Pagi hari telah tiba ditengah cuaca dingin bersalju yang kelam sekelam hatiku yang syok atas sebuah catatan milik mama yang sudah kubaca sepanjang malam. Catatan yang bagian sampulnya tertulis sebuah kalimat dalam bahasa ibrani yang jika ku translate melalui kamus artinya 'masa kelamku saat bertempur melawan tentara kegelapan'. Catatan ini adalah diary yang pernah ditulis mama dan disini tertulis sebuah kisah yang tidak kumengerti namun aku tahu kalau kisah ini membuktikan bahwa Sammael dan orang tuaku pernah terlibat masalah bahkan jauh sebelum aku lahir. Mama dan papa masuk kedalam ruangan ini dan didapatinya aku tengah duduk di kursi kerja papa sambil menatap mereka dengan tatapan setengah marah.
"Gabriel, nak kamu ngapain disini?"
"Kira-kira kapan ma?"
"Kapan? apanya yang kapan nak?"
"Kapan mama sama papa bakalan cerita ke Gabriel kalo dulu kalian sama om dan tante pernah berurusan dengan orang bernama Sammael? Gabriel nggak pernah tau cerita ini sebelumnya dan Gabriel yakin Sevilla juga nggak pernah tau soal ini semasa hidupnya" aku meletakkan buku dengan sampul berwarna krem yang terbuat dari irisan bambu-bambu tipis ini ke meja kerja papa.
"Kamu ngapain baca buku itu !!!???"
"Tolong cerita ma, siapa si Sammael ini? apa ini Sammael yang sama yang waktu itu pernah dateng ke kampus Gabriel?"
"Apa !!?? dia dateng ke kampus kamu !!!???"
Mendengar mama berteriak, Tante Ve dan Om Arthur datang ke ruangan di lantai atas ini. Tante Ve terlihat syok mengetahui kalau buku yang selama ini mereka berempat jaga, sekarang sudah kubaca semua isinya.
"Eh ribut-ribut kenapa ini, Gabriel jangan bilang kalo kamu ..."
"Jawab Gabriel tante, apa Sevilla tahu soal buku ini?"
"Gabriel, kamu nggak boleh baca buku di ruangan ini tanpa izin papa sama mama kamu"
"Kalian berempat kenapa malah ngeles sih !? sebenarnya apa yang kalian sembunyiin dari Gabriel!?"
Mendengarku berteriak, mama turun ke lantai bawah sambil menangis disusul oleh Om Arthur yang ikut turun untuk mengejar mama.
"Evelyn, tunggu!"
Aku masih diliputi kemarahan dan rasa penasaran yang meledak-ledak saat papa dan Tante Ve terbengong-bengong melihatku. Hingga beberapa saat terdiam Tante Ve berujar sambil berlalu keluar dari ruangan ini.
"Clementine, aku mau bicara sebentar"
"Bicara soal apa?"
"Mungkin sudah saatnya anakmu ini tahu siapa kita sebenarnya"
Hanya itu kalimat terakhir yang kudengar dari Tante Ve dan papa sebelum mereka meninggalkanku sendirian didalam ruangan ini. Setengah jam telah berlalu dan aku masih terpaku di kursi ini. Tubuhku lemas dan mati rasa, aku jadi merasa bersalah karena sudah berteriak pada mereka. Sesaat ketika aku masih merenungi kesalahanku, Tante Ve datang menemuiku dan menyerahkan sebuah kertas kecil padaku.
"Ada seorang pendeta yang tinggal di pusat kota, namanya Bapa Corinthians Canterbury. Dia tahu semua sejarah keluarga kita, selain itu dia juga dulunya salah satu kolega mama kamu sama tante. Kalo kamu mau tanya lebih banyak hal ke dia seputar masa lalu kami, ini alamat tempat dia tinggal"
"Emangnya siapa pendeta ini? dia keluarga kita juga? atau dia juga punya sayap seperti kalian?"
Tante Ve berlalu meninggalkanku tanpa memperdulikan pertanyaanku. Kuperiksa alamat ini dan kubandingkan dengan alamat sebuah gereja yang diberikan Jace padaku, ternyata sama persis.
Sore hari telah tiba, setelah pamit pada Tante Ve, aku berangkat menuju alamat ini. Karena hari sudah sore dan perjalanan yang kutempuh ini sangat jauh maka Tante Ve mengizinkanku untuk menginap di gereja itu. Dengan jaket tebal dan hanya berjalan kaki, aku melangkah menuju gereja itu walaupun sebenarnya sinar mentari cukup terang menerangi pemukiman yang dipenuhi salju ini. Di sepanjang perjalanan ada banyak para tetangga dan anak-anak yang tinggal disini yang menyapaku karena memang sudah berbulan-bulan aku pergi meninggalkan pemukiman ini. Beberapa jam berlalu dan setelah turun naik bis tiga kali akhirnya aku tiba di alamat yang dimaksud. Kulihat di pintu gerbang ini bertuliskan "Gereja Kudus Saint Nathaniela" dan didalamnya ada sebuah gereja besar yang sangat megah. Dengan perlahan aku memasuki bagian dalam gereja ini. Didalam sini ada beberapa orang yang tengah berdoa dan dipojokan sana ada kelompok paduan suara yang sedang berlatih untuk pentas di perayaan natal nanti. Perlahan aku mendekati bilik pengakuan dosa dan berdoa disana.
