Mackey POV
Akhir pekan telah tiba dan sesuai janjiku waktu itu, aku akan mengajak Rachel kabur dari kampus untuk menonton bioskop. Kuintip melalui celah-celah lubang yang waktu itu, suasana tampak agak lengang karena para mahasiswa disana biasa beribadah minggu dan menghabiskan waktu di asrama masing-masing.
Tak lama kemudian ia pun muncul. Mengenakan blouse ungu dan celana pendek hitam --tidak biasanya. Parasnya yang cantik dan feminim cukup untuk membuat wajahku sedikit memerah.
"Kau baik-baik saja?" sesaat melamun, tiba-tiba Rachel menepuk bahuku.
"Oh ya aku baik-baik saja, maksudku ya kau terlihat cantik hari ini." Wajahnya memerah mendengar ucapanku tadi.
Aku pun menggandeng tangannya. Membawanya keluar kampus menuju tempat kencan kami. Kami pun mengadakan undian untuk menentukan film apa yang akan kami tonton. Dan akhirnya disepakati bahwa kami akan menonton satu film horror dan satu film romantis sebelum makan siang. Sepanjang pemutaran film, entah kenapa ada perasaan berdebar di dadaku tiap kali menatap Rachel. Agak terkejut saat tangannya tiba-tiba menggenggam tanganku. Perasaan berdebar ini bahkan terbawa hingga siang hari saat kami makan di sebuah kedai.
"Kenapa kau kelihatan aneh sepanjang hari ini? filmnya jelek ya?" ujar Rachel memecah lamunanku ketika aku masih duduk di hadapannya menatap spagethi di piringku yang mulai mendingin.
"Aeh-em-sebenarnya ..., aku kepikiran soal ucapanmu waktu itu." Sepertinya aku salah memilih kalimat untuk mengalihkan pembicaraan soal aku yang sebenarnya agak canggung dengan penampilan Rachel hari ini yang terlihat spesial.
"Ucapanku yang mana?"
"Soal perang kalian melawan makhluk-makhluk jahat atau apapun sebutannya itu."
"Oh soal perang melawan iblis dan roh jahat ya?"
"Iya benar, he he he." Aku menahan tawa mendengar ucapan Rachel.
"Hey kenapa?" tanyanya.
"Kau tadi menyebutkan iblis dan roh jahat padahal mereka sama saja alias masih satu wujud."
"Oh tidak, iblis dan roh jahat menurut pandangan kami itu berbeda."
"Lho memangnya apa bedanya?"
"Iblis adalah malaikat yang dibuang karena membangkang perintah Bapa dan kemudian menjadi pemberontak sementara roh jahat adalah jiwa manusia yang semasa hidupnya sering melakukan kejahatan dan belum sempat bertaubat. Karena mereka masuk neraka, maka artinya jiwa mereka sudah menjadi hak milik para iblis dan akan menjadi budak tentara mereka selamanya. Dari wujudnya juga begitu, roh jahat berwujud seperti manusia biasa namun memiliki sayap kelelawar dan kebanyakan berwujud sangat buruk sementara iblis, sayap mereka bentuknya hampir mirip malaikat karena pada awalnya mereka malaikat juga."
"Termasuk pula aku? maksudku aku juga masih bisa menjadi roh jahat?" aku menyela dengan suara yang kukecilkan.
"Iya, jika kau belum sempat bertaubat," jawabnya.
"Bagaimana dengan kalian?"
"Kami juga begitu karena walaupun kami memiliki sentuhan malaikat, secara teknis kami juga sebenarnya manusia seperti kalian."
Aku semakin tidak enak memikirkan semua ini. Bagiku ini terasa seperti tidak nyata dan lebih mirip cerita-cerita fiksi, namun inilah realitanya.
