berhasil menangkapku atau apa? Perlahan aku mulai membuka wajah dan mataku. Aku mulai terheran-heran dengan apa yang kulihat ini.
Kendaraan-kendaraan, pohon di tiap-tiap pinggir jalan, bangunan-bangunan kecil, semuanya berada dibawah tubuhku dan kurasakan seolah aku bergerak melalui mereka bukan menukik kearahnya. Orang-orang dibawah sana terheran-heran melihatku bergerak cepat diatas mereka. Aku sendiri juga mulai merasakan sesuatu yang sekarang terasa lebih besar dari biasanya, sesuatu yang berada dipunggungku.
Dugaanku benar, sepasang sayap hitam besar terentang dengan gagah dibelakang tubuhku. Aku bisa merasakan bulu di ujung sayapku seolah aku seperti merasakan ujung jari tanganku sendiri, walaupun sebenarnya aku masih agak kaku dalam mengepakkan sayap ini.
Tiga iblis di mall tadi mulai meloncat dari tempatku terjatuh tadi. Sayap mereka mulai terentang lebar berusaha terbang secepatnya untuk mengejarku. Kurang dari satu menit, mereka sudah berada lima puluh kaki dibelakangku. Aku sedikit tertegun melihat mereka dibelakangku. Ternyata ada juga jenis iblis yang sayapnya berbentuk seperti sayap elang, persis seperti sayap malaikat dan nephilim pada umumnya.
"Hm, iblis pun bisa bersayap anggun juga ya?" gumamku sinis. Sayap para iblis itu berwarna hitam dengan alur berbentuk retakan berwarna emas menyala seperti lahar di permukaan sayapnya. Selaras dengan tubuh mereka.
Tombak mereka menembakkan cahaya merah, beberapa kali tembakan itu nyaris mengenai tubuhku. Salah satu tembakan itu mengenai bahu kananku, meninggalkan bekas robek dan sedikit luka. Gerakan sayapku masih tidak beraturan walaupun tiga iblis dibelakangku sudah tertinggal jauh. Ada sebuah jembatan penyebrangan jalan diantara lebatnya pohon-pohon disini, ah ya ternyata aku sudah berada jauh dari pusat keramaian. Aku mendarat dengan selamat ketika banyak orang-orang termasuk beberapa polisi mulai berkerumun dijembatan ini, sebagian diantaranya mencoba naik keatas jembatan untuk melihatku, -dengan sayap masih terlihat jelas-. Diantara kerumunan itu, terlihat Mackey yang masih menggendong Rebecca berhasil menerobos kerumunan dan menatapku dengan tatapan terhenyak.
"Tadi kamu bilang mau jelasin sesuatu, apa termasuk ini juga?" tanya Mackey datar sambil menunjuk sayap besar dibelakangku. Aku hanya terdiam dengan tatapan kosong.
Tiga iblis yang tadi mengejarku mendarat dengan keras, membuat semua orang di jembatan ini terkejut olehnya. Sudah tahu kalau iblis-iblis ini hanya mengincarku, Mackey dan Rebecca ikut kabur bersama kerumunan lainnya yang mencoba turun dari jembatan ini.
"Sebaiknya jangan coba-coba lari lagi!" tepat setelah iblis itu selesai membentak, aku kembali mengepakkan sayapku dan terbang lagi meninggalkan jembatan ini. Tentu saja tiga iblis itu kembali terbang mengejarku.
Senyum lebar kembali merekah di wajahku, haus kuakui rasanya menyenangkan bisa terbang dengan sayap sendiri. Semua yang dibawah sana terlihat kecil dari atas sini, dan semilir angin sejuk bercampur dengan butiran salju kecil menerpa wajahku. Kini aku sudah berada di sebuah hutan lebat di pinggir laut, tidak jauh dari pelabuhan tempat aku bersama Tante Ve dan Om Arthur berlabuh waktu itu.
Sesaat aku merasa tenang karena tiga iblis tadi tertinggal sangat jauh dibelakang sana, hingga tiba-tiba sayapku mengecil dan kembali berubah bentuk menjadi tonjolan pipih dibelakang punggungku. Spontan aku terkejut saat aku menukik cepat kebawah lalu tercebur ke air laut yang dingin. Aku berusaha sebisanya menyelam ke daratan walaupun tubuhku mulai terasa akan membeku, karena jika aku berenang ke permukaan, pasti para iblis itu akan lebih mudah untuk memburuku.
"Gabe ... !!!" Mackey dan Rebecca mendekatiku dari balik pepohonan saat dilihatnya aku merangkak keluar dari air mencoba mendekati mereka dengan tubuh menggigil.
"Kita ... pulang ... ke ... rumah ... sekarang." ucapku terbata-bata.
