Blog Pribadi San-San

  • home
  • About Me
  • Facebook
  • Sitemap
  • Twitter
  • Kemudian
  • Wattpad
  • Word Counter

Nephilim University [ Part 36 : Loose Ends ]

Jasmine POV


Pagi nan kelam.


Puluhan atau mungkin ratusan peti mati berisi mahasiswa-mahasiswa Santa Evangelina yang tewas setelah bertempur melawan iblis tengah diturunkan ke dalam liang lahat. Cuaca mendung seolah ikut meratapi hari paling kelam sepanjang sejarah Santa Evangelina. Suasana duka masih menyelimuti keramaian yang sesak di aula besar di belakang Kathedral Saint Nathaniela. Sunyi senyap, semua larut dalam kesedihannya masing-masing menyaksikan begitu banyak peti mati yang berjejer rapi.


Ada begitu banyak para keluarga yang menangisi kepergian putra putri mereka yang gugur dalam pertempuran. Memang, mereka mati demi sebuah tugas mulia. Namun tetap saja, mereka itu keluarga kami, saudara-saudari kami, orang-orang terdekat kami. Tak terhitung lagi berapa banyak ibu dan ayah yang menangisi kepergian putra putrinya, paman bibi yang kehilangan keponakannya, ataupun saudara saudari yang harus merekalan kepergian adik kakaknya.


Begitu pula aku dan kakek nenek angkatku. Mata kami memerah karena sudah berjam-jam menangisi satu peti bertuliskan Deryck Henderson, terlebih lagi aku. Seolah tak percaya kalau Gilbert, Felicia, Grey, serta semua yang belum lama ini mengadakan acara tahun baru di rumahku akan pergi secepat ini. Bahkan dengan cara yang tragis.


Kakek dan nenek sudah lebih dulu pulang bersama para keluarga yang selesai memberikan penghormatan terakhir. Tidak denganku, aku masih disini ..., menatap kosong peti mati berbalut bendera dengan lambang Santa Evangelina.


Deryck ..., begitu cepat kau pergi meninggalkanku. Setelah kukira baru kemarin kau menemaniku bermain di taman ataupun berlayar di lautan bersama kakekmu.



Tidak langsung ke rumah. Aku malah mendatangi Santa Evangelina untuk menemui Rachel yang terbaring kritis bersama mereka yang masih koma di bagian kesehatan. Pilu batin ini melihat begitu banyak luka robek di tubuh dan sayap mereka. Tubuh-tubuh yang terbaring lemah tak sadarkan diri ini menerima begitu banyak luka demi menahan gempuran dari penduduk-penduduk neraka yang datang. Tak terbayangkan dalam benakku, berapa lama lagi mereka akan bertahan?


Kulangkahkan kakiku menyusuri tiap koridor, melintasi begitu banyak orang-orang yang lalu lalang mengurus mahasiswa dan dosen yang terluka. Ataupun mendata mereka yang masih hilang sejak sebagian dari mereka diperintahkan untuk mundur. Tangga demi tangga kunaiki hingga aku tiba di lantai atas salah satu gedung asrama. Pintu kamar itu seolah mengundangku untuk mendekatinya.


Pria itu masih meringkuk di pojokan sana. Membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya, menutup wajahnya yang sekusut hatinya saat ini menyadari nasib na'as yang dialami semua temannya.


"Gabe ...," begitu pelan dan lembut suaraku menyapanya dari pintu.


Tak ada respon sedikitpun. Kucoba melangkah lebih dekat, memastikan seperti apa raut wajah dari pria yang kucintai ini.


"Ini semua salahku," begitu parau dan serak suara itu mengalir dari kerongkongannya.


"Kau tidak perlu menyesali semua ini," hiburku untuknya.


"Sejak awal seharusnya aku tidak menerima tawaran keluargaku untuk kuliah disini. Dengan begitu semua ini tidak perlu terjadi. Mereka semua percaya padaku, dan seperti yang kulakukan pada Istriku dulu, aku mengecewakan mereka. Seharusnya kau tidak datang kesini hanya untuk menemui orang yang sudah membiarkan keluargamu mati." Matanya merah menatapku dengan perasaan bersalah.


"Aku tidak menyalahkanmu atas apa yang terjadi dengan keluargaku. Ini adalah konsekuensi dari takdir yang harus kita terima sejak sepasang sayap ini tumbuh di punggung kita."


"Seharusnya aku bisa mencegah ini tapi aku terlalu pengecut untuk melawan larangan mereka. Jika memang aku ini semacam mesiah atau sejenisnya, seharusnya aku bisa mengatasi ini," ratapnya lagi.


"Dia sudah berkehendak dan semua ini sudah terjadi. Tidak ada yang bisa kau lakukan," seharusnya aku tidak mengatakan ini. Karena sekarang dia berdiri menatap jendela dengan tatapan mata penuh kebencian.


"Masih ada satu hal yang bisa kulakukan, aku harus ikut bersama pasukan gelombang berikutnya. Si Sammael ini harus dihentikan."


"Tidak, jangan kesana!" Kedua tanganku menggenggam lengan kirinya.


"Aku harus kesana."


"Tidak Gabe, tetap disini! kau bisa terbunuh!" tangisanku mulai pecah.


"Aku tidak peduli walau harus mati! Dia telah membunuh saudara saudari kita dan harus dihentikan sebelum ada lebih banyak manusia dan nephilim yang mati di tangannya!"


"Terlalu berbahaya menghadapinya sendirian saat hatimu sedang kacau. Kumohon jangan kesana, Gabe. Sudah cukup aku kehilangan teman-temanku, dan kakakku, aku tidak mau sampai harus kehilangan kau juga!" kusandarkan kepalaku ke dadanya. Air mataku membanjiri kaos abu-abu itu.


Kuangkat kepalaku dan kutatap wajahnya. Begitu pucat bola mata biruku menatap mata hitamnya yang kini berubah warna menjadi cokelat menyala. Gabe sedang dikendalikan oleh emosinya.


"Aku pernah kehilangan wanita paling istimewa dalam hidupku. Jika ini dibiarkan, hal yang sama akan terjadi padamu dan aku tidak akan membiarkannya. Kalaupun aku akan mati, aku harus membawanya bersamaku untuk menjauhkannya darimu." Suaranya begitu dalam bagai monster, wajahnya terlihat membesi.


Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mecegahnya lagi. Dia sudah bulat untuk mendatangi medan perang itu. Jantungku seolah berhenti berdetak menyadari kemungkinan terburuk yang akan dialaminya.


Perlahan ia melangkah mendekati jendela bermaksud untuk terbang ke medan perang di pusat kota itu. Aku masih sempat memegang tangannya sembari melepaskan kalung di leherku.


"Bawa ini bersamamu, kau lebih membutuhkan ini daripada aku," tegasku sembari mengalungkannya kalung perakku berbentuk salib. Ia hanya menatapku datar.


"Berjanjilah kau akan kembali dengan selamat," tegasku lagi. Ia pun memelukku begitu erat. Seolah ada perasaan tak enak yang kurasakan melalui dingin yang merambat dari kulit tubuhnya. Ternyata dia benar-benar mengatakannya.


"Selamat tinggal, Jasmine Henderson."


***


Seorang pria berperut tambun masuk ke dalam kamar, terheran-heran ia ketika hanya melihatku sendirian di dalam kamar ini.


"Dimana Gabriel?"


Aku hanya menatapnya datar. Dia sudah pergi.



Gabriel POV


Secepatnya aku terbang meninggalkan Santa Evangelina. Dari kejauhan aku melihat armada Santa Evangelina gelombang keempat. Beberapa pasukan pendukung dari kampus nephilim lain turut bergabung bersama mereka. Langit di sana benar-benar di kerubungi tentara-tentara bersayap bak ribuan burung yang sedang bermigrasi.


Belasan menit kemudian, mereka mendarat di pusat kota yang ramai oleh pertempuran sengit mereka melawan orang-orang terkutuk itu. Suasana benar-benar mengerikan, gelimpangan mayat, sisa-sisa senjata yang tergeletak, potongan-potongan sayap yang termutilasi, suara bilah-bilah pedang, tameng, tombak dan panah yang beradu. Gambaran ini benar-benar mirip seperi mimpiku waktu itu.


Pasukan neraka itu berusaha mati-matian menembus barisan besar gabungan prajurit militer manusia dan tentara-tentara nephilim. Jumlah mereka sama banyaknya, dan kekuatan mereka sama besarnya.


Dari puncak gedung yang hancur, aku menebar pandangan ke seluruh penjuru. Hingga pandanganku menangkap satu orang.


"SAMMAEL... !!!"


Begitu lantang teriakanku hingga membuat medan pertempuran ini hening sesaat. Semua mata mereka kini tertuju pada sepasang sayap hitam besar yang kurentangkan selebar-lebarnya.


"Apa itu Gabriel dari Santa Evangelina?"


"Mungkinkah ini? dia si Gabriel yang itu?"


Aku bisa mendengar bisikan-bisikan mereka dari kejauhan. Kukepakkan sayapku dan terbang mendekatinya. Saat mendarat, kususutkan lagi ukuran sayapku, kembali mengecil di belakang punggung. Dengan tatapan marah, aku berjalan mendekatinya. Mataku yang berubah cokelat keemasan nyalang menatapnya.


"Wohohohoho, jika kau tahu siapa dirimu aku yakin kau juga tahu kalau menghadapiku adalah mustahil, bahkan dengan emosi yang tak terkendali kau jauh lebih mudah untuk dikalahkan," seru Sammael dengan sombongnya.


"Kau datang untuk menghadapiku, sekarang aku datang untukmu!"


"Begitu aku selesai denganmu, manusia-manusia yang bersembunyi di depan gerbang Santa Evangelina tidak akan punya kesempatan lagi. Datang kesini artinya kau tidak akan bisa kesana lagi."


"Ya benar, aku tidak akan bisa kesana untuk mereka. Begitu juga kau."


Aku melesat cepat menyambarnya. Namun dengan cepat, ia lebih dulu mengepakkan sayapnya dan terbang menyeretku, menjauh dari medan pertempuran yang kembali ramai. Beberapa lama ia terbang sembari menyeretku, melintasi begitu luasnya hutan-hutan dan melemparku ke arah sebuah bangunan besar di tengah hutan. Aku mulai khawatir karena aku tidak tahu dimana ini dan bagaimana aku akan kembali ke Santa Evangelina.

Brak, Brak, Brak!


Tubuhku menembus bangunan itu dan terbaring di sebuah altar sederhana. Ternyata bangunan ini adalah bekas gereja tua yang sudah ditinggalkan. Bangku-bangku jemaatnya sudah lapuk dan tidak ada lagi hiasan lilin dan bunga-bunga di altarnya. Hanya ada patung Yesus di tengah altar yang berdebu.


Sammael mendobrak pintu depan gereja dan membuang pedangnya. Terlihat dari gayanya, dia ingin bertarung tangan kosong. Secepat kilat aku memburunya, namun satu hantaman keras di rahangku membuatku tersungkur jauh.


"Berapa umurmu, Gabe? delapan belas? sembilan belas? dua puluh?"


Sammael menjambak rambutku dan mendekatkan wajahnya ke dekat wajahku yang mulai berlumuran darah. Teriakan kerasnya mengaung di gereja tua ini.


"Aku seribu tahun lebih tua darimu!"


Kuayunkan kepalan tanganku ke arah wajahnya, membuatnya terpental dan melepaskan jambakkannya dari rambutku.


"Jangan remehkan seorang pemuda, tua bangka," ejekku padanya. Ia mengelap darah di ujung bibirnya.


"Dan jangan remehkan orang tua, bocah!" bentaknya. Ia mengibaskan pedangnya, da dari ujung pedang itu keluar banyak bola cahaya yang melesat cepat ke arahku secara beruntun.


Bola cahaya kembali menyelimuti tubuhku. Melindungiku dari hantaman serangannya. Namun, bisa kurasakan pula betapa kuat dan mematikannya serangan Sammael. Hingga beberapa saat kemudian, bola pelindungku pecah.


Darah segar mengalir dari lubang hidungku. Aku berlutut kelelahan menerima serangan gila itu, dan saat kukira semua telah berakhir, kulihat Sammael mengarahkan ujung pedangnya kepadaku. Pedang itu mengeluarkan sinar merah kekuningan.


