"Baik, kita sudah sampai di Masjid Istiqlal. Periksa setiap sudut Masjid itu lalu pastikan kalau disana aman, lalu biarkan para keluarga untuk beribadah lebih dulu. Bentuk empat kelompok untuk berjaga-jaga di tiap sudut" Arini memberikan instruksi pada rekan-rekannya yang membawa senjata untuk mulai bersiap-siap sementara Arini sendiri masih kebingungan dengan keberadaanku bersama Balqis. Satu per satu anggota keluarga mulai keluar dari truk mereka masing-masing untuk beribadah secara berjamaah sementara yang sedang berjaga harus menunggu giliran.
***
Menjelang magrib, aku dan Balqis tiba di Masjid Istiqlal. Terlihat disana para anggota konvoi yang membawa senjata tengah berjaga di empat sudut masjid yang berbeda. Arini sendiri datang menghampiri kami setelah sebagian anggota keluarga sudah selesai beribadah.
"Jadi bagaimana? sudah temukan yang kau cari?" Arini agak bingung saat melihatku membawa sebuah kotak.
"Mereka tidak ada disana, aku tidak tahu harus cari mereka dimana lagi"
"Berpikirlah dengan positif, aku yakin suatu hari nanti kalian akan bertemu kembali"
"Ya, aku harap juga begitu dan ngomong-ngomong terima kasih sudah meminjamkan motormu padaku" aku menyerahkan kunci ini pada Arini dan dia pun tersenyum padaku kemudian berlalu meninggalkanku kembali ke truknya.
"Arini" gadis itu masih sempat menoleh saat aku memanggilnya.
"Ada apa?" mendengar balasannya, aku memberitahu namaku padanya.
"Ngomong-ngomong namaku Isa"
"Oke Isa, senang berkenalan denganmu. Silahkan jika kau ingin sholat" ujarnya sambil menunjuk kearah masjid itu.
Malam hari telah tiba dan kami semua berkumpul mengelilingi sebuah api unggun sambil menikmati makanan kaleng yang sebelumnya sudah dibagi-bagikan untuk kami semua disini. Aku merasa agak kasihan juga pada mereka yang rela hanya memakan makanan kaleng yang sudah kadaluarsa demi bisa terus berjuang untuk tiba di Aceh. Sementara aku ... entahlah, mungkin soal waktu sebelum aku akan mati lagi untuk yang kedua kalinya.
"Hey makanlah, kau pasti lapar setelah belasan jam tidak memakan sesuatu" Arini datang menghampiriku yang masih duduk terpaku menatap api unggun tanpa sedikitpun membuka kaleng yang ada ditanganku. Sesaat terdiam hingga dia kembali melanjutkan ucapannya.
"Memikirkan sesuatu selain kedua saudaramu itu?"
Aku hanya terdiam dan masih menatap api unggun itu dengan tatapan mata kosong. Hingga kemudian aku memberanikan diri untuk bicara walaupun dengan suara yang serak.
"Bagaimana kau bisa sampai kesini, apa yang terjadi saat itu?"
Saat itulah Arini menceritakan semuanya dengan lengkap dan juga dengan suara serak sepertiku.
"Empat bulan setelah kejadian 12 April tahun lalu, aku berhasil bertahan hidup setelah sebelumnya berhasil melewati bencana itu dengan bersembunyi di Sanghyang Tikoro, salah satu gua yang jarang dikunjungi wisatawan waktu itu. Saat itu aku kelaparan, tidak ada apapun yang kutemukan yang sekiranya bisa kumakan. Setelah kurasa keadaan sudah mulai aman, aku keluar dari gua itu, kulihat sekelilingku semua hutan, bangunan, fasilitas perkotaan, semua yang kulewati, semuanya sudah tinggal reruntuhan dan semua hutan sudah menjadi gurun. Aku berjalan selama berhari-hari berharap bisa menemukan siapapun namun karena putus asa aku terjatuh dan kemudian pingsan, hal terakhir yang kubayangkan saat itu hanyalah suara gemuruh dan bebatuan yang bergetar saat aku masih didalam gua dan suhu dingin yang tiba-tiba memanas didalam sana. Tadinya kukira aku akan mati didalam gua itu hingga kusadari kalau sebenarnya aku akan mati ditengah jalan ini karena kelaparan."
Aku kini sibuk membuka kaleng ini sambil kembali mendengarkan cerita Arini.