Sepanjang jalan hingga tiba di apartemen, bayangan buruk seputar perang besar tersembunyi itu selalu terngiang di kepalaku. Apa yang diceritakan Rachel bagiku jauh lebih horror dari film freddy krueger yang kutonton bersamanya tadi pagi. Aku pun teringat apa yang dikatakan Tante Evelyn --Mama Gabriel. Bagaimana jika dia belum siap untuk nubuat itu? apa jangan-jangan akhir dari umat manusia sudah dekat?
Sudah tiga bulan aku kesulitan bertugas bahkan sampai insomnia dibuatnya. Dan tugas hari ini adalah awal dari serangkaian bayangan burukku yang baru saja menjadi nyata. Dua jam sebelum makan siang bersama Rachel seperti biasa, aku menyuruhnya untuk kabur sendiri dan menungguku di kedai biasa tempat kami makan siang bersama. Dan apa yang terjadi ini sepertinya akan membuatnya menunggu lebih lama.
Saat itu, aku dan dua polisi lainnya diperintahkan untuk memeriksa sebuah jalan kecil atas laporan penyerangan oleh sekelompok orang tak dikenal. Begitu tiba di lokasi, aku benar-benar melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Sekumpulan orang-orang tengah menyerbu warga kota. Mereka berkulit pucat, berpakaian hitam seperti tentara romawi, taring panjang, bermata hitam pekat, dan ... bersayap kelelawar.
"Markas pusat, disini 60-Goliath. Sekawanan orang tak dikenal melakukan tindakan meresahkan di area 7th and Roosevelt. Minta bantuan segera," ujarku sembari menyalakan HT.
"Berapa banyak yang kau perlukan, 60-Goliath?"
Melihat banyaknya orang-orang bersayap kelelawar ini, aku menjawab dengan datar. "Semuanya."
Rachel POV
Tidak biasanya hari ini Mackey meyuruhku datang sendiri ke kedai ini. Padahal biasanya dia selalu menjemputku di lubang pelarian itu. Sedari tadi menunggu hingga dua menit sebelum tiba waktunya kembali ke kampus. Kuperiksa handphoneku dan hanya ada pesan 'bagaimana kalau kau kabur sendiri dan tunggu di kedai Emmer's? Aku baru saja dapat tugas dan sepertinya akan lama.' pesan yang dikirimnya tadi. Pesan itu sudah dikirimnya sejak tadi dan belum ada kabar apapun setelahnya.
Sudah waktunya aku kembali ke kampus. Ya, dia tidak datang hari ini.
Namun sebelum aku keluar dari kedai ini, aku melihat siaran di TV kedai itu. Sebuah sekilas info disiarkan disana.
"Warga di sekitar jalan 7th and Roosevelt dikejutkan oleh penyerangan yang dilakukan sekelompok orang-orang tak dikenal. Jika dilihat dari wujud mereka, dugaan sementara mereka adalah alien yang entah datang dari mana dan dengan tujuan apa. Sejauh ini belum ada respon dari negosiasi dan kontak komunikasi yang ditujukan pada mereka. Kami masih belum mengetahui apa yang mereka inginkan. Dan sejauh ini, beberapa personil militer telah dikerahkan untuk menahan mereka. Kami akan kembali dengan informasi lebih lanjut satu jam kedepan."
Aku tertegun menatap siaran itu. Itu bukan alien, itu roh jahat penghuni neraka, tapi apa yang mereka inginkan? Entahlah, yang pasti kedatangan mereka selalu diiringi dengan iblis dan aku yakin ini ada sangkut pautnya dengan Gabriel.
Secepat kilat aku kembali ke kampus dan langsung disambut oleh salah satu temanku dengan wajah kebingungan.
"Rach, kau dari mana? aku mencarimu dari tadi," tanyanya. Aku mulai panik, jangan-jangan dia sudah dari tadi mencariku dan sadar kalau aku sempat kabur.
"Ada apa memangnya?" ujarku balik tanya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Beberapa pengawas dikirim ke luar kampus, ada iblis yang datang ke pusat kota. Yang lain sedang berkumpul di markas ormawa masing-masing."
"Gabriel sendiri dimana?"