ZRRRRAAAAAAATTTTTTTT


Terpaan lahar panas menyemprot ke tubuhku, sebagian pakaianku terbakar meski tubuhku kulindungi dengan sayap yang menyelubungiku. Aku terdorong akibat kuatnya terpaan serangannya. Hingga saat kurasakan tubuhku mulai melemah, aku terkapar. Lantai dan kursi di sekelilingku mengeluarkan api karena lahar itu.


Sammael melangkah mendekatiku. Pedangnya berwarna kuning menyala dan mengeluarkan asap, seperti pedang yang sedang ditempa. Besi panas membara. Tangannya mencengkeram rambutku, diseretnya tubuhku mendekati bagian altar gereja. Tubuhku diposisikannya menghadap patung Yesus itu sembari berlutut. Ditariknya rambutku hingga kepalaku menatap langsung patung itu. Mataku sayu berdarah, penglihatanku mulai kabur.


"Bapa-Mu sudah kami ingatkan bahwa manusia tidak lebih dari sampah yang akan mengotori Taman Eden-Nya dengan dosa-dosa mereka. Tetapi ia malah mengusir kami dari Istana-Nya, setelah semua lagu-lagu pujian yang kunyanyikan demi memperlihatkan Kuasa-Nya atas seluruh dunia." Sammael bicara pada patung Yesus yang sedang kutatap saat ini.


"Engkau begitu menyayangi manusia. Engkau bahkan rela mati disalib demi menebus dosa-dosa Anak-AnakMu yang jelas-jelas lebih memilih mengotori dunia dan diri mereka sendiri untuk bersenang-senang. Akan kubuktikan bahwa yang Engkau dan Bapa-Mu lakukan sia-sia belaka, dan akan kubuktikan betapa aku masih peduli terhadap Kuasa-Nya. Sekarang saksikanlah kematian dari Panglima-Mu!"


Sammael menempelkan bilah tajam pedangnya ke leherku. Tubuhku masih terasa lemah tak berdaya ketika ia menggerakkan pedangnya dengan sekali sayatan kuat.


ZZRRRTT


Darah segar berwarna putih dengan sedikit berpendar mengalir dari leherku yang robek. Terasa sakit dan perih, mengiringi tubuhku yang lemah dan lunglai terkapar di depan altar.


Sammael merentangkan sayapnya. Terbang melintasi atap gereja yang berlubang, meninggalkan tubuhku yang perlahan mengkaku ditengah gereja yang berseliut kobaran api yang menyala-nyala.


Seketika, penglihatanku menghitam.


Nephilim University [Part 35 : Last Breath of My Family]



Rachel POV

Armada kegelapan itu mulai mendekati kami seiring jarak kami yang semakin mendekati mereka. Musuh-musuh kami ini terdiri dari iblis-iblis bersayap di langit dan iblis-iblis berbaju zirah di daratan. Sepertinya akan sulit menaklukan mereka mengingat iblis baju zirah itu kekuatannya setara lima orang tentara iblis biasa. Kurasa mungkin akan lebih baik begini, maju ke sini tanpa Gabriel. Karena jika Gabriel ke sini dan dia mati, peluang mereka untuk menguasai umat manusia akan lebih besar.

JRASH !!!

Satu anak panah yang kutembakkan berhasil menembus empat iblis sekaligus, tepat di bagian kepala mereka. Kulihat di sekelilingku, ratusan anak panah dan tombak beterbangan di antara kerumunan tiga ras yang sedang saling serbu di kota besar ini. Gilbert mengayunkan machete-nya dan berhasil memenggal delapan iblis. Felicia melempar Chakram-nya dan berhasil membunuh lima iblis. Semakin semangat rasanya saat melihat teman-temanku bertarung dengan gagah berani.

Meski begitu, aku melihat beberapa teman-teman satu kampus yang tidak kukenal. Mereka satu per satu tewas tertusuk pedang, tombak, dan senjata-senjata dari iblis musuh kami.

"Semuanya! mendarat!" teriak pemimpin regu kami, memerintahkan kami untuk bergabung ke pertempuran darat.

"Rach, ayo turun!" seru Grey sembari menarik tanganku.

***

Sebagian dari kami mulai mendarat, bergabung dengan beberapa polisi dan tentara manusia yang berjuang menahan gempuran pasukan iblis selagi mengevakuasi para penduduk ke tempat pengungsian terdekat. Aku bisa mengenali tatapan aneh para manusia itu ke arah kami, mereka pasti kebingungan menatap wujud kami -manusia dengan sepasang sayap hitam-. Namun aku yakin, bagi mereka ada yang lebih penting saat ini selain terheran-heran melihat kami.

Awan kelam semakin tebal di atas sana, merubah langit yang semula hanya putih pucat menjadi sekelam senja. Semakin tertegun mataku, menatap begitu banyak saudara-saudara kami hingga helikopter polisi yang tumbang diserbu pasukan iblis terbang.

Sepertinya aku lengah, dua iblis berhasil menendangku hingga terpental beberapa meter. Busur panahku terlepas dari genggaman.

"Rachel!!!" Grey berlari mendekatiku, namun beberapa iblis menghadangnya.

Kedua iblis itu mulai mendekatiku, hingga mereka berdiri tepat di sampingku yang masih terkapar dan mencoba bangkit kembali. Masing-masing pedang mereka telah diangkat tinggi, bersiap untuk diayunkan ke arah leherku. Mulanya aku sudah mencabut belati di kakiku untuk menghalau pedang mereka, namun ... .

JRASH !


Sebatang anak panah menembus kepala mereka sekaligus. Tembakan Grey yang tepat sasaran telah menyelamatkanku. Ia pun berlari ke arahku.

"Bangun, Rach! yang lainnya membutuhkan kita di udara." Grey setengah berteriak di dekat telingaku karena suasana bising di tengah medan perang ini. Dia pun memapahku yang masih terkapar di antara ratusan mayat yang bergelimpangan di segala sisi.

Aku dan Grey kembali mengeluarkan sayap di punggung kami, terbang melesat ke udara dimana suasananya tak kalah runyam dengan yang di daratan. Dari ketinggian ini, aku masih memperhatikan di bawah sana, masih banyak penduduk yang mencoba berlari menyelamatkan diri.

"Hey, ayo maju!" Deryck tiba-tiba muncul di belakang kami lantas terbang cepat ke arah depan. Aku dan Grey mengikutinya dari belakang.

