Sudah setengah jam aku berkendara bersama bocah kecil bernama Balqis ini. Sepanjang jalan ini yang terlihat hanya kendaraan-kendaraan yang berserakan di trotoar. Bangunan-bangunannya sendiri juga sudah lama hancur dan tertutup debu. Sepertinya aku harus terima kenyataan bahwa kota besar ini sudah lama tak dihuni oleh 'manusia yang masih normal'. Rasa yakinku bahwa dua orang saudaraku masih selamat mulai berkurang. Apalagi sepanjang jalan ini kulihat beberapa Yacd dipinggir jalan tengah berjalan sempoyongan sembari menatap kami. Sejauh ini mereka bukan ancaman kami mengingat kami berdua mengendarai sepeda motor dengan cepat dan juga membawa senjata, lagipula tidak banyak dari mereka yang terlihat walaupun harus kuakui keberadaan mereka juga tidak bisa diremehkan.
Tiba di tujuan kami memarkirkan motor kami masing-masing dan mulai mendobrak masuk kedalam. Balqis sendiri kelihatan tertegun melihat rumahku yang sudah tak berpenghuni ditengah perumahan diwilayah Kelapa Gading yang sekarang lebih terlihat seperti padang pasir yang tandus.
"Asyam, Fajrin, aku pulang, kalian dimana?"
Tak ada jawaban dari teriakanku sejauh ini. Aku berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya dari lantai satu hingga lantai dua. Balqis sendiri sibuk menodongkan shotgun-nya ke setiap sudut gelap. Seisi rumah ini sudah acak-acakan, beberapa lemari juga berantakan dan terbuka begitu saja. Aku mulai berpikir apa iya mereka berdua sudah lebih dulu pergi sebelum bencana itu tiba? tanpa sengaja aku menginjak sesuatu saat masuk kedalam kamar Asyam, sebuah kotak tak tertutup yang berisi dua buku binder, sebuah handycam, dan satu pistol Barreta 92 yang terisi penuh. Aku tidak mengerti kenapa mereka berdua menyimpan buku didalam kotak padahal yang aku tahu mereka berdua tidak pernah menulis apapun di buku binder, dan darimana mereka dapat pistol ini? ada suara geraman yang terdengar dilantai bawah, semakin lama geraman itu semakin jelas.
"Balqis, kamu masih dibawah situ?"
Tidak ada satupun senjata yang kubawa dan Balqis sendiri tidak menjawabku sejak tadi, padahal hanya dia yang pegang senjata. Perlahan-lahan aku menuruni tangga mencoba untuk tidak bersuara, namun saat aku melihat sekeliling lantai bawah, suasananya masih sehening tadi. Setidaknya sampai aku ditarik kedalam sebuah kamar secara tiba-tiba hingga tersungkur.
"Dasar bocah, bikin kaget saja" aku menggerutu saat kusadari kalau yang tadi menarikku adalah Balqis.
"Pssst jangan berisik" Balqis membekapku sambil mengarahkan moncong senjatanya kearah luar rumah melalui celah-celah dinding. Kulihat dari celah itu ada satu Yacd yang mencoba berjalan masuk kearah rumah.
DHAR ... !!!
Satu tembakan mendarat tepat dikepala makhluk merah itu, terlihat Yacd itu menggelepar sebelum tubuhnya meletus. Kami berdua keluar dari rumah dan melihat sisa tulang dari Yacd itu. Kami menghembuskan nafas lega mengetahui kalau satu ancaman telah berlalu. Namun beberapa saat merasa kalau kami sudah aman, tiba-tiba ada sesuatu yang menarikku kembali masuk kedalam rumah. Ada satu Yacd berukuran lebih besar dan gemuk mencoba menarikku ke lantai atas. Dengan gelagapan Balqis mengokang senjatanya dan menembak tangan Yacd besar itu. Tangan kiri Yacd itu terputus hingga memberiku kesempatan untuk berlari mendekati Balqis, tembakan demi tembakan diarahkan ke kepala Yacd itu namun dengan tenangnya Yacd itu berjalan semakin mendekat kearah kami.
"Sial, tidak berhasil dan peluruku sudah habis!"
"Harusnya tadi kau arahkan saja ke kakinya agar dia tidak bisa berjalan!"
