-Rachel POV-
Semester baru tinggal H-4. Kami semua sudah siap berangkat kembali ke asrama siang ini, kembali ke aktifitas berat ala anak-anak kuliahan. Sementara yang lainnya sedang bersiap-siap dan ada yang masih berkemas didekat mobil, aku mendekati Jasmine.
"Jassie, terima kasih sudah mengizinkan kami berada disini selama liburan." ucapku dengan mata berkaca-kaca. Rasanya tidak rela kalau liburan ini harus berakhir begitu saja.
"Tidak apa, kembalilah lagi saat liburan berikutnya." balas Jasmine dengan suara yang imut.
"jangan khawatir, kami akan kembali untukmu ..."
"... bersama Gabriel tentunya, kalau perlu kami akan mengikatnya dengan pita kado." Tukas Steward dan Sebastian, aku sedikit kesal karena mereka memotong pembicaraanku. Jasmine hanya tertawa. Kami pun langsung meluncur ke jalan. Kembali ke kampus yang sebenarnya sudah dibuka sejak tiga hari lalu.
"Hati-hati dijalan ya ... !!!" Pamit Jasmine dan kedua kakek neneknya Deryck. Kami membalasnya dengan lambaian tangan. Di tengah jalan, aku membuka HP dan menelpon Gabriel. Kurang dari sepuluh detik, dia yang diujung sana langsung menjawab.
"Hei Rachel, ada apa?"
"Kami sudah berangkat menuju asrama kau bagaimana?"
"Setelah berangkat dari sini, aku akan menginap dirumah tante. Mungkin lusa baru benar-benar berangkat ke asrama."
"Oke, kami tunggu disana ya."
"Iya, hati-hati selama perjalanan." tutupnya.
-Gabriel POV-
Setelah menginap selama satu malam dirumah Tante Ve, aku pun berangkat menuju kampus. Awalnya kami berniat berangkat bersama dengan mobil Om Arthur, namun karena tugas mendadak, terpaksa aku berangkat sendiri. Setelah naik bis, tinggal jalan kaki selama lima belas menit menyusuri jalan dipinggir perairan yang banyak ditumbuhi banyak pohon dan suasananya kebetulan cukup sepi, ditambah lagi cuaca sedikit mendung. Padahal sebentar lagi awal semester dua. Mungkin mereka akan datang beramai-ramai menjelang malam nanti. Punggungku terasa keram karena carrier yang kubawa cukup besar dan berat. Menutupi seluruh permukaan punggungku dengan ketatnya. Bagaimana aku akan merentangkan sayapku jika terjadi sesuatu?
Yang kukhawatirkan benar-benar terjadi, aku merasakan ada sesuatu dibelakangku. Seperti ada suara kepakan sayap yang aneh, terdengar jauh diatas sana. Aku mulai panik saat mendengar seperti ada sesuatu yang menukik dari atas, melesat cepat menuju bagian belakang tubuhku.
BLAR ... !!! yang tadinya terbang, kini mendarat dengan hebatnya.
Empat orang iblis mengepungku, belum sempat aku melepas carrierku untuk merentangkan sayap. Mereka sudah siap mengambil ancang-ancang untuk menyerangku. Pertarungan diantara kami pun tak terelakan lagi. Sialnya lagi, tidak ada orang untuk membantuku. Sampai seorang bersepeda motor berhenti tepat didepanku.
"Cepat naik, Gabe!" teriaknya, aku pun menurut.
Pria ini memacu motornya dengan sangat cepat. Secepat empat iblis itu yang terbang mengejar kami. Aku cukup heran saat dia menyebutkan namaku.
"Kau tahu siapa aku?"
"Iya, ngomong-ngomong aku temannya Felicia. Tadi aku keluar sebentar lalu kulihat kau dikepung mereka. Aku bisa mengerti kalau malaikat murni sepertimu belum tumbuh sayap, karena itu jangan sungkan-sungkan padaku."
"Emmm sebenarnya sayapku ..."
"Pegangan yang kuat, sebentar lagi kita sampai!!!" ujarnya sambil memacu motornya lebih cepat.
***
Beberapa menit lagi kami sampai di gerbang. Diujung sana, empat gargoyle melesat cepat dari atas menara, menukik mendekati empat iblis dibelakang kami. Sementara beberapa orang di gerbang mendekati kami, memastikan kalau kami baik-baik saja. Kulihat pula Rachel, Felicia dan Gilbert mendekatiku dengan raut wajah setengah panik.
"Kita berhasil." ujar si pengendara motor bahagia dan bangga. Aku hanya menghela nafas panjang dengan tersengal-sengal, menyaksikan empat gargoyle yang kembali dengan selamat setelah berhasil mengalahkan empat iblis itu.
"Terima kasih, Thomas." ujar Felicia pada si pesepeda, dia hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman, lalu pergi kembali ke asramanya. Kami pun berjalan menuju ruanganku.