Jace dan Octavius datang dari kejauhan dan bergabung bersama kami bertiga. Sesekali mereka bergerak zig zag demi menghindari banyaknya anak panah dan tombak yang beterbangan. Di lain sisi, Sebastian dan Philip masih sibuk mengayunkan gada mereka ke arah para iblis terbang. Steward dan si kembar Josiah dan Joshua juga masih sibuk di daratan, begitu juga Gilbert dan Felicia yang masih terbang dengan jarak ratusan yard dari sisi kami.

***

Suasana masih riuh, peperangan ini masih jauh dari usai. Kami yang di udara masih sibuk dengan 'pertempuran langit' kami. Jace dan Deryck terbang cepat ke arah beberapa iblis. Bibirku sedikit menyeringai melihat 'aksi akrobatik' mereka. Berputar cepat dan menghabisi sembilan iblis dalam satu tebasan. Keduanya bergerak cepat mengayunkan pedang mereka seperti dua ninja yang bertempur menghabisi banyak orang.

"Bagus sekali," ujar Grey sembari tersenyum memuji mereka. Mereka mengusap bawah hidung mereka dengan telunjuk sembari tersenyum pamer.

Sesaat saja kami lengah, sebilah kapak besar terbang ke arah Jace. Hanya aku di antara kami yang menyadarinya untuk sesaat.

"Jace!" jeritku sembari mencoba terbang mendekatinya.

Jace menoleh ke arah depan, masih belum sadar kalau kapak itu sudah berada sehasta menuju lehernya.

JRASH!

Kami terkejut, menyaksikan semburan darah yang membasahi tubuh kami. Kami masih tidak percaya dengan apa yang kami lihat, terlebih lagi yang di depan kami.

"DERYYCCKKK!!!!!"

Beberapa detik sebelumnya, Deryck masih sempat mendorong Jace untuk menyelamatkannya dari kapak itu, namun yang dilakukannya itu malah membuat dirinya sendiri terbunuh. Jace berteriak nyaring, menyaksikan tubuh Deryck yang jatuh ke daratan dengan kepala terpenggal.

Dia masih tidak percaya, sahabat baik yang sudah lama ia kenal, kini terhempas ke tanah tanpa kepala. Sesaat terdiam di udara, kini aura amarah yang kuat merasuk ke dalam hati Jace. Dengan membabi-buta, Jace terbang menjauh, melepaskan diri dari formasi kami.

Sendirian, dia menghabisi 80 iblis. Kulihat dari kejauhan, Janax datang mendekati Jace yang sendirian di sana.

"Hei pirang, apa yang kau lakukan? kembali ke Formasi bersama teman-temanmu!" teriak Janax di depan Jace.

"Diam! tinggalkan aku sendiri, preman!" Bentak Jace sembari menukik ke daratan.

Jace semakin tidak peduli. Dia menyerang sendirian tanpa memperdulikan rekan-rekan sekelilingnya. Hanya Janax yang inisiatif untuk mendekatinya, menjaga agar dia tidak terbunuh sendirian di daratan.

Jace bernafas lega. Cukup puas batinnya, menyaksikan begitu banyak iblis yang bersimbah darah di sekelilingnya. Namun saat dia masih termenung sendiri, sebilah tombak besar menembus lehernya. Jace tumbang seketika, roboh bersama mayat-mayat di sekelilingnya. Hal terakhir yang dilihatnya hanyalah tubuh kaku Janax yang lebih dulu tewas tertikam dua bilah pedang tanpa disadarinya. Seketika, pemandangannya gelap.

***

Aku sudah turun ke daratan, berjalan tertatih-tatih sendirian karena Grey kusuruh terbang mendampingi Octavius. Belasan anak panah yang patah menghiasi tubuhku yang berlumuran darah dan sayatan, termasuk kedua sayapku yang mengalami patah tulang. Tatapanku kosong, menyaksikan begitu banyak mahasiswa-mahasiswi di kampusku yang kini berada di sekelilingku dalam bentuk potongan-potongan tubuh yang sudah tak berbentuk lagi. Teman-temanku yang tadi bersamaku sudah tak diketahui lagi keberadaannya.

Di atas langit sana, ratusan nephilim mengerubung di angkasa. Terbang menjauh sembari memapah rekan-rekan mereka yang terluka. Sepertinya mereka akan meninggalkan medan perang ini. Hanya beberapa ratus nephilim yang masih ada di sini, menghalau musuh demi melindungi mereka yang terbang menjauh. Aku hanya berharap, teman-temanku juga ada di antara mereka yang terbang menjauh itu. Aku berlutut memegang bahu kanan, menahan rasa sakit di sekujur tubuhku yang tak kalah pedihnya dengan sakit di hatiku menyaksikan kekalahan kami. Biarlah aku sendirian di sini, tidak perlu ada yang menyaksikan kematianku.

Sesaat mataku mulai mengatup. Kulihat di hadapanku, Philip dan Octavius dalam wujud gargoyle terbang rendah dan mendarat untuk mendekatiku.

"Sebagian besar pasukan dinyatakan tewas. Yang lainnya juga sudah diperintahkan bersama mereka yang sekarat untuk mundur ke Santa Evangelina. Sebaiknya kau bersama Phil juga ikut ke sana," ujar Octavius. Philip langsung mendekatiku, memapah bahuku bersiap untuk membawaku terbang.

"Maafkan aku, Rach. Yang kulihat hanya Gilbert yang ikut mundur bersama mereka. Teman-teman kita semuanya tewas." Phillip berujar dengan terisak-isak.

"Grey?" ucapku lirih, Phillip hanya membalas dengan gelengan kepala. Grey juga tewas.

Samar-samar kulihat tubuhku terbang. Sendiri bersama Philip yang mengepakkan sayapnya mati-matian demi membawaku pergi dari sini. Gerakannya zig-zag demi menghindari anak panah yang masih beterbangan. Di bawah sana, nephilim lainnya masih sibuk bertempur. Aku menatap kosong ke arah mereka, mataku berair menyaksikan mereka yang ditinggalkan untuk mati demi menjaga yang lainnya tetap hidup.

Tiba-tiba, satu anak panah menembus sayap kiri Philip. Seketika kami berdua terjun bebas ke daratan. Kulihat empat anak panah lainnya sukses menembus perut dan kaki Philip sebelum tubuhku jatuh dengan kepala lebih dulu menghantam tanah.