"Tidak bisa, Yacd hanya bisa dibunuh dengan menembak bagian otaknya. Jika yang kutembak adalah bagian tubuh lain, bagian itu akan sembuh lagi kurang dari tujuh menit"
Kami mulai putus asa hingga aku punya ide, kalau Yacd biasa bisa mati jika otaknya ditembak mungkin artinya Yacd besar ini hanya bisa dibunuh dengan menusukkan sesuatu kearah kepalanya. Ada sebatang besi tajam bekas tiang papan jalan diluar sana, dengan terburu-buru aku membawa Balqis keluar dan mengambil besi itu.
"Hei kau mau apa?" Balqis berteriak kearahku namun aku tidak peduli. Yacd itu sudah berada diteras luar dan secepat kilat aku meloncat kearah Yacd itu. Satu tusukan tepat menembus keningnya hingga ke belakang kepala. Aku buru-buru menjauh saat Yacd itu berteriak sangat nyaring. Raungannya memekakan telinga dan terdengar mungkin hingga radius puluhan meter. Sesaat kemudian tubuhnya meledak, lendir dan dagingnya yang hancur berceceran dimana-mana bahkan sampai melumuri sekujur tubuhku.
"Sudah selesai?" Balqis menggeleng saat mendengar pertanyaanku.
"Sepertinya tidak, tadi Yacd itu berteriak nyaring saat kau berhasil membunuhnya. Itu berarti ada kemungkinan sekawanan Yacd lain akan mendekat kemari"
Dugaan balqis benar, sekitar lima puluh Yacd berjalan mendekati kami dari berbagai arah. Dengan panik Balqis menaiki motornya mencoba pergi.
"Apa lagi yang kau tunggu ayo cepat pergi!" Balqis berteriak melihatku masih berlagak tenang.
"Tenanglah, mereka masih jauh dan cara mereka berjalan sangat lamban"
"Iya memang mereka lambat saat berjalan namun mereka bisa melompat jauh dengan sangat cepat"
Terkejut mendengarnya aku buru-buru masuk kedalam rumah mencoba mengambil kotak yang tadi kutemukan. Setelah dapat aku keluar dari rumah dan menyalakan motor Arini yang kuparkir di teras. Kami merasa lega setelah berhasil meninggalkan tempat ini hingga salah satu Yacd meloncat dan berhasil berpegangan pada knaplot motorku. Dengan sigap Balqis menabraknya hingga kepalanya terbelah. Otaknya berceceran dan tubuhnya langsung meletus.
"Hantaman yang bagus" melihat senyumku Balqis ikut senang dan mengeluarkan HT-nya.
"kak Arini ini aku Balqis, kami udah selesai disini"
"Bagus, rombongan udah berjalan dari jam sebelas tadi. Kita ketemuan di Masjid Istiqlal"
"Oke"
Sepanjang jalan aku diliputi kecemasan. Sudah kuhampiri rumah itu namun tidak kutemukan salah satu dari mereka. Dan diantara barang-barang mereka yang berserakan hanya kotak ini yang kelihatannya agak mencolok, apalagi aku sangat tahu mereka tidak pernah menyimpan sesuatu yang berbahaya seperti pistol ini. Aku dan Balqis masih memacu kencang motor kami dibawah teriknya matahari yang semakin memanas. Disaat seperti ini aku malah semakin khawatir pada Asyam dan Fajrin. Oh Tuhan, apapun yang terjadi pada mereka, kumohon padaMu jangan biarkan mereka berada dalam ketakutan yang teramat panjang.
"Kotak apa itu!?" Balqis berteriak padaku melihatku membawa sebuah kotak yang kuletakan diatas tangki motor.
"Tidak tahu, aku bahkan tidak pernah melihat para saudaraku menyimpan kotak ini sebelumnya!"
"Apa isinya!?"
"Cuma dua buku tebal, pistol dan perekam!"
"Mungkin saudaramu itu mencoba meninggalkan semacam pesan didalam kotak itu! sebaiknya langsung kau periksa begitu kita tiba nanti!"
Ya, kurasa Balqis benar. Satu-satunya petunjuk yang mereka berdua tinggalkan mungkin cuma kotak ini. Akan kuperiksa isi buku dan handycam ini, siapa tahu isinya merupakan petunjuk untuk memecahkan semua misteri yang masih membingungkan ini.