"Ampuni aku Bapa, karena aku telah berdosa"
"Katakan dosa apa yang telah kau perbuat, anakku" seorang pendeta didalam bilik ini berujar dengan lembut melalui bilik dipinggir kursi tempat aku duduk saat ini.
"Aku telah menyakiti hati ibuku, aku tadi membentaknya atas pertanyaan yang selama ini menggangguku padahal hanya ibuku yang tahu jawabannya"
"Lalu ibumu tidak mau menjawab pertanyaanmu ya? lalu kau membentaknya karena rasa penasaran itu menyakitimu" pendeta ini menatapku dengan senyum yang bersahabat.
"Iya, karena itu aku kesini untuk bertemu dengan pendeta bernama Pak Cor ... Corint ... Corinth apalah namanya"
Dari balik lubang-lubang kecil pada bilik itu, pendeta ini mendekatkan wajahnya kearahku
"Namanya Corinthians Canterbury, anakku"
"Iya dia orangnya, apakah Bapa tahu dimana aku bisa menemuinya" pendeta ini membuka biliknya sembari tersenyum ramah kearahku.
"Kau baru saja bertemu dengannya" mendengar jawaban itu aku tersenyum simpul.
"Jadi Bapa, ada yang mau kutanyakan seputar ..."
"Kita duduk disana saja" pendeta ini keluar dari biliknya dan mengajakku duduk ke salah satu bangku jemaat didekat kelompok paduan suara itu. Kami berempat duduk di kursi ini sambil menatap kelompok paduan suara itu.
"Jadi, Veronica bener-bener kuliahin kamu di Universitas Santa Evangelina ya?" pendeta ini menatap lambang kampusku yang terjahit di belakang jaket yang kupakai.
"Lho, Bapa juga kenal Tante Ve dan Bapa juga tahu nama asli kampus saya?"
"Haa haa, di kota ini cuma kamu satu-satunya yang kuliah di kampus pilihan itu. Dan tolong panggil saya Paman Corey saja biar lebih akrab"
"Baik paman, tapi Tante Ve bilang paman itu koleganya mama dan Tante Ve, apa benar?"
"Sebenarnya lebih tepat disebut sebagai teman masa SMA dulu. Paman juga kenal akrab sama papa kamu dan om kamu pas orang tua kamu menikah. Lalu paman mulai memperdalam ilmu agama sejak paman tahu kalau mereka adalah 'para prajurit langit' lalu paman ikut kegiatan bakti sosial untuk pembangunan gereja ini dan paman mulai belajar serius untuk menjadi seorang pendeta dan, ya sekarang paman diizinin buat tinggal disini. Paman sendiri udah tinggal disini pas gereja ini udah selesai dibangun. kira-kira sepuluh tahun sebelum Gabriel udah lahir"
"Lho paman juga tahu nama saya?"
"Hehehe itu nama kamu udah ketulis di jaket kamu" kami tertawa hangat ditengah suasana gereja yang dingin ini.
"Jadi Gabriel tadi mau nanya apa ke paman?"
"Gini nih paman, sejak Gabriel kuliah Gabriel selalu ngeliat sesuatu yang aneh-aneh dikampus. gargoyle, manusia bersayap, orang-orang bermata biru, kekuatan tenaga dalam, setan bersayap kelelawar, semuanya muncul gitu aja di kampus Gabriel. Kalo seandainya itu nggak nyata berarti apa iya Gabriel sekarang udah bisa ngeliat hantu? tapi kalo itu semua nyata trus siapa mereka sebenarnya? Temen Gabriel nyuruh Gabriel buat nyari perpustakaan yang alamatnya disini karena Gabriel udah tanya ke mama sama papa tapi yang ada Tante Ve malah nyuruh Gabriel kesini. Tapi kayaknya disini cuma ada gereja" aku menyerahkan kertas foto pemberian Jace pada paman.
"Mending Gabriel ikut paman, agak susah jelasinnya kalo nggak ada sesuatu yang bisa ditunjukkin ke kamu" perlahan Paman Corey bangkit dan berjalan ke belakang altar. Di belakang altar ini ada sebuah pintu kecil.
"Kita mau kemana paman?"
"Kamu suka baca buku?"
"Iya paman"
"Kalo gitu kamu bakalan suka ini"
Didalam pintu ini ada sebuah koridor yang berkelok-kelok, dan juga kami harus melewati sebuah jembatan kayu. yang dibawahnya ada banyak pedang, belati, baju zirah dan begitu banyak tombak. Di akhir perjalanan kami memasuki sebuah pintu. Betapa terkejutnya aku setelah melihat bahwa dibalik pintu ini ternyata ada aula super besar yang sangat terang oleh jutaan lilin yang menyala. Aula ini berisi ratusan rak yang didalamnya ada sekitar milyaran buku. Melihatku menganga menatap tempat ini paman tersenyum padaku.
"Selamat datang di Perpustakaan Bawah Tanah Saint Nathaniela"