"Gabe, kau terluka!?" ujar seisi ruanganku secara serempak. Mereka mendekatiku, memastikan kalau aku baik-baik saja.
"Aku tidak apa-apa, hanya sedikit robek di lengan bajuku." balasku santai. Salah satu pengawas berwujud gargoyle yang tadi membantuku, merubah tubuhnya kembali ke bentuk manusia dan mendekati kami yang didalam kamar. Dia bernafas lega mengetahui aku baik-baik saja.
"Mereka sudah tahu kau berangkat sendirian, berarti mereka memang sudah lama mengincarmu dari belakang." ujar si pengawas yang kuketahui bernama Octavius.
"Mungkin mereka iblis yang sama yang waktu itu pernah mengejarku saat natal." seisi ruanganku terperanjat mendengarnya.
"Apa, dan kau tidak bilang apa-apa pada kami!?" tanya Petrus terkejut.
"Sudah kubilang aku baik-baik saja. Aku bisa mengatasinya sendiri kalau mereka berjumlah sedikit."
"Tapi tetap saja ..." kalimat Grey terpotong olehku.
"Ya ya ya ya ... sudah, aku mau ke kamar kecil untuk buang air besar." aku pun berlalu, meninggalkan mereka yang menghela nafas melihat ekspresi entengku.
Selama dua jam mereka berbincang-bincang dan bersantai disana, sementara aku langsung naik keatas genteng kamar. Bersantai menikmati hembusan angin sore hari sembari memperhatikan mereka yang lalu lalang dibawah sana. Beberapa senior ada yang terbang rendah dengan sayap mereka masing-masing. Aku cukup iri melihat mereka yang kesana kemari, berlalu lalang tanpa menapak dengan kaki mereka sendiri.
Aku masih penasaran dengan sayapku yang baru tumbuh. Berhubung tidak ada yang memperhatikanku diatas sini, ibarat anak remaja yang baru punya sim dan kendaraan sendiri, iseng-iseng aku mencoba untuk terbang lagi. Perlahan kurentangkan sayapku, mengambil ancang-ancang untuk meloncat dari atas genteng tinggi ini sembari terus mengepakkan sayapku.
Lagi-lagi aku terkesima dengan sensasi ini, terbang di udara tanpa memijakkan kaki sembari menikmati memperhatikan mereka dibawah sana yang semakin mengecil seiring semakin tingginya posisiku. Kulihat diatas sana, awan mendung yang sangat tebal semakin dekat ke kepalaku. Seakan terhipnotis oleh keinginan untuk mendekatinya, aku pun terus mengepakkan sayap semakin tinggi dan tinggi tanpa sadar kalau jarak setinggi ini sebenarnya bisa membunuhku kapan saja.
Beberapa menit berlalu, dan saat aku berhasil menembus awan aku dikejutkan oleh pemandangan yang begitu mempesona. Cahaya mentari sore yang menyilaukan menyinari seluruh permukaan awan dengan cantiknya. Diujung sana, kulihat ada pesawat yang terbang tidak begitu tinggi dariku. Aku sempat berpikir, mungkin diatas surga sana suasananya terasa secerah dan sedamai ini. Aku masih terus mengepakkan sayapku, menjaga agar ketinggianku tetap terjaga demi menikmati pemandangan ini tiap detiknya ketika kudengar dibawah sana seperti ada yang memanggilku.
"Gabe, jangan terbang terlalu tinggi!!!" Gilbert, Rachel, Grey, Petrus, semua kedelapan teman-temanku mendekat kearahku dari bawah sana. Kepakkan sayap mereka sangat cepat demi bisa mendekatiku. Spontan aku terkejut saat aku merasakan kalau sayapku mulai kelelahan. Sial, bisa-bisa aku langsung mati kalau terjun bebas dari jarak setinggi ini.
Aku mulai panik saat sayapku kesemutan, dan tiba-tiba berhenti mengepak. Dengan cepat aku menukik kebawah sana, sangat cepat hingga terasa seolah angin yang menerpa seperti ingin merobek wajahku.
"Gabe, bertahanlah !!!" mereka semakin cepat mengejarku, terlebih Gilbert yang menukik tajam kearahku bagai burung falcon yang mencoba menyambar mangsanya. Beberapa detik kemudian ...
"Dapat !!!" Gilbert berhasil memelukku, dan secepat itu pula dia merentangkan sayapnya, seperti penerjun yang merentangkan parasutnya saat hampir tiba di daratan. Beberapa orang dibawah sana sempat mendekati kami saat kami sudah mendarat tepat di lapangan.
"Gabe, kau tidak apa-apa!?" Gilbert menatap lekat-lekat wajahku, dilihatnya aku menangis karena terharu.
"Rasanya luar biasa !!!!" pekikku senyaring-nyaringnya, membuat siapapun disana mentertawakanku.
"Dasar pemula." ejek Gilbert sembari menyeringai.