-Jasmine POV-
Warna hitam diatas langit perlahan bergeser pasti ke arah barat, seiring warna biru yang mulai meninggi di ufuk timur. Suasana disini masih membeku akibat salju yang menggunung diluar sana. Kakakku dan teman-temannya masih terlelap menikmati mimpi mereka dalam nyamannya kasur hangat di pagi hari. Jarum jam sudah menunjukkan angka 6:00, hari ini adalah natal H+2 dan setelah kami merayakan natal, kembali kami berurusan dengan waktu bersantai kami masing-masing. Teman-teman kakakku memilih untuk berlibur disini sampai awal semester dua mereka, dan saat itu terjadi, artinya aku akan menjadi mahasiswa baru disana dan menjadi junior mereka.
Meski saat ini suasana masih terasa normal, namun kurasakan dalam relung hatiku kalau masih ada yang kurang disini. Satu orang, Gabriel. Entah hanya perasaanku saja atau memang ada dari dirinya yang memunculkan rasa ketertarikanku. Memang sebelumnya aku sudah pernah menjalin kasih dengan beberapa pria, namun Gabriel ... dia berbeda. Terasa ada yang istimewa pada duda muda itu. Aku merasakan kalau kami seperti sudah pernah bertemu sebelumnya. Tapi yang pasti, terasa seperti ada warna tersendiri saat dia masih disini, dan sejak dia kembali ke tempat asalnya, suasana disini kembali abu-abu, untukku sendiri.
Lamunanku buyar oleh suara bising ringtone hp-ku. Kutatap satu nama yang tercetak di layar, mau apa dia menelponku sepagi ini?
"Hallo, Martha? ada apa?" ujarku pada wanita sahabat baikku diseberang sana.
"Jassie, nyalakan TV-mu dan buka channel nomor 8. Cepat!" balasnya cepat-cepat.
"Tunggu sebentar." responku sembari mencari-cari remote tv. Televisi menyala dan terlihatlah sebuah berita terkini disana.
"... pihak kepolisian masih belum mengkonfirmasi kebenearan dan keasliannya, dan masih terus menyelidiki sebuah video amatir yang memperlihatkan seorang pria yang ditaksir berusia sembilan belas tahunan yang memiliki sayap dibelakang punggungnya. Dalam video tersebut juga diperlihatkan penampakan tiga sosok yang diyakini sebagai iblis bersayap. Ketiga iblis ini mencoba terbang mengejar si pria dan kemudian mereka menghilang disekitar..."
Cepat-cepat kumatikan televisi-ku, karena aku sudah tahu maksud dari berita itu. Aku hanya tidak mau kakakku dan yang lainnya menonton berita ini.
"Bagaimana menurutmu Jassie? tidakkah kau pikir itu aneh?" ucap Martha lagi.
"Eh ... ya aku harus menelpon seseorang, sudah dulu ya." ujarku secepatnya dan langsung menutup teleponku tanpa memperdulikan apa yang dikatakan Marta.
Oh Tuhan, para iblis itu mengejar Gabriel. Apa dia baik-baik saja atau terjadi sesuatu? Secepatnya kutekan urutan nomor telepon Gabriel, berharap dia baik-baik saja saat ini.
"Ayolah Gabe, cepat angkat ..." gumamku sembari menggigit bibir bawah ketika suara nada tunggu mendarat di telinga kananku.
"Hei Jass ... ada apa?" suara pria diseberang sana terdengar serak.
"Hai Gabe, aku hanya ... tunggu, kau baik-baik saja?"
"Ya aku baik-baik saja. Memangnya ada perlu apa?"
"Tidak, aku hanya ingin bertanya padamu dan itupun kalau kau mau menjawabnya."
"Oke tanyakanlah."
"Aku tadi melihat berita di TV tentang kemunculan sosok pria dengan sayap dipunggungnya. Pria itu dikejar-kejar tiga iblis. Aku sudah tahu kalau itu pasti kau ... jadi aku menelponmu hanya untuk memastikan apakah kau baik-baik saja."
Setengah menit berlalu dan tidak ada jawaban diujung sana. Padahal sejak tadi tidak ada nada panjang, tanda sambungan diputus. Aku khawatir Gabriel tersinggung dengan pertanyaanku. Hingga saat aku akan bicara lagi, diujung sana Gabriel mulai meresponku.
"Jas, dimana kau akan merayakan tahun baru?"
