Rachel POV
Armada kegelapan itu mulai mendekati kami seiring jarak kami yang semakin mendekati mereka. Musuh-musuh kami ini terdiri dari iblis-iblis bersayap di langit dan iblis-iblis berbaju zirah di daratan. Sepertinya akan sulit menaklukan mereka mengingat iblis baju zirah itu kekuatannya setara lima orang tentara iblis biasa. Kurasa mungkin akan lebih baik begini, maju ke sini tanpa Gabriel. Karena jika Gabriel ke sini dan dia mati, peluang mereka untuk menguasai umat manusia akan lebih besar.
JRASH !!!
Satu anak panah yang kutembakkan berhasil menembus empat iblis sekaligus, tepat di bagian kepala mereka. Kulihat di sekelilingku, ratusan anak panah dan tombak beterbangan di antara kerumunan tiga ras yang sedang saling serbu di kota besar ini. Gilbert mengayunkan machete-nya dan berhasil memenggal delapan iblis. Felicia melempar Chakram-nya dan berhasil membunuh lima iblis. Semakin semangat rasanya saat melihat teman-temanku bertarung dengan gagah berani.
Meski begitu, aku melihat beberapa teman-teman satu kampus yang tidak kukenal. Mereka satu per satu tewas tertusuk pedang, tombak, dan senjata-senjata dari iblis musuh kami.
"Semuanya! mendarat!" teriak pemimpin regu kami, memerintahkan kami untuk bergabung ke pertempuran darat.
"Rach, ayo turun!" seru Grey sembari menarik tanganku.
***
Sebagian dari kami mulai mendarat, bergabung dengan beberapa polisi dan tentara manusia yang berjuang menahan gempuran pasukan iblis selagi mengevakuasi para penduduk ke tempat pengungsian terdekat. Aku bisa mengenali tatapan aneh para manusia itu ke arah kami, mereka pasti kebingungan menatap wujud kami -manusia dengan sepasang sayap hitam-. Namun aku yakin, bagi mereka ada yang lebih penting saat ini selain terheran-heran melihat kami.
Awan kelam semakin tebal di atas sana, merubah langit yang semula hanya putih pucat menjadi sekelam senja. Semakin tertegun mataku, menatap begitu banyak saudara-saudara kami hingga helikopter polisi yang tumbang diserbu pasukan iblis terbang.
Sepertinya aku lengah, dua iblis berhasil menendangku hingga terpental beberapa meter. Busur panahku terlepas dari genggaman.
"Rachel!!!" Grey berlari mendekatiku, namun beberapa iblis menghadangnya.
Kedua iblis itu mulai mendekatiku, hingga mereka berdiri tepat di sampingku yang masih terkapar dan mencoba bangkit kembali. Masing-masing pedang mereka telah diangkat tinggi, bersiap untuk diayunkan ke arah leherku. Mulanya aku sudah mencabut belati di kakiku untuk menghalau pedang mereka, namun ... .
JRASH !
Sebatang anak panah menembus kepala mereka sekaligus. Tembakan Grey yang tepat sasaran telah menyelamatkanku. Ia pun berlari ke arahku.
"Bangun, Rach! yang lainnya membutuhkan kita di udara." Grey setengah berteriak di dekat telingaku karena suasana bising di tengah medan perang ini. Dia pun memapahku yang masih terkapar di antara ratusan mayat yang bergelimpangan di segala sisi.
Aku dan Grey kembali mengeluarkan sayap di punggung kami, terbang melesat ke udara dimana suasananya tak kalah runyam dengan yang di daratan. Dari ketinggian ini, aku masih memperhatikan di bawah sana, masih banyak penduduk yang mencoba berlari menyelamatkan diri.
"Hey, ayo maju!" Deryck tiba-tiba muncul di belakang kami lantas terbang cepat ke arah depan. Aku dan Grey mengikutinya dari belakang.
Jace dan Octavius datang dari kejauhan dan bergabung bersama kami bertiga. Sesekali mereka bergerak zig zag demi menghindari banyaknya anak panah dan tombak yang beterbangan. Di lain sisi, Sebastian dan Philip masih sibuk mengayunkan gada mereka ke arah para iblis terbang. Steward dan si kembar Josiah dan Joshua juga masih sibuk di daratan, begitu juga Gilbert dan Felicia yang masih terbang dengan jarak ratusan yard dari sisi kami.
***
Suasana masih riuh, peperangan ini masih jauh dari usai. Kami yang di udara masih sibuk dengan 'pertempuran langit' kami. Jace dan Deryck terbang cepat ke arah beberapa iblis. Bibirku sedikit menyeringai melihat 'aksi akrobatik' mereka. Berputar cepat dan menghabisi sembilan iblis dalam satu tebasan. Keduanya bergerak cepat mengayunkan pedang mereka seperti dua ninja yang bertempur menghabisi banyak orang.
"Bagus sekali," ujar Grey sembari tersenyum memuji mereka. Mereka mengusap bawah hidung mereka dengan telunjuk sembari tersenyum pamer.
