Gabriel POV
"Seharusnya kau melihat kami tadi, dia terbang begitu tinggi di atas awan lalu terjun bebas cuma karena keram," canda Gilbert sembari memperagakan gerakannya tadi sore didalam kamar. Pertus dan si kembar ikut menimpali dengan gelak tawa semantara aku hanya tersipu malu.
"Haa haa, ya kau tahu lah namanya baru punya sayap," timpal Joshua.
"Heeh jangan sombong dulu, kau juga begitu saat masih kecil," sergah Josiah.
"Sudah-sudah, kalian sama saja," sambung Petrus.
"Heh, setidaknya kepalaku tidak tersangkut di pohon palem saat terbang di musim dingin." Joshua mengejek Petrus dengan menyinggung pengalaman buruknya saat pesta natal waktu itu di rumah Deryck. Gilbert mendekatiku dan merangkul bahuku.
"Turut senang melihat sayap barumu, Gabe. Dan yang satu ini aku bicara jujur."
"Terima kasih Gilbert, masih satu semester lagi sebelum aku bisa leluasa memakainya."
"Bersabarlah, kau tahu segalanya akan indah jika saatnya tiba kan." Mendengar ucapan serius Gilbert, yang lain pun mulai mendekati kami berdua.
"Yang pasti kami tetap mendukungmu, Gabe. Apalagi kau itu keturunan darah murni," sahut Petrus.
"Ya, dan kalau orang-orang brengsek dari kelas The Powers itu mengaganggumu lagi, kau bisa minta bantuan pada kami untuk menendang bokong mereka," timpal si kembar bersamaan.
"Terima kasih, teman-teman. Entah apa jadinya aku tanpa kalian." Aku pun merangkul mereka sebelum Gilbert memimpin doa menjelang tidur.
***
Hari pertama semester dua dimulai. Suasana semakin menyenangkan saat pagi tadi pelajarannya tidak sesulit saat semester satu. Apalagi ada satu pelajaran yang kusukai, disamping itu Mackey juga ikut pindah ke kota yang berada sebelah timur, tak jauh dari dekat kampus dan bekerja sebagai polisi. Dia bilang ingin mencoba sesuatu yang lebih menantang, walaupun sebenarnya aku tahu dia hanya ingin mencoba lebih dekat dengan Rachel. Saat ini pukul dua siang, dan aku sedang berjalan di koridor yang ramai ini sampai tiba-tiba ....
Bruk! Albertinus mendorongku hingga terjatuh saat aku berjalan di koridor. Buku yang kubawa berserakan di lantai. Semua mahasiswa kembali menatap kearahku.
"Hallo lagi, pecundang!" Gaya sombong Albertinus mulai dipertontonkannya. Apalagi beberapa pengikutnya sesama The Powers juga ada disini.
Orlin dan Paul mencengkram kerah almamaterku. "Kenapa?! Apa yang kau lihat, hah?! Mau coba pakai sihir bola cahaya itu lagi?!"
"Kali ini apa salahku?" desisku tanpa mencoba melawan. Lagipula mungkin mereka hanya mengertak.
"Salahmu adalah berada disini! mengganggu pemandangan kami!" Paul terlihat bersiap untuk memukul wajahku sebelum Janax menghentikannya.
"Tinggalkan dia sendiri." Suara Janax terdengar datar, tidak seperti biasanya.
"Wohohoho, sejak kapan kau jadi lembek begini? apa karena hukuman baptis waktu itu?" kini giliran Janax yang dihina. Kesal, dia pun merentangkan sayapnya dan memakainya untuk melempar kedua mahasiswa itu ketengah lapangan. Semua yang menatapku spontan terkejut, sebab tidak biasanya dia membelaku. The Powers nakal lainnya memilih mundur tanpa melawan, mengingat Janax dikenal cukup kuat menghadapi banyak orang sendirian.
"Terima ka...."
"Diam, aku tidak membelamu. Ini urusan pribadiku dengan mereka." Sergahnya sebelum berlalu meninggalkanku.
Aku pun berlalu meninggalkan kerumunan yang masih ramai. Kembali melintasi koridor ketika Felicia dan Octavius --salah satu gargoyle medekatiku.
"Kau baik-baik saja, Gabe?" tanya Felicia dan Octavius bersamaan.
"Kalian terlambat, mereka baru saja pergi," jawabku datar.
"Apa yang terjadi?"
"Yap, dia yang biasanya menggangguku sekarang membelaku saat Albertinus dan antek-anteknya menggangguku tadi."