"Ingat pasar pinggir laut tempat kita bertemu setelah aku pergi melaut? tidak jauh disana, ada sebuah padang rumput tempat orang-orang biasa berkemah. Aku bersama kakak dan teman-temannya akan merayakan tahun baru disana karena ditempat itu saljunya tidak begitu tebal."
"Kau serius?"
"Ya tentu, memangnya kenapa? kau sendiri akan merayakannya dimana?"
"Kau akan tahu nanti. Baiklah selamat natal, puteri cantik." pamitnya sebelum menutup telepon.
"Selamat natal juga, pangeran tampan" balasku dalam hati, dengan wajah yang merah merona karena tersipu.
***
Selama empat hari, aku hanya berdiam diri di rumah dan menghabiskan waktu dengan membaca buku. Walaupun masih ada waktu beberapa bulan lagi sebelum waktunya kuliah, namun aku ingin mempersiapkan diriku sebaik dan sedini mungkin. Karena kupikir ini akan membuat Gabriel terkesan, apalagi tekadku sudah bulat untuk masuk ke Kelas Archangel walaupun sebenarnya nilai akhirku di SMA lumayan besar dan cukup untuk membuatku diterima di Kelas Lingkup Pertama.
"Aku harus berjuang sebaik mungkin. Ini semua bukan untuk keluargaku ataupun untuk diriku sendiri. Ini semua untuk Gabriel." bisikku dalam hati. Aku tahu ini terdengar konyol, tapi sepertinya aku tidak bisa lari dari kenyataan bahwa aku mulai jatuh cinta pada Gabriel.
-Tanggal 31-
"Jasmine, ayo kita berangkat!" ujar Jace di lantai bawah. Jace dan teman-temannya sedang mempersiapkan segala yang diperlukan karena sebentar lagi kami akan berangkat untuk merayakan malam tahun baru. Dan tentu saja aku akan ikut bersama mereka.
"Iya tunggu sebentar." balasku sambil mempercepat gerakanku. Karena tidak banyak yang kubawa, jadi aku hanya akan membawa satu ransel merah muda kesayanganku. Aku pun hanya berpakaian gaun musim dingin sederhana dan memakai jaket kulit cokelat. Tepat saat aku akan turun ke lantai bawah, semuanya sudah siap didalam mobil.
"Hei, ada apa, kenapa lama sekali?" Tanya Gilbert. Walaupun dia memang kalem, tetap saja suara 'nge-bass'nya membuatku tergidik.
"Maaf." hanya itu jawabanku padanya.
"Baiklah, ayo kita berangkat!" kata kakakku sembari mulai memacu mobilnya.
Kami membawa dua mobil, aku berada di mobil pertama bersama kakakku, Jace, Gilbert, Philip, Sebastian, dan Grey. Sementara di mobil kedua dibelakang sana ada Josiah, Joshua, Steward, Rachel, Felicia, dan Petrus. Sepanjang perjalanan mereka sibuk bercanda dan bernyanyi sementara aku hanya memainkan HP-ku sembari membuka-buka akun sosial media milik Gabriel. Ini mulai menjadi kebiasaanku sejak malam itu, malam dimana aku dan Gabriel duduk bersama dibawah sinar rembulan sembari bercerita singat seputar masa laluku padanya. Bahkan sejak malam itu kami menjadi semakin akrab dan perasaan tertarikku padanya semakin menguat.
Tepat pukul 7 malam, kami tiba di padang rumput yang tertutup salju ini. Suasana disini sangat ramai, mengingat ini adalah malam tahun baru. Kulihat disana sini ada banyak tenda dan mobil, kebanyakan mobil pick up. Diujung laut sana ada banyak kapal dan perahu yang nantinya akan saling menembakkan kembang api ke angkasa tepat pukul 12 malam nanti. Setelah kami dapat tempat untuk memasang tenda, kami mulai bergegas. Kakakku dan yang lainnya mulai memasang tenda dan peralatan untuk membuat barbeque. Aku pun ikut membantu hingga selesai. Kami pun mulai menikmati suasana malam hari yang cukup hangat karena keramaian meskipun wilayah ini bersalju. Untungnya salju sedang tidak turun dari langit sehingga suasana langit terlihat sangat cerah oleh gemerlapnya bintang-bintang.
HP-ku bergetar lagi. Kulihat satu nama dilayar yang membuat senyumku merekah lagi.
"Hai Gabe, ada apa?" ujarku cepat setelah kuangkat HP-ku.
"Jadi kalian benar-benar mengadakan acara tahun baru di padang rumput yang kau bicarakan itu?" ujar Gabriel diujung sana.
