Sebenernya nih cerita deadline-nya kemaren. Tapi karena tiba-tiba putus koneksi (dan nggak ke-save) akibat kuota abis, jadi terpaksa nggak kuikutin nih cerita ke prompt terbaru di grup monday flashfiction gara-gara tenggat waktunya dah lewat. Tapi nggak pa pa kali ya tetep kupost disini, itung-itung buat postingan baru disini setelah sekian lama nunda-nunda Nephilim University yang harusnya udah lama dilanjutin ampe ke part akhir. Padahal aslinya di dunia nyata sih nggak sibuk-sibuk amat.
Oh iya, ngomongin soal monday flashfiction, ntar mau kubikin 'diary post' pertama yang sekalian ngejelasin apa itu monday flashfiction community, kali aja banyak yang tertarik buat gabung. Dah ah, udah kepanjangan nih. Langsung baca aja ya, enjoy the story and dont fuck yourself.
Kumatikan laptopku sebelum melangkah ke kamar mandi untuk mencuci kaki, seperti kebiasaanku yang sudah-sudah tiap menjelang tidur. Saat ini pukul 24.00 yang mana itu berarti enam jam lagi waktunya bagiku berangkat. Huh, satu malam lagi dimana aku terlambat tidur gara-gara sibuk ngalor ngidul di dunia maya bersama para sahabat yang sama gilanya denganku. Bukan berarti aku di dunia maya hanya sebatas mencari kesenangan saja, karena saat ini kebetulan aku sedang hobby membaca e-novel yang ditulis oleh para sahabat disana.
Kini kuhempaskan punggungku ke atas kasur dan kutarik selimut tebal itu hingga menutupi setengah tubuhku. Ingatanku memutar kembali rekaman berisi kenangan lima tahun lalu bersamanya. Aldista Ayu Deserawati, malaikat kecil yang pernah menjadi belahan jiwaku saat SMP dulu. Aku masih ingat saat kami bermain-main di taman belakang sekolah, duduk dibawah rindangnya pepohonan menatap burung-burung yang beterbangan di sana sini.
"Aku seneng bisa jadian sama kamu, apalagi kamu cewek pertama yang kupacarin dalam hidupku." Terdengar agak kekanak-kanakan memang, namun perasaanku lega bisa mengucapkan kalimat itu padanya.
"Walaupun kamu bukan cinta pertamaku, tapi aku berharap kamu jadi cinta terakhirku," balasnya manja padaku. Sama 'bocah'-nya kalimat yang diucapkannya padaku.
Jiwaku semakin terlena, melangkah menaiki anak tangga imajinasi memasuki portal bayangan masa lalu. Terasa jelas gambaran berlatar lima tahun silam bersetting kantin belakang sekolah.
"Kamu nggak pa pa, say?" Ayu melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
"Eh, iya, aku nggak pa pa kok," sedikit tersentak saat kusadari bakso yang kami pesan tadi belum kuhabiskan.
"Kamu dimarahin lagi ya sama Pak Yani?" tanyanya. Aku jadi teringat saat Pak Yani memukul keras bahuku karena tidak membawa buku gambar di pelajarannnya. Sesuatu yang seharusnya sudah termasuk pidana perlanggaran undang-undang perlindungan anak atau semacamnya.
"Heeeh iya," jawabku sembari menghela napas.
Terasa permukaan tangan lembut itu mengusap pipiku penuh kasih sayang. Sepasang bola mata cokelat itu menatap lekat-lekat kearahku dengan ekspresi penuh kehangatan.
"Yaudah, lain kali jangan ketinggalan lagi ya buku gambarnya," ujarnya.
"Sebenernya sih bukan ketinggalan, tapi ...," terasa ragu saat aku akan melanjutkan kata-kataku.
"Ntar kutemenin ke tempat fotokopiannya Pak Mahmud buat beli buku gambar baru. Pake duitku dulu juga nggak pa pa kok." Seolah mengerti maksudku, tanpa ragu ia menawarkan diri untuk membantuku.
"Loh, tapi kan ...," kalimatku terpotong saat tangan itu menyomot bibirku.
"Buruan abisin baksonya, bentar lagi masuk kelas tuh," potongnya sembari tersenyum. Seolah mengajakku lomba makan cepat, dengan terburu-buru ia menghabiskan baksonya. Mau tak mau aku pun juga harus begitu.
Tiba-tiba aku jadi merasa bersalah. Sebab, dulu kami sempat putus karena mantan pacar Ayu yang tergolong ababil nakal di sekolahnya memaksa Ayu untuk balikan lagi dengannya. Sejak itu aku jadi malas untuk membalas semua sms-nya padaku. Maklum, aku memang tipe orang yang sulit untuk memaafkan orang lain, terlebih mereka yang membuatku sakit hati.
Dua bulan berlalu sejak putus darinya dan selama dua bulan itu pula aku selalu malas-malasan ke sekolah. Bangun pagi saja aku harus menunggu hingga ayahku memukul wajahku dengan stik baseball. Terasa menyebalkan hidupku saat itu yang serba berantakan baik di rumah maupun di sekolah. Pacaran dengan Ayu ibarat heroin penenang untuk setiap masalah yang bermunculan. Sayangnya, sejak ia pergi tubuh dan jiwaku serasa sedang sakau.