Octavius pun kebingungan. "Tunggu, maksudmu Janax? tidak biasanya dia..."
"Sudahlah aku baik-baik saja, terima kasih. Sekarang aku mau ke asrama Grey untuk mengembalikan buku yang kupinjam darinya, jadi permisi." Melihatku berlalu, Rachel dan Octavius saling bertatap mata dengan penuh keheranan.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul delapan malam. Sudah berjam-jam aku berada di kamarnya Grey, membahas tugas pertama di semester baru ini ataupun membahas novel yang baru saja kupinjam darinya. Karena sudah malam, aku pun pamit pada Grey untuk kembali ke asrama. Saat aku melintasi lorong di lantai teratas asrama ini, aku melihat satu gargoyle yang sedang bertengger di bagian luar menara di dekatku. Kedengarannya dia baru saja berkata 'psst' kearahku.
"Octav..., ada apa?"
"Duduklah sebentar disini." Suaranya terdengar besar layaknya monster. Wajar saja, karena dia sedang dalam wujud gargoyle. Aku pun mengepakkan sayapku diam-diam dan terbang mendekatinya.
"Sebaiknya kau tidak memberitahukan siapapun soal ini," ujarku sembari tersenyum.
"Oh ayolah, mereka pasti mengerti. Lagipula aku yang menyuruhmu duduk diatas menara ini bersamaku. Aku akan tanggung jawab jika kau diomeli cuma karena mengepakkan sayap." Octavius menjawab dengan entengnya.
"Oke, ada perlu apa kau menyuruhku duduk disini?"
"Kudengar dari beberapa pengawas, mereka bilang Albertinus mengganggumu lagi."
"Sudah kubilang jangan khawatir, lagipula aku berhutang nyawa dengan Janax karena dia telah menyelamatkanku. Walaupun dia bilang bukan untuk menyelamatkanku."
"Oke, aku bersyukur kau baik-baik saja. Tapi jika terjadi sesuatu lagi padamu, sebaiknya jangan sungkan-sungkan untuk melapor padaku."
"Aku menghargai itu, terima kasih. Aku hanya bingung kenapa mereka belum kapok juga? maksudku apakah sehari saja mereka tidak mengganggu orang-orang geekers akan membuat mereka mati?"
"Hmmm ya aku tahu perasaanmu. Mereka semua memang belum meninggalkan kebiasaan buruk mereka dari SMA. Dan keberadaanmu sebagai satu-satunya malaikat murni dari angkatan tahun ini membuat mereka semua sirik padamu. Bukan berarti pihak kampus tidak peduli."
"Memangnya belum pernah ada malaikat murni yang kuliah di kampus ini selain aku di tahun-tahun sebelumnya?"
"Kau adalah malaikat murni pertama yang kuliah disini sejak 4 tahun terakhir. Dulu pernah ada beberapa malaikat murni yang kuliah disini. Namun tidak ada dari mereka yang termasuk 'The Choosen One' sepertimu."
"Entahlah, aku tidak begitu peduli soal nubuat omong kosong yang bilang kalau aku adalah titisan dari St. Gabriel Yang Agung. Aku cuma mau hakku untuk hidup tenang sebagai mahasiswa, tidak lebih."
Kami berdua terdiam menatap rembulan yang bersinar terang. Ukuranya sedikit lebih besar dari biasanya. Tanpa sadar, tubuhku merebah ke samping kanan dan bersandar di paha besar Octav yang sekeras batu.
"Ngomong-ngomong kenapa kalian berwujud seperti monster di film-film fiksi? bukankah kalian jenis malaikat juga?" lanjutku lagi.
"Yaaa kau tahu, nenek moyang kami dulunya adalah salah satu jenis malaikat lingkup kedua --Dominion. Masalahnya mereka pernah melakukan satu kesalahan."
"Kesalahan seperti apa?"
"Waktu itu ada sepasang malaikat yang diperintahkan untuk menguasai satu daerah yang sempat dikuasai oleh iblis. Selama berhari-hari berjuang, akhirnya mereka berhasil menaklukan daerah itu dan membebaskan tawanan manusia disana. Beberapa hari berikutnya mereka dikunjungi oleh seorang iblis yang menyamar menjadi wanita. Iblis itu mempengaruhi kedua malaikat itu dengan menyuruh mereka meminum anggur. Akhirnya mereka berdua bersetubuh dengan si iblis wanita itu. Sadar melakukan kesalahan, mereka meminta ampun kepada Bapa. Akhirnya, Bapa memerintahkan empat orang malaikat untuk membunuh si iblis wanita. Sebelum sempat terbunuh, si iblis wanita sempat melahirkan tiga pasang makhluk monster hasil persetubuhan haram mereka, berwujud seperti kami." Octav menjelaskan panjang lebar sembari menunjukkan wujud dan kulitnya yang keras dan abu-abu.