Gabriel POV

Langit siang ini terlihat begitu hitam. Dari kejauhan, bisa kudengar suara-suara dentuman dan gemuruh riuh dari pertempuran besar nephilim melawan pasukan iblis. Dan disinilah aku, duduk mematung di pinggir jendela kamar asrama. Tenggelam dalam kekesalan karena tidak bisa ke sana bersama para rekan-rekanku. Teringat akan mimpi burukku saat kami masih berlibur di rumah Deryck, mimpi menyaksikan orang-orang yang kusayangi mati di tangan bala tentara dari ujung neraka.


Di ujung cakrawala kelam itu, kusaksikan beratus-ratus manusia bersayap kembali dalam keadaan terluka parah. Secepatnya, aku naik ke atap untuk melihatnya. Ternyata benar, mereka semua kembali, namun tidak seperti apa yang kuharapkan.

Secepatnya aku turun dari atap, berlari menuju lapangan kampus di mana mereka yang tadi berangkat akan segera mendarat. Di koridor pinggir lapangan, para mahasiswa dan beberapa dosen yang tidak ikut pergi mulai sibuk berlarian. Membantu mereka yang terluka untuk dibawa ke beberapa kelas yang kini dijadikan ruang medis. Samar-samar, aku mendengar pembicaraan orang-orang dari kejauhan.


"Serangan pertama, dan lebih dari lima puluh persen pasukan kita tewas. Ini benar-benar buruk."

"Terus bagaimana, apa pertempuran ini sudah selesai sepenuhnya?"

"Tentu saja belum, besok pagi akan terulang lagi yang seperti ini."

"Bagaimana ini? apa kita akan berangkat ke sana?"


"Sepertinya begitu, kudengar kampus nephilim lain dari luar pulau ini akan berangkat untuk menggantikan kita di pertempuran malam ini jika memang pertempurannya masih belum usai. Besok pagi, baru kita berangkat untuk bergabung bersama mereka. Kita cukup beruntung karena medan pertempurannya cukup jauh dari kampus ini dan tingkat keamanan di gerbang kampus cukup ketat. Sehingga para iblis sialan itu tidak akan bisa menembus masuk ke aula utama di sini."

"Lalu bagaimana dengan penduduk manusia?"

"Mereka sudah dievakuasi ke tempat perlindungan, mungkin sebagian besar penduduk lainnya akan diungsikan ke kampus ini nanti."

Banyak yang tewas? apa teman-temanku termasuk di antarnya?

Seketika, kampus ini menjadi ramai saat mereka yang kembali mulai mendarat satu per satu. Semuanya dalam keadaan berlumuran darah, penuh sayatan, sisa-sisa panah yang masih menancap, bahkan sebagian lainnya terkapar begitu saja di lapangan.

Aku melihat Orlin berjalan sendirian. Tidak ada Albertinus di sampingnya. Dia berjalan tertatih-tatih mendekatiku dengan tatapan kosong. Tangannya yang berlumuran darah seperti menggenggam sesuatu.

Tak satupun kata yang mengalir dari mulutnya saat kami bertatapan. Setidaknya sampai ia memberiku sebuah kalung. Aku kenal kalung ini. Ini kalung Petrus.

"Hanya Gilbert dan Rachel yang kembali dalam keadaan sekarat di antara mereka, yang lainnya hilang di sana. Tak banyak yang bisa kami selamatkan." Orlin berkata dengan lirih.

Orlin berlalu meninggalkanku dalam keadaan terseok-seok menuju ruang medis. Aku terkejut melihat Gilbert yang terkapar di atas kasur roda. Keadaannya kritis namun yang lain tidak sempat untuk membawanya. Inisiatif, aku mendekatinya dan membawanya ke ruang medis.

"Gabe, mereka terlalu banyak. Kita kalah jumlah di pertempuran pertama. Aku menyesal," ujar Gilbert.

"Tidak ada yang perlu disesali, setidaknya tidak sekarang," jawabku.

"Maafkan aku, Gabe. Aku tidak tahu siapa dari kami yang kembali selain aku. Sebagian besar dari mereka tewas di sana. Kami tidak cukup kuat untuk ... uhuk, uhuk."

"Jangan khawatir, kudengar Rachel kembali dan sudah ada di ruang medis. Kau hanya perlu bertahan sedikit lagi. Mereka akan menyembuhkanmu, oke?"

Aku membaringkan Gilbert ke kasur di ruang medis di antara banyaknya para nephilim yang sekarat penuh darah. Namun sudah terlambat, Gilbert tak bersuara lagi saat kubaringkan.

Gibert tewas bersama semua teman-temanku yang lain.

Don't Starve : Bertahan Hidup Di Tengah Alam Liar (#1st Post About 'DS')

Udah lama gue nggak ngepost apapun di blog ini. Selain karena sibuk kerja dan lagi belajar ngedesain grafis (khususnya WPAP art), kepala gue emang bandel banget. Tiap nyari ide buat ngepost cerita, pasti susah dapetnya. Eh nggak, ini bukan susah dapet ide tapi emang beneran nggak dapet-dapet. Saking pusingnya, bahkan kegiatan mosting cerita di grup OGCPI aja udah gue tinggalin, entah kapan mau balik lagi. Makanya jangan heran kenapa gue jadiin kegiatan desain grafis sebagai pelarian. Apalagi emang gue beneran pengen banget bisa ngedesain grafis kayak sebagian besar temen-temen gue.

Tapi inti dari postingan kali ini bukan ngebahas seputar desain grafis. Melainkan seputar game yang biasa gue mainin tiap kali gue istirahat ngedesain grafis. Yap, sesuai judul di atas, gamenya nggak lain nggak bukan nggak salah dan nggak beda adalah :




Kenapa gue suka game ini? selain karena spek minimumnya yang ringan, gue suka ama konsep permainannya. Yaitu bagaimana kita bisa bertahan hidup selama mungkin di tengah kondisi alam yang tak bersahabat dengan memanfaatkan hasil-hasil alam yang bisa ditemukan sebagai media 'menyambung hidup' ataupun pertahanan diri. Kalo misalnya temen-temen suka ama kegiatan ala pramuka yang 'kemah-kemahan' gitu, game ini adalah salah satu yang gue rekomendasiin.

