Aku ingin pulang setelah seharian otakku disesaki rumus yang bahkan tak ku mengerti. Namun saat butir butir hujan itu mulai menyapu lengan seragamku, aku tiba tiba teringat aku masih ada janji bertemu denganmu. Wajahmu seketika terpampang di hatiku; aku membayangkanmu berteduh dalam hujan sambil terus menantiku. Maafkan aku, Amie, kesekian kalinya, aku lupa lagi.
Dengan cepat aku berbalik dan berlari ke belakang kantin yang luas. Berharap sosokmu yang kecil dan polos masih di sana, bersandar ke pohon cherry kesayanganmu. Langkahku melambat saat aku menemukanmu, terdiam malu malu dengan seragam putih abumu yang sempat terceceri rintikan air.
Aku mendekat dan bayanganku segera menutupi seluruh tubuhmu. Tentu saja. Aku anak kelas 12, dan kau, anak kelas 10. Aku laki laki dan kau perempuan. Ada selisih tinggi yang jauh di antara kita.
"Sudah lama di sini? Im sorry, Amie." Sapaku halus. Namun kau tak bergeming, kau terus menatap pohon cherry di kirimu. Sedangkan aku, kau anggap seperti patung liberty yang tengah diguyur hujan gerimis.
Kau tak mau memandang wajahku. Sengaja kau menguji kesabaranku. Namun aku memang pantas, karena aku memang sudah sering lupa akan janji pertemuan yang kubuat sendiri.
"Kak, kenapa tidak pulang saja? Kenapa masih datang ke sini? Kan bagi kakak tidak penting." Sindirmu dengan serius. Namun percayalah Amie, bukan malah membuat aku marah, aku malah semakin gemas terhadap dirimu. Secepat kilat aku mendekap cinderella cantikku yang ada di hadapanku. Kepalamu hanya sampai dadaku, namun itu tak masalah Amie. Sungguh tak masalah.
Kurasakan beberapa detik kebahagiaan itu yang seolah setara dengan ribuan tahun ketika kau berada dalam dekapanku.
Kau tercekik olehku. "Stop--stop it, aku tak bisa bernapas kak..."
Kau terbatuk batuk dan megap megap. Aku melepaskannya. Maaf jika aku kasar Amie. Aku tak pernah hebat dengan wanita.
"Lain kali jangan telat ya, kakak selalu telat." Ucapmu sedih.
"Untuk kesekian kalinya," aku memberi jeda. "Jangan panggil kakak. Panggil Geardo." Aku benci dipanggil kakak olehmu. Umur bukan penghalang untuk suatu cinta yang tulus.
Kita diam berdua. Kau menyandarkan kepalamu padaku dengan pelan. Saat mendengar irama hujan, entah kenapa Amie, aku teringat kali pertama kita berpapasan muka. Waktu itu hujan juga, aku datang ke kelasmu untuk mendata orang yang ingin masuk ekskul.
Kau mengacung. Aku menoleh. Saat itulah mata kita terpaut.
Kini, kita sudah seperti ini Amie. Aku tak tau kapan hatiku mulai tercuri olehmu, karena itu semua sudah tak penting, bukan begitu Amie? Aku sempat heran, mengapa aku memilihmu Amie. Kau gadis baik, bermuka lucu dan bertubuh pendek. Sedangkan teman baikmu, Ariez itu luar biasa menarik bagi kaum adam. Dia punya bodi sempurna, mata elok, paras bidadari, siapapun takkan bisa menolak kharismanya. Namun--anehnya--aku memilihmu, Amie.
Aku terus melirik mukamu yang polos dan putih. Aku mencari ekspresi ekpresi apapun di mukamu dengan teliti. Kuperhatikan matamu yang hitam, hidung pesekmu. Dan astaga bibir merah mudamu yang indah. Tiba tiba aku ingin sekali merasakannya. Sekali saja. Sekali saja aku melumatnya.
Sial.
Aku benar benar jatuh cinta denganmu.
Kita pun pulang setelah hujan reda dengan berjalan kaki. Masih ingatkah kau Amie saat itu terjadi, bulan Juli, di sore yang indah itu?
***
Setelah itu, beranjak minggu dan bulan. Aku mulai bosan denganmu. Kurasa itu memang hakiki dari sebuah komitmen dan janji yang kita ikat. Hubungan yang terlalu datar.
Aku menginginkan lebih, dan aku tak tahu kapan waktunya berhenti.