Sesaat saja kami lengah, sebilah kapak besar terbang ke arah Jace. Hanya aku di antara kami yang menyadarinya untuk sesaat.
"Jace!" jeritku sembari mencoba terbang mendekatinya.
Jace menoleh ke arah depan, masih belum sadar kalau kapak itu sudah berada sehasta menuju lehernya.
JRASH!
Kami terkejut, menyaksikan semburan darah yang membasahi tubuh kami. Kami masih tidak percaya dengan apa yang kami lihat, terlebih lagi yang di depan kami.
"DERYYCCKKK!!!!!"
Beberapa detik sebelumnya, Deryck masih sempat mendorong Jace untuk menyelamatkannya dari kapak itu, namun yang dilakukannya itu malah membuat dirinya sendiri terbunuh. Jace berteriak nyaring, menyaksikan tubuh Deryck yang jatuh ke daratan dengan kepala terpenggal.
Dia masih tidak percaya, sahabat baik yang sudah lama ia kenal, kini terhempas ke tanah tanpa kepala. Sesaat terdiam di udara, kini aura amarah yang kuat merasuk ke dalam hati Jace. Dengan membabi-buta, Jace terbang menjauh, melepaskan diri dari formasi kami.
Sendirian, dia menghabisi 80 iblis. Kulihat dari kejauhan, Janax datang mendekati Jace yang sendirian di sana.
"Hei pirang, apa yang kau lakukan? kembali ke Formasi bersama teman-temanmu!" teriak Janax di depan Jace.
"Diam! tinggalkan aku sendiri, preman!" Bentak Jace sembari menukik ke daratan.
Jace semakin tidak peduli. Dia menyerang sendirian tanpa memperdulikan rekan-rekan sekelilingnya. Hanya Janax yang inisiatif untuk mendekatinya, menjaga agar dia tidak terbunuh sendirian di daratan.
Jace bernafas lega. Cukup puas batinnya, menyaksikan begitu banyak iblis yang bersimbah darah di sekelilingnya. Namun saat dia masih termenung sendiri, sebilah tombak besar menembus lehernya. Jace tumbang seketika, roboh bersama mayat-mayat di sekelilingnya. Hal terakhir yang dilihatnya hanyalah tubuh kaku Janax yang lebih dulu tewas tertikam dua bilah pedang tanpa disadarinya. Seketika, pemandangannya gelap.
***
Aku sudah turun ke daratan, berjalan tertatih-tatih sendirian karena Grey kusuruh terbang mendampingi Octavius. Belasan anak panah yang patah menghiasi tubuhku yang berlumuran darah dan sayatan, termasuk kedua sayapku yang mengalami patah tulang. Tatapanku kosong, menyaksikan begitu banyak mahasiswa-mahasiswi di kampusku yang kini berada di sekelilingku dalam bentuk potongan-potongan tubuh yang sudah tak berbentuk lagi. Teman-temanku yang tadi bersamaku sudah tak diketahui lagi keberadaannya.
Di atas langit sana, ratusan nephilim mengerubung di angkasa. Terbang menjauh sembari memapah rekan-rekan mereka yang terluka. Sepertinya mereka akan meninggalkan medan perang ini. Hanya beberapa ratus nephilim yang masih ada di sini, menghalau musuh demi melindungi mereka yang terbang menjauh. Aku hanya berharap, teman-temanku juga ada di antara mereka yang terbang menjauh itu. Aku berlutut memegang bahu kanan, menahan rasa sakit di sekujur tubuhku yang tak kalah pedihnya dengan sakit di hatiku menyaksikan kekalahan kami. Biarlah aku sendirian di sini, tidak perlu ada yang menyaksikan kematianku.
Sesaat mataku mulai mengatup. Kulihat di hadapanku, Philip dan Octavius dalam wujud gargoyle terbang rendah dan mendarat untuk mendekatiku.
"Sebagian besar pasukan dinyatakan tewas. Yang lainnya juga sudah diperintahkan bersama mereka yang sekarat untuk mundur ke Santa Evangelina. Sebaiknya kau bersama Phil juga ikut ke sana," ujar Octavius. Philip langsung mendekatiku, memapah bahuku bersiap untuk membawaku terbang.
"Maafkan aku, Rach. Yang kulihat hanya Gilbert yang ikut mundur bersama mereka. Teman-teman kita semuanya tewas." Phillip berujar dengan terisak-isak.
"Grey?" ucapku lirih, Phillip hanya membalas dengan gelengan kepala. Grey juga tewas.
Samar-samar kulihat tubuhku terbang. Sendiri bersama Philip yang mengepakkan sayapnya mati-matian demi membawaku pergi dari sini. Gerakannya zig-zag demi menghindari anak panah yang masih beterbangan. Di bawah sana, nephilim lainnya masih sibuk bertempur. Aku menatap kosong ke arah mereka, mataku berair menyaksikan mereka yang ditinggalkan untuk mati demi menjaga yang lainnya tetap hidup.