"Terakhir kulihat dia bersama Jace, Grey dan Philip di ...," belum selesai temanku bicara, aku merentangkan sayapku dan terbang menuju menara dekat gedung para dosen. Tiba di lantai atas gedung itu, aku bertemu langsung dengan Octavius yang baru saja bersiap untuk terbang meninggalkan gedung itu.
"Octav, kau lihat Gabe?" tanyaku.
"Aku baru ingin menemuinya, para dosen dan gargoyle sedang mengadakan rapat tertutup dan aku minta izin sebentar untuk menemui Gabe."
"Boleh aku ikut?"
"Tentu, ayo."
Kami pun bersama sama menemui Gabe yang saat ini sedang bersama dengan Jace, Grey dan teman-teman jurusan Archangel lainnya di ruang jurusan mereka. Tiba di sana, kami harus berdesakan dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya yang memang semuanya sedang berkumpul disini. Kami sendiri belum bertemu dengan teman-teman yang lain.
"Kenapa semua mahasiswa dan dosen berkumpul sendiri-sendiri?" bisikku pada Octav saat aula ini sedang berdiskusi.
"Kau tidak mendengar pengumuman tadi? Semua staff dosen dan mahasiswa dari masing-masing jurusan dan fakultas diperintahkan untuk berkumpul di jurusan masing-masing."
"Membahas soal serangan iblis dan roh jahat itu?"
"Iya, kau sendiri harusnya sedang berada di jurusan The Powers. Kau kemana saja hingga tidak mendengar pengumuman yang sudah disiarkan ke seluruh penjuru institusi ini?"
Wajahku mulai memerah, tidak tahu harus bicara apa sampai seseorang bicara di belakang kami.
"Kalian sedang apa di sini?" bisik wanita di belakang kami, Grey.
"Kami mencari Gabriel," jawabku dan Octav bersamaan.
"Gilbert, Jace dan yang lainnya sedang berkumpul di belakang kafe."
***
Secepatnya kami berkumpul di kafe --yang saat itu tengah sepi dan hanya ada Gilbert, Jace, Sebastian dan teman-teman kami saja yang sedang duduk di sebuah meja. Setelah berkumpul semuanya kecuali Gabe, kami mulai membahas seputar serangan balasan untuk para kaum kegelapan yang menyerang kota.
"Semua ormawa sudah membuat keputusan awal, hanya para senior dan sedikit dari junior yang diizinkan maju," ujar Jace.
"Aku dan Petrus dari Principalities junior sudah diizinkan bergabung, bagaimana dengan kalian?" tanya Gilbert.
"Diizinkan atau tidaknya tidak jadi masalah, asal jangan jadi 'beban' untuk yang lain," jelas Felicia.
"Bagaimana dengan Gabe?" tanya Philip, seketika semua terdiam.
"Kita sudah sepakat," seolah mengerti ucapan Steward, aku terhenyak.
"Kalian yakin?", semua pun mengangguk.
"Ya, dia ada benar Rach," timpal Octav.
Secara kebetulan, Gabriel muncul dan berkumpul bersama kami. Kami pun berdiri dan mendekatinya. Gabriel memasang ekspresi heran saat kami menatapnya tajam.
"Kami akan berangkat, Gabe. Kami akan bergabung dengan pasukan senior yang akan maju," ujar Jace dan Deryck bersamaan.
"Bagus, aku akan bersiap-siap dulu." Secepat kilat, Gilbert memegang bahu Gabriel. Menatapnya dengan ekspresi kecewa.
"Maaf Gabe, alasan kami maju bersama pasukan adalah karena kau prioritas utama kami. Kami harus melindungimu disini. Kau jauh lebih penting untuk umat manusia jika perang yang lebih besar benar-benar akan datang."
"Jadi maksud kalian?"
Seketika Gabe pucat pasi mendengar ucapan Octav, Steward, Josiah dan Joshua bersamaan.
"Maafkan kami Gabe, kau harus tetap disini."