Kalo penasaran, monggo sedot file instalannya di:


OCEAN OF GAMES



Atau kalo mau liat kayak apa gamenya, silahkan subscribe salah satu youtuber gamer yang videonya ngebahas seputar game ini yaitu:



<Link Channel Markiplier>


Mungkin kalo diliat dari tampilannya yang sederhana, temen-temen bakalan mikir, 'ah elah, receh amat gamenya'. Eit tunggu dulu, kayak ungkapan 'jangan nilai buku hanya dari sampulnya' maka untuk game satu ini ialah 'jangan nilai game ini hanya dari grafiknya'. Sekali nyobain game ini, pasti bakalan ketagihan. Terbukti, gue makin jarang online tengah malem gara-gara nih game :v


Kalo mulai tertarik, silahkan dah liat videonya di channel yang udah gue lampirin di atas. Kalo beneran pengen coba, link download di atas udah siap. Udah nginstal dan siap main? oke, buka gamenya sambil lanjut baca ke bawah.




Di awal permainan, kita bakalan dikasih karakter awal bernama Wilson. Nantinya semakin XP kita nambah banyak seiring waktu, kita bakalan dapet karater lain yang lebih bagus. Gue pribadi sih paling suka make Willow sama Wendy, selain karena dua-duanya sesama cewek kecil yang cantik dan imut (penyakit pedo TS kambuh nih), mereka punya skill berbeda yang cocok sama cara main gue. Nanti gue jelasin di postingan berikutnya (itupun kalo gue masih idup, halah -_- ).



Oke, selain karakter, kita juga dikasih pilihan untuk bikin arena kita sendiri. Maksudnya disini kita bebas nentuin seberapa banyak item yang mau dimunculin ke dalem game. Kalo masih bingung, biarin aja semua opsinya ke settingan default. Kalo settingan gue pribadi sih ... postingan berikutnya dah. Satu hal yang pasti, mendingan semua pilihan jangan diubah ke 'lots'. Sebab nggak semuanya itu item yang emang penting untuk kita. Ditambah lagi, ada beberapa item yang cuma bisa didapet dengan cara ngebunuh binatang buas. Kalo kita belum jago dan malah pilih 'lots', yang ada tuh binatang bakalan ngebunuh kita.



Lets play! Oke, di dalam permainan, di posisi kanan atas ada tiga meteran yang berbeda yaitu lambung, otak, dan hati. Lambung adalah tingkat perut kita, otak adalah tingkat kewarasan kita, dan hati adalah Health Point atau 'darah' kita. Pastiin tiga-tiganya selalu dalam keadaan stabil. Satu aja dari mereka ada yang abis, tewaslah karaktermu di game alias game over. Dan di game ini, nggak ada yang namanya ngelanjutin lagi kalo udah mati. Sekali mati, ngulang lagi dari awal. Sayang banget kan kalo seandainya saat itu kita dapet item langka.








Di posisi paling kiri ada pilihan item yang bisa dibikin dengan item/bahan yang kita dapetin. Ada item perkakas, alat bertahan hidup, senjata, mesin sains, pakaian, de es te. Dan di bagian paling bawah yang bentuknya kotak-kotak itu ialah slot yang nantinya bakalan keisi ama item-item yang kita pungut, slot itu juga bisa ditambahin nantinya dengan cara bikin backpack atau cari bola mata untuk ngendaliin chester. Anjing piaraan yang bisa bawain item kita sebanyak sembilan slot.







Sebelum gue tutup postingan kali ini. Gue saranin, sebisa dan secepat mungkin di awal permainan, sambil nyari item-item kayak log, flint, grass, sapling, rock dan item-item makanan, sebisa mungkin, temen-temen harus ngumpulin tujuh bongkah golden nuggets. Emang buat apaan? Caranya gimana? sampai jumpa di postingan kedua.




Udah nggak usah discroll lagi. Postingannya abis, gue mau bobo.

[ #3 Diary ] What's Happening on My August? (E.W.)


Its september soon, yes I know its too late to writting something happen on my august (or shoud I say my crazy august). But, is alright to retold that, right? What? I dont tell anything?

Yep, many things happen on month's ago. Such as Independence Day for Indonesia (Happy Birthday, my beloved country), my graduation from D3 college, a plan to moving back to Java Island, and many more good things.

What about my shitiest moment? of course like my FB friends who fight agains another just cause misunderstand. And this will be my fucking worst moment on social media homepage.

Let me tell you something about this. The one is actually a pure 'big ego' guy. He always felt the most correct about his argument, and never budge to anyone who disagree to him. And that make the other women piss off. So, the women block him from her FB profile.

You thing its over? I dont think so ...


After a while, she's update a status and tell to anyone that she's already blocking the guy. BUT ... she's also writting the guy name. Its seems like she want to tell this shit to her FB friends, sounds spoiled isn't it?

I mean, come on! Could both of you be grow up? Dammit, this fucking things ruin my good things about you. Let me make this straight up for you. You (the guy), please man, keep your words gently and not offend the people, and you (the women), you have a child and i mean youre not a child anymore. Be wisely about your attitude, even on social media.

Huuh ... sounds like Im piss off too, eh? No, I just hate this moment happen on my homepage. I hope this is the last one and never happen again on the next time and i mean EVER.



SO SEPTEMBER, GIMME SOMETHING FRESH PLEASE !!!

[ Cerita Kiriman ] Hari Ini Langitnya Kelabu



Aku ingin pulang setelah seharian otakku disesaki rumus yang bahkan tak ku mengerti. Namun saat butir butir hujan itu mulai menyapu lengan seragamku, aku tiba tiba teringat aku masih ada janji bertemu denganmu. Wajahmu seketika terpampang di hatiku; aku membayangkanmu berteduh dalam hujan sambil terus menantiku. Maafkan aku, Amie, kesekian kalinya, aku lupa lagi.

Dengan cepat aku berbalik dan berlari ke belakang kantin yang luas. Berharap sosokmu yang kecil dan polos masih di sana, bersandar ke pohon cherry kesayanganmu. Langkahku melambat saat aku menemukanmu, terdiam malu malu dengan seragam putih abumu yang sempat terceceri rintikan air.