Tiba-tiba, satu anak panah menembus sayap kiri Philip. Seketika kami berdua terjun bebas ke daratan. Kulihat empat anak panah lainnya sukses menembus perut dan kaki Philip sebelum tubuhku jatuh dengan kepala lebih dulu menghantam tanah.
Gabriel POV
Langit siang ini terlihat begitu hitam. Dari kejauhan, bisa kudengar suara-suara dentuman dan gemuruh riuh dari pertempuran besar nephilim melawan pasukan iblis. Dan disinilah aku, duduk mematung di pinggir jendela kamar asrama. Tenggelam dalam kekesalan karena tidak bisa ke sana bersama para rekan-rekanku. Teringat akan mimpi burukku saat kami masih berlibur di rumah Deryck, mimpi menyaksikan orang-orang yang kusayangi mati di tangan bala tentara dari ujung neraka.
Di ujung cakrawala kelam itu, kusaksikan beratus-ratus manusia bersayap kembali dalam keadaan terluka parah. Secepatnya, aku naik ke atap untuk melihatnya. Ternyata benar, mereka semua kembali, namun tidak seperti apa yang kuharapkan.
Secepatnya aku turun dari atap, berlari menuju lapangan kampus di mana mereka yang tadi berangkat akan segera mendarat. Di koridor pinggir lapangan, para mahasiswa dan beberapa dosen yang tidak ikut pergi mulai sibuk berlarian. Membantu mereka yang terluka untuk dibawa ke beberapa kelas yang kini dijadikan ruang medis. Samar-samar, aku mendengar pembicaraan orang-orang dari kejauhan.
"Serangan pertama, dan lebih dari lima puluh persen pasukan kita tewas. Ini benar-benar buruk."
"Terus bagaimana, apa pertempuran ini sudah selesai sepenuhnya?"
"Tentu saja belum, besok pagi akan terulang lagi yang seperti ini."
"Bagaimana ini? apa kita akan berangkat ke sana?"
"Sepertinya begitu, kudengar kampus nephilim lain dari luar pulau ini akan berangkat untuk menggantikan kita di pertempuran malam ini jika memang pertempurannya masih belum usai. Besok pagi, baru kita berangkat untuk bergabung bersama mereka. Kita cukup beruntung karena medan pertempurannya cukup jauh dari kampus ini dan tingkat keamanan di gerbang kampus cukup ketat. Sehingga para iblis sialan itu tidak akan bisa menembus masuk ke aula utama di sini."
"Lalu bagaimana dengan penduduk manusia?"
"Mereka sudah dievakuasi ke tempat perlindungan, mungkin sebagian besar penduduk lainnya akan diungsikan ke kampus ini nanti."
Banyak yang tewas? apa teman-temanku termasuk di antarnya?
Seketika, kampus ini menjadi ramai saat mereka yang kembali mulai mendarat satu per satu. Semuanya dalam keadaan berlumuran darah, penuh sayatan, sisa-sisa panah yang masih menancap, bahkan sebagian lainnya terkapar begitu saja di lapangan.
Aku melihat Orlin berjalan sendirian. Tidak ada Albertinus di sampingnya. Dia berjalan tertatih-tatih mendekatiku dengan tatapan kosong. Tangannya yang berlumuran darah seperti menggenggam sesuatu.
Tak satupun kata yang mengalir dari mulutnya saat kami bertatapan. Setidaknya sampai ia memberiku sebuah kalung. Aku kenal kalung ini. Ini kalung Petrus.
"Hanya Gilbert dan Rachel yang kembali dalam keadaan sekarat di antara mereka, yang lainnya hilang di sana. Tak banyak yang bisa kami selamatkan." Orlin berkata dengan lirih.
Orlin berlalu meninggalkanku dalam keadaan terseok-seok menuju ruang medis. Aku terkejut melihat Gilbert yang terkapar di atas kasur roda. Keadaannya kritis namun yang lain tidak sempat untuk membawanya. Inisiatif, aku mendekatinya dan membawanya ke ruang medis.
"Gabe, mereka terlalu banyak. Kita kalah jumlah di pertempuran pertama. Aku menyesal," ujar Gilbert.
"Tidak ada yang perlu disesali, setidaknya tidak sekarang," jawabku.
"Maafkan aku, Gabe. Aku tidak tahu siapa dari kami yang kembali selain aku. Sebagian besar dari mereka tewas di sana. Kami tidak cukup kuat untuk ... uhuk, uhuk."
"Jangan khawatir, kudengar Rachel kembali dan sudah ada di ruang medis. Kau hanya perlu bertahan sedikit lagi. Mereka akan menyembuhkanmu, oke?"
Aku membaringkan Gilbert ke kasur di ruang medis di antara banyaknya para nephilim yang sekarat penuh darah. Namun sudah terlambat, Gilbert tak bersuara lagi saat kubaringkan.
Gibert tewas bersama semua teman-temanku yang lain.