"Lalu apa lagi yang terjadi setelahnya?"
"Bapa pun memerintahkan sepasang malaikat itu untuk merawat bayi-bayi monster kecil itu. Dan sebagai hukuman, Bapa mengubah si sepasang malaikat menjadi berwujud seperti bayi monster itu. Mereka para malaikat yang dihukum pun merawat para bayi monster, mengajarkan mereka caranya bertempur melawan iblis, juga mengajarkan kebaikan-kebaikan. Karena wujudnya yang mengerikan walaupun mereka tetap malaikat juga, para manusia menyuruh mereka untuk tinggal di puncak menara gereja dan untuk membuktikan kalau mereka adalah makhluk yang baik, manusia menyuruh mereka untuk melindungi tiap-tiap gereja yang menjadi tempat tinggal mereka dari serangan iblis yang mencoba mendekat. Seiring berjalannya waktu, bayi-bayi monster pun beranak pinak dan membentuk koloni malaikat monster yang sekarang biasa disebut gargoyle."
"Oh begitu, selama ini kukira kalian cuma makhluk mitologi yang belum tentu benar-benar ada."
"Ya, lagipula menurutmu memangnya ada iblis yang berwujud makhluk besar menyeramkan seperti kami yang mau saja disuruh manusia untuk selalu bertengger setiap hari diatas menara gereja?" mendengar kalimat itu, aku hanya tertawa kecil.
"Tapi kau bisa berubah menjadi berwujud manusia." Aku mulai menyanggah ucapan Octav soal wujudnya.
"Professor Einstein yang mengajarkan kami teknik dan cara-cara untuk berubah menjadi manusia, itupun kami tidak bisa selamanya berada dalam wujud manusia. Gargoyle lainnya mungkin tidak seberuntung kami. Dan kau mau tahu apa persamaan antara kau disini dengan Gargoyle di masa lalu?"
"Apa itu?"
"Kita sama-sama pernah jadi bahan tertawaan. Maksudku, dari kisah yang kuceritakan tadi, banyak kalangan nephilim dan ashgard yang menghina kami dengan sebutan 'anak haram' akibat sejarah kelahiran kami yang dianggap sebagai aib. Untungnya seiiring berjalannya waktu, mereka mulai melupakan kebiasaan mengejeknya itu. Aku yakin, suatu hari nanti juga mereka yang biasanya mem-bullymu akan berhenti ketika saatnya tiba." Aku mengangguk-ngangguk serius mendengan ucapan Octav tadi. Tanpa terasa aku mulai menguap.
"Sebaiknya kau segera tidur, Gabe. Sudah malam dan besok kau harus bangun pagi," ujar Octav sembari menggoyang-goyangkan tubuhku.
Aku pun loncat dari menara sembari langsung merentangkan sayapku. Namun karena terlalu mengantuk, aku jadi terlalu malas untuk mengepakkan sayap sehingga aku hanya terbang rendah dan terus merendah saking mengantuknya. Octav pun menukik kearahku sebelum aku menyentuh tanah dan membawaku terbang kembali ke asramaku. Gilbert dan Petrus pun menyambut dan langsung membopong tubuhku ke kasur, sementara Octav dan si kembar seperti mentertawakanku. Walaupun mengantuk, aku bisa mendengar suara nafas mereka yang seperti menahan tawa.
Mackey POV
Seminggu setelah Rachel memulai aktivitas perkuliahannya, aku pun tiba di kota Hectoria sebelah tenggara. Tepat di dekat Kampus Santa Evangelina tempat Rachel kuliah. Aku pun diterima sebagai polisi lokal beberapa hari setelahnya. Senang rasanya saat patroli pagi dan sore karena di jam-jam itu, aku bisa mampir sebentar ke bagian samping kampus. Jauh di dalam area rerumputan yang tebal itu, di sana terdapat sebuah celah kecil di antara dinding pemisah antara wilayah kampus dengan area luar. Di sanalah aku dan Rachel biasa berjanji untuk bertemu, seperti yang kulakukan saat ini.