Amie, saat aku bilang aku tak tertarik dengan Ariez, ternyata itu hanya di ucapan saja. Namun aku tak bermaksud mengkhianatimu, sungguh, Amie. Tiba tiba Ariez sang cassanova wanita dan juga sahabatmu itu memilihku dari semua pria. Ia menembakku. Maafkan aku, Amie. Sebenarnya waktu itu aku sangat ingin menyetujuinya. Nafsuku berkata, "Ayo, apa lagi yang kau tunggu! Ini kesempatan emas, jangan lepaskan wanita sexy dan cantik itu. Banyak lelaki yang mengantri untuk mendapatkannya." Hatiku berkecamuk hebat.
Haruskah aku menerimanya saja, dan meninggalkanmu?
Namun aku tiba tiba teringat masa masa pertama kita. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri--saat lintasan memori waktu pertama kali aku mengajakmu makan, dan kau masih malu malu padaku. Aku berkata bahwa kau itu lucu, dan akan selalu begitu. Jantungku melompat lompat dengan kasar menunggu reaksimu waktu itu. Hanya berapa penggal kata itu mampu membuat pipimu merah seperti kepiting rebus, dan kau salah tingkah dengan parahnya.
Aku pun sudah kokoh. Surat cinta yang diberikan oleh Ariez hanya aku simpan di dalam laciku. Aku menolak cintanya.
Terkadang kesetiaan itu lebih penting, daripada memulai cinta baru.
Namun, itulah petaka pertama. Karena aku tak langsung membuang surat itu. Kau menemukan surat itu suatu hari. Hubungan kita yang awalnya seperti embun di surga itu mendadak terasa menyakitkan dan berubah menjadi jarum yang menghujam hati. Kau mendadak dingin terhadapku, seolah kita ini dua orang asing yang tak pernah berpapasan. Tak pernah lagi ada acara ketemu di belakang kantin yang ujung ujungnya aku selalu telat, ataupun acara makan bersama dan tertawa bersama. Kau mengira aku menerima Ariez dan bermain Romeo-Juliet di belakangmu. Dan kau memilih memisahkan duniamu dan duniaku. Diammu adalah satu satunya jawaban untuk pertanyaan pertanyaanku.
Seminggu penuh kau melancarkan sakit hatimu. Pada sabtu, aku melihatmu dalam keadaan lusuh dan lemah. Kau tengah berdiri mendengarkan headset di perpustakaan yang sudah tak ada orang kecuali sang penjaga. Kau memejamkan mata, menghentak hentakkan kakimu dan menggelengkan kepalamu, seolah memaksa sekali untuk menyatu dengan musik yang kini kau dengar. Dan dari kelopak matamu yang indah, mengalir tiara matamu melintasi pipimu. Apapun itu, aku merasa sesuatu yang sakit di balik dadaku.
Kau begitu menghayati lagunya, sehingga kau sama sekali tak sadar dengan aku yang tepat di depanmu--memperhatikan betapa kau menikmati setiap ketukan iramanya. Kau melantunkan nadanya dengan suaramu yang bergetar.
"I have died everyday waiting for you… Darling dont be afraid i have loved you…
For a thousand years…"
Dan aku melanjutkan frase selanjutnya dari lagu favoritmu itu.
"I'll love you for a thousand more…"
Kau sontak membuka matamu, keluar dari dunia fantasi musikmu, dan menatap aku tepat di mata. Kau begitu lusuh, Amie. Aku mendekapmu dengan sangat erat. Aku takut kehilanganmu hanya karena kebodohanku. Pelukan itu terasa hangat dan seperti pelukan dua orang kekasih yang bertahun tahun tidak bertemu. Beberapa detik berlalu, "Kenapa, Geardo? Kenapa?" Lirihmu dengan pelan.
"Aku tak pernah berselingkuh dengan Ariez, Amie. Dia memang menembakku, tapi aku menolaknya. Aku serius, baby girl."
"Benarkah?"
"Ya, Amie. Aku serius."
"Maafkan aku,"
"Tak perlu, karna aku yang salah."
Kita bercengkrama seperti dulu. Hari itu sudah malam. Sekitar jam 6 kita pulang. Kau ke utara aku ke selatan. Aku pulang dengan hati berbunga bunga. Kau memberikan banyak warna ke dalam kanvas hidupku, Amie. Aku ingin kau melukis hatiku dengan lebih banyak warna lagi.