"Ya, dan harus diam-diam, jangan pancing perhatian mereka." bisik Mackey membalasku sambil mendongak keatas langit. Tiga iblis tadi berputar-putar diatas sana sementara kami bergerak menjauh secara sembunyi-sembunyi diantara pepohonan.
Tiba dirumahku, aku disambut oleh beberapa orang di lingkunganku termasuk mama papa dan om tante. Mereka mengerubungiku dengan terkejut saat dilihatnya aku pulang dalam keadaan nyaris membeku sempurna.
"Gabe, kamu kenapa?" ujar Tante Clarence terkejut sambil mengambil Rebecca dari gendongan Mackey. Aku terdiam, sensasi membeku di tubuhku membuatku malas untuk menggerakkan mulut.
"Eh, tadi kita main ke pinggir laut terus Gabriel kecebur." Balas Mackey cepat-cepat. Mama mulai menyuruh orang-orang disini untuk bubar termasuk Tante Clarence yang kembali pulang bersama Rebecca. Aku mengedipkan mata kananku kearah Rebecca dan dibalasnya dengan anggukan, kuharap Rebecca tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya pada ibunya.
"Sayap kamu udah tumbuh ya?" bisik Om Arthur saat dilihatnya pakaianku terdapat dua bekas robek di punggung dan satu bekas luka di bahu kanan.
"Oke, om om tante tante. Jadi apa yang selama ini Mackey nggak tau?" ujar Mackey pelan. Kami pun masuk kedalam rumah untuk menghangatkan diri.
***
"Wow tadinya Mackey ngira yang kayak gini cuma ada di novel-novel fiksi." ujar Mackey saat kami berkumpul di ruang keluarga. Kami duduk melingkar didekat perapian sembari menikmati minuman hangat. Kuseruput cangkirku dengan perlahan, sekujur tubuhku terbalut selimut hangat.
"Ya, tapi memang gini kenyataannya. Kaum kami sebenarnya masih dalam situasi perang dengan para musuh Bapa." Tante Ve menjawab ucapan Mackey.
"Jadi mulai sekarang Gabriel nggak boleh lagi keluar terlalu jauh dari rumah sampai awal semester dua. Sayap yang baru tumbuh nggak ngebuktiin kalo dia udah siap." Tegas mama pada Mackey. Nada egois itu terasa menusuk ke jantungku.
"Ma, tapi ini kan masih liburan nat..."
"Pokoknya nggak boleh!" bentak mama kearahku. Keterlaluan, aku jadi merasa seperti bayi baru lahir yang harus dijaga ekstra ketat.
"Kadang Gabriel nggak ngerti apa mau mama. Dulu mama rahasia'in kenyataan ini dari Gabriel, dan sekarang Gabriel bahkan nggak boleh lagi jauh-jauh dari rumah selama lima minggu terakhir kedepan." ujarku merengek sambil beranjak menjauhi mereka, mengayunkan sepasang kakiku penuh geram kearah anak tangga, naik menuju kamarku di lantai atas.
"Gabriel bukan anak kecil lagi." ujarku menutup obrolan memuakkan ini, lalu berjalan menaiki tangga.
"Gabe ... Gabe ... !" Mackey mengikutiku menaiki tangga.
***
Didalam kamar, Mackey duduk disampingku yang tengah bersandar di pinggir kasur. Dilihatnya aku tengah menatap foto pernikahanku dengan Sevilla.
"Kangen Sevilla heh?" tanyanya mencoba mengawali obrolan.
"Iya, dulu waktu masih hidup, Sevilla biasanya jadi satu-satunya yang setuju dengan apapun keputusan yang aku ambil. Aku tau mungkin dalam hatinya pasti pernah sekali dua kali merasa nggak setuju sama salah satu keputusanku, tapi dia selalu bilang kalau dia setuju hanya karena dia itu istriku. Sekarang sejak dia udah nggak ada, aku ngerasa hidup ini udah nggak asik lagi, apa-apa dikekang."
"Heeh, mereka punya maksud baik buat lindungin kamu. Nantinya kan kamu bakalan ikut maju ke garis depan, jadi sampai saat itu tiba mereka harus persiapin kamu sebagus mungkin."
"Dengan ngurung aku didalam kamar?"
"Hey, aku bisa dateng kesini kapan aja kamu butuh. Nggak perlu keluar rumah buat nikmatin malam tahun baru nanti. Gimana?" Aku mendengus dengan simpul di bibir yang kupaksakan, lalu beringsut dari tempatku duduk meninggalkan Mackey disini untuk ke kamar kecil.
"Boleh nanya sesuatu, Gabe? diantara banyak malaikat dibumi yang bisa aja ada disana juga, kenapa cuma kamu yang mereka incar?" mendengar pertanyaan itu, aku menatap mata Mackey dalam-dalam.
"Aku adalah Archangel."