Hingga suatu hari, Aldi --sahabat baikku di sekolah mengajakku ke belakang taman. Disana, Ayu sudah menungguku setelah menyuruh Aldi --yang juga sahabat baiknya, untuk menemuiku dan menyuruhku menemuinya.
"Kamu mau apa?" tanyaku ketus. Saat itu aku sedang kesal padanya dan wajah itu bukanlah yang kuharapkan muncul di hadapanku.
"Hendra mutusin aku, dia sekarang berhenti sekolah gara-gara ngehamilin selingkuhannya," kubalas ucapannya dengan ekspresi datar yang sama saat ayahku memukul wajahku.
"Terus?"
Digenggamnya tanganku seraya ditatapnya mataku lekat-lekat. "Kita balikan lagi ya?"
Dengan angkuhnya, kuhempaskan tangan itu dan berlalu meninggalkannya. Tak kupedulikan seperti apa ekspresinya saat itu. Aldi sendiri hanya menghela nafas melihatku.
Terasa kesal selama beberapa hari hingga saat aku berjalan pulang, aku melihatnya terkapar di tengah jalan. Sepertinya, sepeda yang dikendarainya terguling mungkin karena terserempet kendaraan atau apalah.
Kepalang dia sudah melihatku, aku pun mendekatinya. Singkat cerita, kami pun tiba di rumahnya setelah kuantar ia pulang. Di rumahnya, dengan terpincang-pincang ia mendekatiku.
"Sandi, aku minta ma...,"
"Jangan diterusin," potongku. Kutatap sesaat wajah itu sebelum kulanjutkan kata-kataku.
"Seenggaknya kamu nggak pa pa," ujarku sembari menyunggingkan senyuman padanya.
Seminggu berlalu dan setelah memperbaiki hubungan kami, akhirnya kami pun jadian kembali. Aldi sebagai sahabat kami pun merasa ikut senang melihat keadaan kami yang sudah membaik seperti dulu lagi.
Bayangan beberapa waktu silam telah selesai, kembali ke bayangan saat ini. Sesuai janjinya, siang itu Ayu mengajakku ke tempat fotokopi Pak Mahmud untuk membelikanku buku gambar baru dengan uangnya --yang seharusnya dia belikan pulsa untuk sms'an denganku seperti biasa. Sebagai gantinya, malam itu aku harus menelponnya dengan pulsaku sendiri. Sepertinya dia berjuang sejauh ini sebagai tanda bahwa ia tidak ingin kehilanganku lagi. Aku sendiri menyesal, seharusnya langsung saja kuterima ia kembali saat Aldi mempertemukan kami waktu itu.
Kini kami saling berjanji untuk menjaga kepercayaan ini satu sama lain. Terus begitu bahkan hingga saat aku diizinkan ayahku untuk membawa sepeda motor ke sekolah.
Pernah suatu hari ia terserang penyakit hingga dua minggu lamanya ia tidak bisa bersekolah. Semata-mata untuk memberi perhatian dan membalas kebaikannya padaku, aku mengunjunginya yang tengah terbaring tak berdaya di rumahnya. Tiap pulang sekolah hingga sore hari aku menemaninya bersenda gurau, menyuapinya saat makan, ataupun duduk di dekatnya sembari mengusap lembut rambutnya.
"Kamu cepet sembuh ya," ucapku padanya.
"Iya, maaf ya udah ngerepotin kamu." Hanya tatapan sayang sebagai balasanku untuknya. Pernah satu kali aku kehilangan malaikat kecil ini, dan aku bersumpah aku akan lakukan apa saja agar tidak kehilangan dia lagi.
***
Piiip piiip piiiiiip ... Piiip piiip piiiiiip ...
Jam weker di meja dekat kasur menyala ketika angka yang ditampilkannya berupa kombinasi angka 5 dan 30. Perlahan kubuka mataku, mengumpulkan serpihan-serpihan jiwa yang sempat tercerai berai setelah menikmati mimpi berupa flashback lima tahun lalu. Walaupun aku tidak yakin apa 'menikmati' merupakan kata yang pantas. Karena sepertinya aku justru meratapinya.
Pagi yang kelam, berusaha kunikmati semangkuk sereal hangat yang kuseduh beberapa saat setelah mandi. Ukiran wajah itu seolah tak mau pergi dari kepalaku. Pagi itu wajahku terasa bagai monyet yang sudah seminggu tidak memakan pisangnya. Pucat, cemberut, datar, suram, entah kata apa lagi yang cocok untuk menggambarkan ekspresiku. Seolah wajahku ikut menangis bersama hatiku.
- Walaupun kamu bukan cinta pertamaku, tapi aku berharap kamu jadi cinta terakhirku. - meski sedang suram, takkan kulupakan kalimat itu.
Seolah menyemangatiku, sorot mentari pagi dengan gagahnya menerjang awan kelam diatas langit biru. Jumat ini akan menjadi hariku, kupacu motorku menuju kampus demi menyelesaikan hari terakhir dalam seminggu ini. Aku harus memacu semangatku sekencang aku memacu mesin 4tak beroda duaku. Walaupun aku sadar, sosok malaikat kecil itu sudah tidak lagi menduduki jok motorku.
Dan kuberuntung ... sempat memilikimu.
Bukit Besar, 24 Juni 20
16.
(In Memoriam. ALDISTA AYU DESERAWATI / 1998 - 2009 )