***
Aku tak tahu, takdir berkata lain. Saat aku kesekolah, aku mendengarkannya. Tadi malam, kau terkena serangan jantung mendadak dan meninggal di tempat. Itu kata guru yang mengumumkannya dan meminta sumbangan sukarela. Amieku, apa kau tahu, waktu itu duniaku runtuh, menimpaku, dan menenggelamkan seluruh kenangan kita?
Apa kau tahu, bagaimana sendi sendiku terasa dilolos satu persatu dari badanku. Apa kau tahu betapa otakku dibanjiri kemarahan pada nasib? Apa kau tahu, betapa aku ingin meninggal dan menyusulmu saja? Apa kau tahu, hatiku terus memberitahuku, kau sudah meninggal.
Dan apa kau tahu, duniaku telah mati saat kau pergi?
Kenapa? Kenapa sekarang Amie?
Kenapa kau tidak mau menungguku tamat SMA, selesai kuliah, menjadi mapan, menikahimu, punya anak yang lucu, dan menjadi tua--barulah kau boleh pergi, Amie. Namun sekarang, sekarang terlalu menyakitkan Amie. Terlalu menyiksa.
Aku tak sanggup menonton upacara pemakamanmu. Aku berdiri dari jauh, menatap iringan iringan seperti semut berpakaian hitam itu memasukkan jasadmu ke dalam tanah. Tiba tiba saja aku kembali dikuasai amarah. Aku berlari ke arah mereka. Tidak ada yang boleh memasukkan Amie ke dalam tanah! Amie masih hidup! Pikirku, lari dari kenyataan.
"Amie masih hidup! Jangan kuburkan dia! Woi! Dia sedang tidur!" Pekikku marah, aku berusaha menyeret jasadmu ke atas namun mereka mencegahku. Aku tahu aku begitu sedih hingga tak bisa melepasmu. Aku yakin kau yang di atas waktu itu pasti miris melihatku seperti ini.
Aku kemudian ditahan oleh beberapa orang. Dan saat tubuhmu dimasukkan kembali dan ditutupi tanah, tiba tiba--entah darimana--ada lagu A Thousand Years favoritmu terdengar mengalun lembut dari kejauhan. Aku teringat dirimu, dan hubungan kita yang baru saja baik kembali. Aku tak kuasa. Aku jatuh tak berdaya ke tanah. Menangis dengan sesugukan. Ini terlalu menyakitkan.
Kini, sekolah terasa sangat sepi dan menyakitkan. Teman temanku mengucapkan belasungkawa untukku. Namun itu tak ada artinya bagiku.
Untuk apa? Kau sudah pergi sekarang.
Sekarang aku selalu pergi ke belakang kantin sendirian sepulang sekolah. Waktu berlalu, dan aku belajar untuk menerimanya. Aku belajar untuk merelakanmu, Amie. Aku tak pernah telat lagi, Amie, sesuai permintaanmu. Namun itu pun sudah tak berguna. Kanvas hidupku kembali menjadi abu abu berkat tak tersentuh kebahagiaan yang tak bisa lagi kau berikan.
Namun ketahuilah Amie. Aku tak terbiasa tanpamu. Dengan ragu aku menatap rel kereta api di depanku. Aku berdiri di tengahnya, sembari menatap rombongan kereta yang sudah dekat. Berpuluh puluh orang menjerit histeris padaku, namun mereka takut untuk menarikku dari pembebasanku itu--karena mereka sendiri takut dibebaskan dari catur hidup. Aku telah kehilangan ratuku dalam catur hidup dan kini tak mungkin aku bisa menang lagi.
Rasanya pembebasan begitu dekat denganku. Aku merentangkan tanganku. Hal satu satunya yang ada di pikiranku hanya dirimu.
Seperti di lagumu,
-- aku akan mencintaimu seribu tahun lagi. --
Jarang-jarang nih, gua nulis cerita kiriman dulu baru nulis deskripsi awalnya. He he he, karena belum dapet ide buat nulis sesuatu jadi yaaa kali ini gua ngepost cerita kiriman lagi. Seperti yang baru aja dibaca tadi, cerita diatas adalah karya tulis dari
Gracela Claren. Tentang kisah cinta sepasang kekasih bernama Gerardo dan Amie yang berakhir tragis. Dan jujur, gua pas pertama kali baca ini langsung keinget pacar pertama gua yang juga udah meninggal. Cuman, untungnya gua nggak ada niat sedikitpun buat bunuh diri, he he he.
Btw makasih udah membaca dan versi asli cerita ini bisa diliat langsung
disini. Oke, itu aja dulu untuk hari ini dan selamat melanjutkan aktivitas.
:kiss