"Iya benar, eh tunggu ... 'kalian'? tahu dari mana kalau aku benar-benar kesini bersama kakakku dan yang lainnya? kau sendiri merayakan tahun baru dimana?" tanyaku dengan ekspresi antusias.
"GMC hitam, tepat beberapa meter dibelakangmu." balasnya datar.
Tanpa menutup telepon, aku berlari menjauhi tenda dan berlari menuju tempat yang dimaksud Gabriel tanpa peduli dengan teriakan 'hei mau kemana?' dari kakakku. Sekitar tiga menit berlari sambil celingak-celinguk, kini aku tiba disebuah mobil double cabin hitam dengan emblem GMC di grill depannya. Kulihat empat orang pria berjaket hitam silver didekat mobil itu, dan salah satu dari mereka tersenyum padaku.
"Hai Jasmine." senyumnya membuatku mencair ditengah suasana membeku ini. Spontan aku berlari dan langsung memeluknya. Ya ampun apa aku benar-benar memeluknya? apa yang sudah kulakukan ini? Ahh aku jadi malu.
"Emmm hai juga Gabe. Kukira kau akan merayakan tahun baru di rumahmu." balasku sembari melepas pelukanku perlahan-lahan karena malu.
"Emmm Surprise." ujarnya tanpa melepas senyum dari bibirnya.
Aku pun berkenalan denga tiga teman Gabriel, yaitu Mackey, Jordan dan Brian. Kami pun mulai menikmati makanan hangat sembari mengobrol selama satu jam. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa sampai kesini? padahal seingatku rumah Gabriel berada di pulau seberang yang jaraknya cukup jauh. Tapi jelas aku tidak punya waktu untuk mencari tahu karena kulihat didepanku Felicia dan Grey muncul dengan wajah cemas. Ternyata Steward, Sebastian dan Petrus juga ikut menyusul mereka kesini.
"Lho Jasmine, sedang apa kau disini dan siapa mereka?" spontan raut wajah cemas mereka berdua berubah menjadi raut wajah ramah. Sepuluh menit sebelumnya Gabriel berlari ke pepohonan dibelakang sana. Dia sudah berpesan padaku untuk tidak memberitahukan pada kakakku dan teman-temannya kalau dia ada disini, jadi aku hanya memperkenalkan tiga teman Gabriel saja disini.
"Emmm mereka bertiga ini teman-temannya Gabriel. Ini Mackey dan itu Brian dan Jordan."
Kini mereka bertiga sudah saling berkenalan dengan teman-temanku. Dua jam kemudian Jace, Gilbert, kakak, Philip, Josiah, Joshua dan Grey, ikut bergabung bersama kami disini. Beberapa lama kami saling mengakrabkan diri, akhirnya kami sepakat untuk memindahkan tenda dan perlengkapan milik Mackey dan teman-temannya ke dekat tenda kami. Sehingga suasana kian hangat ditengah cuaca dingin yang cerah ini. Mereka benar-benar berpikir kalau Gabriel tidak ada disini, ya ... aku dan tiga orang ini berusaha meyakinkan agar yang lainnya tidak tahu kalau Gabriel sebenarnya benar-benar datang kesini.
Kini aku menerima pesan singkat dari Gabriel yang menyuruhku untuk menyusulnya ke dekat pepohonan. Setelah pamit pada yang lainnya, aku bergegas kesana. Kulihat wajah Gabriel berkeringat karena cemas namun sepertinya dia tidak terlihat ketakutan sedikitpun karena senyumnya itu.
"Mereka tahu aku ada disini?" tanyanya padaku setelah aku cukup jauh dari jangkauan mata mereka.
"Tidak, jadi bagaimana? bagaimana kau bisa sampai disini?"
"Mackey dan yang lain memang sudah berangkat kesini sejak dua hari lalu. Sementara aku kesini sejak siang tadi. Aku bilang pada mama dan papa kalau aku akan merayakan tahun baru dirumah tetangga di seberang perumahan. Aku tidak percaya kalau mereka benar-benar mengizinkanku. Jadi agar mereka tidak curiga, jam setengah satu nanti aku harus sudah kembali ke rumah." suara Gabriel yang megap-megap membuatku ikut kesulitan mengatur nafasku sendiri.
"Tunggu, jarak rumahmu kesini itu sekitar seharian. Bagaimana kau bisa sampai kesini hanya dalam hitungan jam? kau naik pesawat untuk menyusul Mackey?"
"Bahkan lebih baik dari sekedar pesawat." ujarnya sembari mundur dua langkah. Aku terkesima melihat sepasang sayap hitam besar yang keluar dari punggungnya. Membuat sosoknya terlihat makin gagah.