Aku mendekat dan bayanganku segera menutupi seluruh tubuhmu. Tentu saja. Aku anak kelas 12, dan kau, anak kelas 10. Aku laki laki dan kau perempuan. Ada selisih tinggi yang jauh di antara kita.

"Sudah lama di sini? Im sorry, Amie." Sapaku halus. Namun kau tak bergeming, kau terus menatap pohon cherry di kirimu. Sedangkan aku, kau anggap seperti patung liberty yang tengah diguyur hujan gerimis.

Kau tak mau memandang wajahku. Sengaja kau menguji kesabaranku. Namun aku memang pantas, karena aku memang sudah sering lupa akan janji pertemuan yang kubuat sendiri.

"Kak, kenapa tidak pulang saja? Kenapa masih datang ke sini? Kan bagi kakak tidak penting." Sindirmu dengan serius. Namun percayalah Amie, bukan malah membuat aku marah, aku malah semakin gemas terhadap dirimu. Secepat kilat aku mendekap cinderella cantikku yang ada di hadapanku. Kepalamu hanya sampai dadaku, namun itu tak masalah Amie. Sungguh tak masalah.

Kurasakan beberapa detik kebahagiaan itu yang seolah setara dengan ribuan tahun ketika kau berada dalam dekapanku.

Kau tercekik olehku. "Stop--stop it, aku tak bisa bernapas kak..."

Kau terbatuk batuk dan megap megap. Aku melepaskannya. Maaf jika aku kasar Amie. Aku tak pernah hebat dengan wanita.

"Lain kali jangan telat ya, kakak selalu telat." Ucapmu sedih.

"Untuk kesekian kalinya," aku memberi jeda. "Jangan panggil kakak. Panggil Geardo." Aku benci dipanggil kakak olehmu. Umur bukan penghalang untuk suatu cinta yang tulus.

Kita diam berdua. Kau menyandarkan kepalamu padaku dengan pelan. Saat mendengar irama hujan, entah kenapa Amie, aku teringat kali pertama kita berpapasan muka. Waktu itu hujan juga, aku datang ke kelasmu untuk mendata orang yang ingin masuk ekskul.

Kau mengacung. Aku menoleh. Saat itulah mata kita terpaut.

Kini, kita sudah seperti ini Amie. Aku tak tau kapan hatiku mulai tercuri olehmu, karena itu semua sudah tak penting, bukan begitu Amie? Aku sempat heran, mengapa aku memilihmu Amie. Kau gadis baik, bermuka lucu dan bertubuh pendek. Sedangkan teman baikmu, Ariez itu luar biasa menarik bagi kaum adam. Dia punya bodi sempurna, mata elok, paras bidadari, siapapun takkan bisa menolak kharismanya. Namun--anehnya--aku memilihmu, Amie.

Aku terus melirik mukamu yang polos dan putih. Aku mencari ekspresi ekpresi apapun di mukamu dengan teliti. Kuperhatikan matamu yang hitam, hidung pesekmu. Dan astaga bibir merah mudamu yang indah. Tiba tiba aku ingin sekali merasakannya. Sekali saja. Sekali saja aku melumatnya.

Sial.

Aku benar benar jatuh cinta denganmu.

Kita pun pulang setelah hujan reda dengan berjalan kaki. Masih ingatkah kau Amie saat itu terjadi, bulan Juli, di sore yang indah itu?

***

Setelah itu, beranjak minggu dan bulan. Aku mulai bosan denganmu. Kurasa itu memang hakiki dari sebuah komitmen dan janji yang kita ikat. Hubungan yang terlalu datar.

Aku menginginkan lebih, dan aku tak tahu kapan waktunya berhenti.

Amie, saat aku bilang aku tak tertarik dengan Ariez, ternyata itu hanya di ucapan saja. Namun aku tak bermaksud mengkhianatimu, sungguh, Amie. Tiba tiba Ariez sang cassanova wanita dan juga sahabatmu itu memilihku dari semua pria. Ia menembakku. Maafkan aku, Amie. Sebenarnya waktu itu aku sangat ingin menyetujuinya. Nafsuku berkata, "Ayo, apa lagi yang kau tunggu! Ini kesempatan emas, jangan lepaskan wanita sexy dan cantik itu. Banyak lelaki yang mengantri untuk mendapatkannya." Hatiku berkecamuk hebat.

Haruskah aku menerimanya saja, dan meninggalkanmu?

Namun aku tiba tiba teringat masa masa pertama kita. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri--saat lintasan memori waktu pertama kali aku mengajakmu makan, dan kau masih malu malu padaku. Aku berkata bahwa kau itu lucu, dan akan selalu begitu. Jantungku melompat lompat dengan kasar menunggu reaksimu waktu itu. Hanya berapa penggal kata itu mampu membuat pipimu merah seperti kepiting rebus, dan kau salah tingkah dengan parahnya.

Aku pun sudah kokoh. Surat cinta yang diberikan oleh Ariez hanya aku simpan di dalam laciku. Aku menolak cintanya.

Terkadang kesetiaan itu lebih penting, daripada memulai cinta baru.

Namun, itulah petaka pertama. Karena aku tak langsung membuang surat itu. Kau menemukan surat itu suatu hari. Hubungan kita yang awalnya seperti embun di surga itu mendadak terasa menyakitkan dan berubah menjadi jarum yang menghujam hati. Kau mendadak dingin terhadapku, seolah kita ini dua orang asing yang tak pernah berpapasan. Tak pernah lagi ada acara ketemu di belakang kantin yang ujung ujungnya aku selalu telat, ataupun acara makan bersama dan tertawa bersama. Kau mengira aku menerima Ariez dan bermain Romeo-Juliet di belakangmu. Dan kau memilih memisahkan duniamu dan duniaku. Diammu adalah satu satunya jawaban untuk pertanyaan pertanyaanku.

Seminggu penuh kau melancarkan sakit hatimu. Pada sabtu, aku melihatmu dalam keadaan lusuh dan lemah. Kau tengah berdiri mendengarkan headset di perpustakaan yang sudah tak ada orang kecuali sang penjaga. Kau memejamkan mata, menghentak hentakkan kakimu dan menggelengkan kepalamu, seolah memaksa sekali untuk menyatu dengan musik yang kini kau dengar. Dan dari kelopak matamu yang indah, mengalir tiara matamu melintasi pipimu. Apapun itu, aku merasa sesuatu yang sakit di balik dadaku.