"Rach, kau disitu?" ujarku setelah janjian sebelumnya lewat telepon. Samar-samar kulihat seorang gadis berpakaian cheerleader berjalan mendekatiku.
"Hey Mack, sudah lama menungguku ya?"
Aku pun membantunya keluar dari lubang itu --keluar dari area kampus, dan membawanya ke sebuah kedai. Kami pun menikmati makan siang bersama disana.
"Ini benar-benar seru, kabur dari kampus bersamamu. Tapi bagaimana kalau aku ketahuan?"
"Jangan khawatir, tidak akan ketahuan karena aku akan mengantarkanmu tepat waktu kembali ke tempat semula." aku mencoba meyakinkan Rachel kalau dia akan baik-baik saja. Untuk sesaat kami terdiam, wajah kami mulai merah merona menikmati suasana canggung ini. Kami pun memesan makanan dan menikmati makan siang bersama sembari bercerita soal pekerjaanku dan kampus Rachel.
Tak terasa sudah setengah jam dan waktu istirahatku sudah mau habis. Setelah berkendara jauh, aku pun kembali memasuki rerumputan luas nan sepi itu dengan mobilku. Kembali ke celah dinding tempat aku membawa keluar Rachel tadi.
"Hey terima kasih makan siangnya." Gadis ini tersipu malu, bisa kulihat wajahnya yang memerah lagi.
"Akulah yang harusnya berterima kasih padamu, kau sudah mau menemaniku di jam makan siang hari ini." Melihat wajahku yang menunduk, Rachel menggenggam kedua tanganku.
"Mack, mulai sekarang kita ..."
"...kita, apa?" Rachel langsung mencium pipiku dan mendekati lubang celah dinding itu.
"Maksudmu kita benar-benar ..."
"Ya, untuk saat ini kita coba jalani saja dulu. Oke?" ucapnya seraya memasuki area kampusnya. Kulihat dari celah itu salah satu temannya mendekatinya dan mengajaknya kembali ke asrama. Wow, tidak kusangka musahaku mendapatkannya akan semudah ini. Tapi wajar juga karena aku memang sudah lama mengakrabkan diri dengannya walau hanya sebatas lewat telepon.
Malam harinya setelah pulang dari tugasku, aku langsung memainkan handphone-ku. Memulai obrolan dengannya karena pada saat seperti ini, biasanya dia sudah
di kamarnya menikmati jam istirahat sebelum tidur.
"Hi, kau belum tidur?"
Selang beberapa detik kemudian, ia membalas pesanku. "Tentu saja belum, kau sudah kembali dari tugasmu?"
"Ya aku baru saja tiba di rumah. Bagaimana? kau ketahuan?"
"Tidak, mereka tidak mencurigaiku sama sekali ;) "
"Baguslah, karena kukira makhluk unik seperti kalian akan ... kau tahu kan maksudku?"
"Tidak juga, nephilim itu tak ubahnya manusia. Hanya kekuatannya saja yang berbeda, kalau soal sifat, sama saja. Ha ha ha ha."
"Sama saja, huh? aku jadi ingin tahu apa nephilim juga suka menonton ke bioskop?"
"Tentu saja suka, selama pacar baru si nephilim mau mengajaknya."
"Jadi bagaimana? Minggu depan?"
"Boleh. Dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Pacar baru si nephilim harus menjaga rahasia soal jati diri si nephilim."
"Soal itu pokoknya beres, tapi bukankah pada akhirnya nanti semua orang akan tahu siapa kau sebenarnya?"
"Tidak bukan itu, maksudku ialah aku ingin umat manusia tetap menjalani hidup mereka dengan normal. Aku tidak ingin mereka berada dalam bayang-bayang ketakutan akan sesuatu yang seharusnya tidak perlu mereka takuti."
Untuk beberapa saat aku terdiam, teringat apa yang terjadi pada Gabriel saat liburan natal waktu itu. Juga saat bibinya Gabriel bilang kalau pihak surga masih dalam situasi perang dengan pihak neraka. Entah apa yang merasukiku hingga aku mengirim pesan berbunyi ...,
"Aku ingin tidur lebih awal, selamat malam Rach."
"Baiklah, selamat malam sayang," kira-kira itulah balasan darinya.
Sesaat aku berbaring, memikirkan apa yang sudah dikatakan Rachel tadi. Soal peperangan yang terjadi di atas langit sana yang ternyata berlanjut hingga ke bawah bumi. Juga soal apa yang sudah dialami Gabriel waktu itu. Entah kenapa perasaan khawatir ini malah semakin menjadi-jadi.