"Wah, sayapmu sudah tumbuh?" suara kecilku terdengar serak.
"Jadi bagaimana? masih ada waktu dua jam lebih sebelum tengah malam. Mau tahu seperti apa rasanya terbang di langit dengan sayap sendiri?" senyum ceria Gabriel berubah menjadi senyum nenantang.
"Memangnya aku belum pernah terbang ya sebelumnya?" ujarku berbalik menantang Gabriel sambil membuka jaket cokelatku. Sepasang sayap dibelakang punggungku ikut terentang lebar, walaupun tidak selebar dan sebesar sayap milik keturunan malaikat murni seperti Gabriel, Dia hanya tersenyum.
"Entahlah." ujarnya sembari mencuri start lebih dulu dengan terbang meninggalkanku. Bibirku mengerucut dengan mimik muka kesal ala anak kecil. Kukepakkan sayap ini secepat yang aku bisa untuk menyusul Gabriel yang sudah agak jauh. Kami pun kejar-kejaran diatas langit tanpa perlu khawatir ada yang melihat kami karena ini sudah malam, ditambah lagi kami terbang cukup jauh dari keramaian. Sempat sayapku terasa keram karena kelelahan, dan untungnya Gabriel cepat-cepat menangkapku dalam pelukannya. Terasa ada kehangatan tersendiri saat tubuhku tenggelam dalam tubuhnya yang mengapitku dengan kedua tangannya. Ada sebuah bukit batu tak jauh dari keramaian, kami pun mendarat di puncaknya dan duduk bersama menatap cakrawala tanpa menyembunyikan kembali sayap kami ke balik punggung.
"Bagaimana rasanya bisa terbang?" tanyaku pada Gabriel.
"Entahlah, terasa seperti seharusnya aku terlahir sebagai burung sejak dulu." ujar Gabriel mencoba melawak.
"Ha ha ha ha, kau lebih baik dari sekedar burung, Gabe."
"Ya, pasti menyenangkan bisa merasakan sensasi terbang diatas ketinggian sejak kecil." nada iri Gabriel terasa menyentuhku saat dia menatap sayapku.
"Tidak juga, pertama kali aku mencoba terbang saat malam, ketika aku dan kakak sekeluarga pindah ke sini. Sekitar tiga atau empat tahun lalu."
"Harus kuakui kau semakin cantik dengan sayap itu." tatapan redup Gabriel tertuju pada sesuatu di punggungku yang sudah kumiliki sejak kecil ini.
"Kau sudah tampan sejak pertama kali aku melihatmu, dan kau juga semakin tampan dengan sepasang sayap itu. Ditambah lagi kau seorang darah murni." kulihat lirikan Gabriel seperti berpindah ke bagian tubuhku yang lain.
"Sedang menatap sesuatu selain sayapku?" bisikku dengan sedikit memicingkan mataku kearah Gabriel.
"Apa maksudmu?" pertanyaan Gabriel hanya kujawab dengan telapak tangan kiri yang kutempelkan ke dada atasku. Bibirku mulai tersenyum nakal.
"Ah tidak terima kasih, kau masih datar seperti papan." ejek Gabriel dengan gelak tawa. Aku hanya membalasnya dengan tinju-an kecil dengan bibir yang semakin mengerucut. Namun kemudian aku malah ikut tertawa, entah apa aku ikut tertawa bersama Gabriel atau aku malah mentertawai diriku sendiri.
Lima ... Empat ... Tiga ... Dua ... SATU ... !!! YEAH !!!
Kembang api dengan penuh warna-warni mulai menghujam angkasa dari kapal-kapal dan perahu-perahu di ujung sana. Langit yang semula remang-remang oleh cahaya bintang-bintang, kini berubah menjadi makin bercahaya oleh kilatan kembang api yang mewarnai langit malam satu januari ini. Dibawah sana suasana keramaian berubah riuh dua kali lipat dari sebelumnya. Mataku menatap takjub hiasan sekilas penuh cahaya diatas sana. Kini kutatap Gabriel yang mendongak dengan tatapan kosong, lalu dengan cepat Gabriel berbalik menatapku.
"Selamat tahun baru, Tuan Puteri Jasmine." gabungan tatapan mata sayu dan senyum datar itu kembali mencairkan batinku.
"Selamat tahun baru juga, Pangeran Gabriel" balasku dengan suara kecil. Kedua wajah kami saling mendekat dibawah siraman cahaya kembang api, hingga kedua bibir kami saling bersentuhan satu sama lain.