"Saat aku siap unuk kematianku, ternyata aku hanya pingsan. Dan saat kubuka mataku, aku sudah berada didalam sebuah rumah. Tepatnya diwilayah Perumahan Eastern Hills Regency dan disana pula aku berkenalan dengan Pak Bunawar, orang yang sudah menyelamatkanku waktu itu. Dia adalah salah satu orang penting di bandung saat itu. Kota Bandung sendiri dan sekitarnya saat itu sudah dilapisi dinding. Setelah kondisiku mulai membaik aku diperkenalkan dengan anaknya Pak Bunawar, Balqis. Kami sering bermain bersama dari satu area ke area lainnya bahkan hingga ke alun-alun kota"
Aku mulai menyela setelah aku berhasil membuka kalengku dan menenggak kolak basi didalamnya.
"Jika keadaan disana sudah cukup aman, kenapa kalian memutuskan untuk pergi?"
"Waktu itu aku pernah dengar semacam urban legend tentang sekumpulan makhluk berwujud manusia namun sekujur tubuhnya memerah. Berjalan sempoyongan dan menghabisi siapa saja didekatnya, sebagian orang percaya bahwa makhluk itu memang ada. Aku hanya menganggapnya sebagai cerita hantu biasa dan tidak begitu peduli, hingga beberapa bulan kemudian beredar berita bahwa 7 orang tentara yang berjaga disana tewas diserang sekawanan makhluk buas. Saat itulah isu seputar makhluk merah itu mulai merebak kembali diantara para warga. Malam hari dihari ketiga setelah berita itu beredar, aku dan Balqis baru pulang dari bermain, aku merasa curiga dengan keadaan tempat kami tinggal yang sunyi senyap secara tidak wajar. Aku menemukan pesan di pintu rumah yang bertuliskan "segera temui kami di alun-alun kota, ini darurat". Balqis menjerit saat melihat ada tiga orang berkulit merah tengah asik mengunyah beramai ramai tetangga kami. Aku menyerang tiga orang itu dengan peralatan seadanya, walaupun aku juga dibuat terkejut dengan tampang wajah mereka yang terlihat benar-benar menyerupai zombie"
"Aku membawa balqis ke alamat yang tertera di pesan itu. Kulihat disana orang-orang tengah berkumpul dengan ramainya. Dikatakan oleh salah satu dari mereka bahwa semua penduduk akan dievakuasi ke kota-kota besar yang lebih aman. Namun saat kami semua mendengar kabar bahwa dinding bagian timur telah hancur dan telah dimasuki sekawanan makhluk merah itu, para tentara malah pergi begitu saja meninggalkan para penduduk yang kepanikan, berlari kesana kemari mencari cara untuk bisa pergi dari wilayah yang terisolasi itu. Aku dan Balqis sendiri masih berusaha mencari Pak Bunawar namun sia-sia."
"Aku dan balqis berjalan menjauh dan mencari tumpangan pada siapapun yang kami temui. Namun tidak ada yang mau mengajak kami bersama mereka. Pagi harinya setelah berjalan jauh kami bertemu dengan puluhan orang di pinggir jalan yang kebingungan mencari jalan untuk keluar dari kota. Ada dari mereka yang mencoba mencari anggota keluarga mereka yang masih tertinggal dan ada juga yang masih sibuk berdiskusi mencari jalan lain untuk pergi keluar kota. Saat aku mencoba berkeliling melihat sekitar, ternyata belasan makhluk merah itu datang lagi mencoba mendekati kerumunan. Para kerumunan mulai berlarian dengan panik sementara aku sendiri berhasil merampas sebuah motor dan bersama Balqis aku berjalan meninggalkan kerumunan itu."
"Jadi, kawanan yacd ini sudah menguasai setengah dari seisi bagian dalam dinding?"
"Ya begitulah. Aku dan Balqis tiba di sebuah tempat parkiran yang dulu sering digunakan untuk pemberhentian bagi para supir truk, disana aku bertemu dengan beberapa temanku salah satunya Kevin."
"Kevin? Kevin yang mana?"
"Dia disana" Arini menunjuk kearah pria negro yang tadi sempat mengomeliku. Si negro itu sendiri masih sibuk mengunyah isi kalengnya.
"Begitu ya, lalu apa yang kalian lakukan berikutnya?"
"Kami putuskan untuk keluar dari dinding menuju Bandara Soekarno Hatta karena Kevin bilang hanya itu satu-satunya bandara yang masih menyimpan pesawat yang bisa dipakai. Kami mencuri belasan truk dan kendaraan disana lalu kami bergerak mendekati salah satu gerbang dinding sebelah utara. sepanjang jalan kami mengajak banyak keluarga hingga kami tiba disini dan berjumpa denganmu"
Aku sedikit tertegun mendengarnya. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin sekali kuajukan pada Arini. Namun, melihatnya tertunduk sambil menenggak isi kalengnya membuatku berpikir dua kali. Aku hanya terdiam menatap api unggun itu sambil membayangkan bagaimana caranya untuk bisa sampai ke Bandara Soekarno Hatta dengan kepungan dari makhluk-makhluk buas berkulit merah itu.