Kau begitu menghayati lagunya, sehingga kau sama sekali tak sadar dengan aku yang tepat di depanmu--memperhatikan betapa kau menikmati setiap ketukan iramanya. Kau melantunkan nadanya dengan suaramu yang bergetar.

"I have died everyday waiting for you… Darling dont be afraid i have loved you…
For a thousand years…"


Dan aku melanjutkan frase selanjutnya dari lagu favoritmu itu.

"I'll love you for a thousand more…"

Kau sontak membuka matamu, keluar dari dunia fantasi musikmu, dan menatap aku tepat di mata. Kau begitu lusuh, Amie. Aku mendekapmu dengan sangat erat. Aku takut kehilanganmu hanya karena kebodohanku. Pelukan itu terasa hangat dan seperti pelukan dua orang kekasih yang bertahun tahun tidak bertemu. Beberapa detik berlalu, "Kenapa, Geardo? Kenapa?" Lirihmu dengan pelan.

"Aku tak pernah berselingkuh dengan Ariez, Amie. Dia memang menembakku, tapi aku menolaknya. Aku serius, baby girl."

"Benarkah?"

"Ya, Amie. Aku serius."

"Maafkan aku,"

"Tak perlu, karna aku yang salah."

Kita bercengkrama seperti dulu. Hari itu sudah malam. Sekitar jam 6 kita pulang. Kau ke utara aku ke selatan. Aku pulang dengan hati berbunga bunga. Kau memberikan banyak warna ke dalam kanvas hidupku, Amie. Aku ingin kau melukis hatiku dengan lebih banyak warna lagi.

***

Aku tak tahu, takdir berkata lain. Saat aku kesekolah, aku mendengarkannya. Tadi malam, kau terkena serangan jantung mendadak dan meninggal di tempat. Itu kata guru yang mengumumkannya dan meminta sumbangan sukarela. Amieku, apa kau tahu, waktu itu duniaku runtuh, menimpaku, dan menenggelamkan seluruh kenangan kita?

Apa kau tahu, bagaimana sendi sendiku terasa dilolos satu persatu dari badanku. Apa kau tahu betapa otakku dibanjiri kemarahan pada nasib? Apa kau tahu, betapa aku ingin meninggal dan menyusulmu saja? Apa kau tahu, hatiku terus memberitahuku, kau sudah meninggal.

Dan apa kau tahu, duniaku telah mati saat kau pergi?

Kenapa? Kenapa sekarang Amie?

Kenapa kau tidak mau menungguku tamat SMA, selesai kuliah, menjadi mapan, menikahimu, punya anak yang lucu, dan menjadi tua--barulah kau boleh pergi, Amie. Namun sekarang, sekarang terlalu menyakitkan Amie. Terlalu menyiksa.

Aku tak sanggup menonton upacara pemakamanmu. Aku berdiri dari jauh, menatap iringan iringan seperti semut berpakaian hitam itu memasukkan jasadmu ke dalam tanah. Tiba tiba saja aku kembali dikuasai amarah. Aku berlari ke arah mereka. Tidak ada yang boleh memasukkan Amie ke dalam tanah! Amie masih hidup! Pikirku, lari dari kenyataan.

"Amie masih hidup! Jangan kuburkan dia! Woi! Dia sedang tidur!" Pekikku marah, aku berusaha menyeret jasadmu ke atas namun mereka mencegahku. Aku tahu aku begitu sedih hingga tak bisa melepasmu. Aku yakin kau yang di atas waktu itu pasti miris melihatku seperti ini.

Aku kemudian ditahan oleh beberapa orang. Dan saat tubuhmu dimasukkan kembali dan ditutupi tanah, tiba tiba--entah darimana--ada lagu A Thousand Years favoritmu terdengar mengalun lembut dari kejauhan. Aku teringat dirimu, dan hubungan kita yang baru saja baik kembali. Aku tak kuasa. Aku jatuh tak berdaya ke tanah. Menangis dengan sesugukan. Ini terlalu menyakitkan.

Kini, sekolah terasa sangat sepi dan menyakitkan. Teman temanku mengucapkan belasungkawa untukku. Namun itu tak ada artinya bagiku.

Untuk apa? Kau sudah pergi sekarang.

Sekarang aku selalu pergi ke belakang kantin sendirian sepulang sekolah. Waktu berlalu, dan aku belajar untuk menerimanya. Aku belajar untuk merelakanmu, Amie. Aku tak pernah telat lagi, Amie, sesuai permintaanmu. Namun itu pun sudah tak berguna. Kanvas hidupku kembali menjadi abu abu berkat tak tersentuh kebahagiaan yang tak bisa lagi kau berikan.

Namun ketahuilah Amie. Aku tak terbiasa tanpamu. Dengan ragu aku menatap rel kereta api di depanku. Aku berdiri di tengahnya, sembari menatap rombongan kereta yang sudah dekat. Berpuluh puluh orang menjerit histeris padaku, namun mereka takut untuk menarikku dari pembebasanku itu--karena mereka sendiri takut dibebaskan dari catur hidup. Aku telah kehilangan ratuku dalam catur hidup dan kini tak mungkin aku bisa menang lagi.

Rasanya pembebasan begitu dekat denganku. Aku merentangkan tanganku. Hal satu satunya yang ada di pikiranku hanya dirimu.

Seperti di lagumu,

-- aku akan mencintaimu seribu tahun lagi. --





Jarang-jarang nih, gua nulis cerita kiriman dulu baru nulis deskripsi awalnya. He he he, karena belum dapet ide buat nulis sesuatu jadi yaaa kali ini gua ngepost cerita kiriman lagi. Seperti yang baru aja dibaca tadi, cerita diatas adalah karya tulis dari Gracela Claren. Tentang kisah cinta sepasang kekasih bernama Gerardo dan Amie yang berakhir tragis. Dan jujur, gua pas pertama kali baca ini langsung keinget pacar pertama gua yang juga udah meninggal. Cuman, untungnya gua nggak ada niat sedikitpun buat bunuh diri, he he he.

Btw makasih udah membaca dan versi asli cerita ini bisa diliat langsung disini. Oke, itu aja dulu untuk hari ini dan selamat melanjutkan aktivitas.

:kiss

Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

  • Copyright © 2016 Template By : San-San | Powered By : Blogger